Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menjadi Modern di Desa Era 80-an: Sebuah Ingatan

13 Mei 2023   00:01 Diperbarui: 13 Mei 2023   00:05 1024
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku paket IPS di era Orde Baru. Sumber: /www.gurusiana.com

Sebagai formasi diskursif yang dibangun dari beragam wacana di televisi, pendidikan, dan program-program pembangunan pemerintah, modernitas memang berhasil menggeser dan mengubah sebagian tradisi-seperti pertanian serta gaya dan cara berpakaian- serta memperkuat orientasi terhadap kemajuan berbasis rasionalitas/pendidikan dan kekuatan ekonomi. 

Namun, perubahan dan pergeseran orientasi tersebut tidak menjadikan kearifan-kearifan lokal hilang sepenuhnya. Bahkan, kearifan lokal yang oleh pikiran rasional-Barat dan agama dikatakan takhayul, tidak ilmiah, dan musyrik, masih hidup dalam masyarakat. 

Tradisi nyadran (sedekah bumi/bersih desa) masih dilakukan satu tahun sekali, dengan menggelar ritual persembahan di tempat pedanyangan dusun pada pagi hari dan pada malam harinya digelar pertunjukan tayub atau wayang. 

Ketika saya malas sekolah, misalnya, ibu akan pergi ke rumah Pakde yang seorang penganut kebatinan (Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa) untuk meminta air putih yang sudah diberi doa agar saya mau pergi ke sekolah. Maka, pola pikir modern tidak sepenuhnya bisa menyelesaikan permasalahan yang dihadirkan dari orientasi menjadi modern masyarakat desa.

Kondisi sosio-kultural masyarakat desa di era 80-an yang tengah bergerak menuju modernitasditengah-tengah lokalitas mereka memang sesuai dengan penggambaran teoretis tentang ambivalensi, peniruan, pengejekan, dan hibriditas kultural. 

Bhabha (1994) melihat kolonialisme-dalam konteks tulisan ini modernitas-memang menjadikan masyarakat sebagai subjek masuk ke dalam jejaring kuasa yang membuat mereka tampak tidakbisaberbuatapa-apa. 


Namun, di tengah-tengah kondisi itu, mereka bisa memandang dan meniru sebagian budaya modern yang memunculkan ambivalensi kultural karena mereka masih menjalankan sebagian budaya lokal. Artinya, peniruan itu tidak sepenuhnya. Kuasa modernitas tidak bisa sepenuhnya memengaruhi kehidupan masyarakat desa, meskipun menjadikan lokalitas tidak bisa dikatakan murni lagi. 

Mereka meniru untuk bisa survive dan tidak takluk sepenuhnya-sebuah “pengejekan” (mockery). Ambivalensi dan peniruan/pengejekan akan menghasilkan hibriditas kultural, nilai, dan praktik modern bertemu dengan nilai dan praktik lokal karena kondisi zaman memang menjadikannya seperti itu. Hibriditas menyebabkan lokalitas mengalami keretakan; tidak utuh lagi, tetapi tidak hancur.

Mereka tidak menolak modernitas, tetapi tidak menyukai nilai dan praktik modernitas yang bertentangan secara biner dengan tradisionalisme. Keutamaan rasionalitas, sekulerisasi (pemisahan agama dan kuasa politik), dan menguatnya individualisme merupakan proyek modernitas yang dimaknai-ulang oleh masyarakat desa karena mereka masih menjalankan sebagian nilai dan praktik tradisional. 

Dalam pemahaman Canclini (1995:12-13), terdapat empat proyek modernitas. Proyek emansipasi merupakan bentuk dan praktik sekulerisasi ranah kultural, produksi ekspresi-diri dan regulasi-diri dari praktik simbolik, sehingga bisa berkembang dalam pasar otonom. Rasionalisasi kehidupan sosial dan meningkatnya individualisme merupakan bagian dari proyek ini. 

Proyek ekspansif merupakan tendensi modernitas untuk memperluas pengetahuan dan penguasaan terhadap alam, produksi, sirkulasi, dan konsumsi. Dalam kapitalisme, ekspansi ini didorong oleh peningkatan keuntungan; tetapi dalam makna yang lebih luas ia termanifestasi dalam promosi penemuan saintifik dan pengembangan industrial. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun