Logika bisnis dalam pariwisata berbasis budaya diidealisasi akan memberikan tambahan penghasilan melalui bermacam industri jasa yang disiapkan, baik oleh swasta maupun warga kebanyakan.Â
Logika ini memang menjadi formula hegemonik yang mendorong banyak pemerintah daerah di Indonesia, sepertihalnya Ponorogo, mengeksploitasi, mentransformasi, dan mengkomodifikasi kekayaan budaya dan keindahan alam untuk mewujudkan impian ekonomi dari kedatangan wisatawan.Â
Pelestarian, dengan demikian, bukan lagi menjadi konsep utama dari semua aktivitas kebudayaan yang telah dikomodifikasi. Alih-alih, wacana pelestarian adalah pendukung utama bagi usaha-usaha wisata yang memanfaatkan keragaman budaya dan kecantikan alam. Â
Motivasi utama untuk mendapatkan manfaat ekonomi dari even FNRP menjadikan reyog tidak bisa dilepaskan dari praktik komodifikasi yang dilakukan oleh pemerintah dan stake holder lain. Mobilisasi wacana pelestarian tidak lain merupakan usaha untuk menjadikan keutamaan reyog sebagai salah satu penopang aktivitas pariwisata.Â
Maka, semua nilai adiluhung menjadi pelengkap bagi gerakan untuk mengkomodifikasi reyog dalam mekanisme pasar pariwisata. Sekali lagi, apa yang terjadi hari ini dengan kesenian reyog dalam even festival merupakan kelanjutan dari usaha pemerintah Orde Baru untuk menertibkan dan menjadikannya atraksi wisata.Â
Murdianto An Nawie (2019; 2016) memaparkan bahwa di era pemerintahan Orde Baru reyog dibersihkan dari unsur subversif dan dijadikan pengisi etalase 'pasar pariwisata' serta sebagai dikampanyekan sebagai aset kebudayan nasional. Kesenian reyog sangat terbuka oleh kreasi-kreasi baru yang dibuat oleh konco reyog sendiri, dan pada era Orde Baru dikenang dimana reyog diangkat dari kesenian jalanan (reyogan) dan naik ke panggung pertunjukan.Â
Sejak itulah reyog mulai bergeser dari permainan rakyat, menjadi komoditas pariwisata. Era pascareformasi logika reyog sebagai komoditas dan aset pariwisata nasional, makin menguat.Â
Reyog juga ditahbiskan menjadi ‘penanda’ identitas Ponoragan dan program pengembangan pariwisata berbasis kesenian reyog secara rutin di gelar. Dalam situasi ini reyog harus mengikuti logika bisnis, menjadi layaknya barang atau jasa yang ditawarkan pada konsumen dari industri wisata.
Pernyataan kritis akademisi di INSURI dan Pengurus Dewan Kesenian Ponorogo ini menegaskan bahwa gelaran festival reyog merupakan bentuk inkorporasi dan komodifikasi yang dilakukan negara sejak era Orde Baru hingga era pasca Reformasi.Â
Kesenian rakyat yang biasanya digelar di jalanan ini dihadirkan dalam panggung festival dengan aturan-aturan ketat serta disesuaikan dengan kepentingan pasar pariwisata. Reyog menjadi pengisi etalase budaya yang dipamerkan kepada para wisatawan, baik domestik maupun mancanegara.Â
Inilah asal-muasal penghilangan nilai-nilai ideologis dari reyog sebagai kesenian subversif yang mewarisi semangat perlawanan rakyat Ponorogo terhadap kekuatan dominan di tanah mereka. Kesenan reyog menjadi komoditas yang digunakan untuk memuaskan hasrat eksotis para wisatawan ataupun hasrat tradisional warga Ponorogo sembari diarahkan untuk kepentingan komersil.Â