Tentu saja, kebijakan ini juga memberikan keuntungan politik bagi pemerintah karena residu komunisme bisa dihilangkan dari kesenian yang pada masa awal kemerdekaan hingga kepemimpinan Sukarno dengan dengan PKI.
Kebijakan untuk mem-festival-kan reyog secara meriah di era pasca Reformasi juga sejalan dengan penguatan proyek identitas di tengah-tengah globalisasi kultural. Proyek identitas berbasis reyog semakin diperkuat di tengah-tengah usaha untuk terus memasarkan reyog sebagai penarik wisatawan.
Obyokan: Kontestasi Kreatif dalam Semangat Kerakyatan
Meskipun FNRP selalu membuat kota Ponorogo ramai dengan kehadiran para peserta dan penonton, banyak pula seniman yang sebenarnya bersikap acuh tak acuh. Walaupun mereka tidak pernah menunjukkan secara langsung sikap mereka, dari bermacam obrolan saya mendapatkan informasi bahwa kekurangsenangan tersebut memang tidak melahirkan protes atau demonstrasi secara terbuka.
Sebagai manusia-manusia Jawa yang tidak suka reaksi frontal terkait permasalahan dalam kehidupan sosial, para seniman tersebut memilih untuk meneruskan karya di tengah-tengah masyarakat. Mereka tidak menolak keberadaan FNRP, sekaligus tidak pernah melarang para seniman yang hendak berpartisipasi.
Menurut saya, inilah kedewasaan sikap para seniman reyog dalam menyikapi perbedaan pendapat yang berkembang. Salah satu bentuk kritik kreatif yang mereka kembangkan adalah menamai pertunjukan reyog di tengah-tengah gelanggang rakyat “reyog obyokan”. Reyog obyokan sebenarnya adalah pertunjukan yang umum dilakukan ketika sebuah kelompok pentas di keluarga yang punya hajatan atau di acara bersih desa serta peringatan hari kemerdekaan RI.
Menurut Jarkasih, seorang seniman reyog asli Ponorogo yang kini berdomisili di Jember, istilah obyokan sendiri mulai populer di kalangan seniman reyog dan masyarakat Ponorogo sejak tahun 1995 ketika semakin banyak grup yang mempertontonkan model pertunjukan yang berbeda dari pakem festival dan, ternyata, mendapatkan sambutan cukup baik dari masyarakat.
Sebelum istilah ini terkenal, para seniman reyog senior di Ponorogo sudah memulai terlebih dahulu untuk membuat karya kreasi dalam pertunjukan reyog, khususnya yang melibatkan jathil perempuan. Beberapa seniman seperti Hadi, (alm) Upar, Jito, dan Toyib, tahun 1985 hingga 1990, menciptakan tari jathilan yang memadukan tari pakem dengan iringan musik yang dilengkapi lagu.
Kreasi baru tersebut bertujuan memberikan pertunjukan jathil yang tidak monoton dan tidak menjenuhkan. Kreasi ini juga menjadi penanda penting beralihnya adegan tari jathil yang biasa dilakukan oleh penari lekaki menjadi penari perempuan.
Semakin ke sini, tradisi reyog obyokan menjadi semakin populer dan dicintai warga Ponorogo, meskipun muncul stereotipisasi negatif terkait adegan yang melibatkan jathil perempuan.