Jangan sampai karena menjadikan impor sebagai "senjata pamungkas" kita tidak sadar tengah masuk ke dalam jebakan "agro-imperialism" yang menjadikan urusan pertanian dan pangan kita dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan transnasional dan negara-negara pengekspor bahan pangan.Â
Meskipun menguntungkan elit pemodal dan politik, impor hanya akan terus menjadikan bangsa in objek bagi proses imperialisme berbasis kebutuhan hidup.
Maka, ungkapan "gemah ripah loh jinawi," akan lenyap dari pendengaran atau penglihatan kita. Ungkapan itu lambat laun hanya akan menjadi selebrasi penanda tanpa petanda karena sebagai negeri yang subur ternyata pemerintah gagal menjamin kemakmuran pangan buat rakyat.Â
Dan, gubuk di tengah sawah tempat para petani berteduh ketiga menghalau burung di musim padi atau istirahat sambil merokok, ngopi, atau menikmati rampen (makanan non-nasi seperti tempe goreng, pisang goreng, dan yang lain), perlahan akan hilang.Â
Mengapa? Bagi petani, bertani dalam ketidakpastian sangat tidak menguntungkan. Wajar kalau banyak dari mereka memilih menjual lahan mereka untuk proyek perumahan atau proyek lain yang menghasilkan uang lebih besar, meskipun akhirnya mereka harus berjuang untuk survive tanpa sawah.