Bahkan, wadah makanan dalam banyak acara ritual atau hajatan yang dulunya berbahan daun pisang, daun jati, pelepah pisang, dan anyaman bambu, sudah beberapa dasawarsa digantikan dengan wadah berbahan plastik. Artinya, masyarakat desa sudah mengalami perubahan dalam praktik budaya lokal akibat masuknya benda modern berupa wadah plastik.Â
"Budaya plastik" telah menggantikan "budaya daun pisang" yang selama bertahun-tahun menjadi bentuk kearifan lokal masyarakat desa. Kemudahan untuk menggunakan wadah dan kantong plastik menjadikan warga desa tanpa beban mengganti kebiasaan mereka dalam memanfaatkan bahan alami dengan bahan plastik.
Masalahnya, mayoritas desa di Lamongan dan sangat mungkin banyak desa di Indonesia, belum memiliki sistem pengelolaan sampah terpadu. Akibatnya, banyak dari mereka yang membuang sampah ke pinggir sungai atau melemparkannya ke sungai. Sebagian lagi membakar sampah plastik yang juga bisa berdampak buruk terhadap kualitas udara desa.Â
Menyikapi realitas permasalahan sampah tersebut, sudah seharusnya kementerian terkait bekerjasama dengan pemerintah provinsi dan kabupaten mendesain kebijakan dan program terkait sistem pengelolaan sampah terpadu di wilayah desa. Tentu, pemerintah perlu mengkaji model pengelolaan sampah seperti apa yang cocok untuk desa.
Namun, mengingat mendesaknya permasalahan, perlu diupayakan tempat pembuangan sampah di masing-masing rumah warga atau di lingkungan RT serta tempat pembuangan akhir (TPA) di masing-masing kecamatan. Dengan adanya tempat pembuangan sampah, warga tidak akan lagi membuang sampah di sembarang tempat seperti ke pinggir sungai atau ke dalam sungai.Â
Adapun TPA untuk masing-masing kecamatan atau beberapa kecamatan akan mempercepat pemindahan sampah dari wilayah desa agar tidak menimbulkan masalah, seperti bau dan menumpuknya sampah. Tentu ini membutuhkan investasi yang tidak sedikit, tetapi manfaatnya untuk jangka panjang akan lebih baik dan mencegah terjadinya pencemaran akut.Â
Selain itu, warga masyarakat juga bisa diberikan stimulan dalam bentuk bank sampah yang sudah berhasil dijalankan. Dengan bank sampah, warga desa diajak untuk mengumpulkan sampah plastik untuk ditukarkan dengan rupiah. Model ini bisa memancing partisipasi warga untuk secara sadar tidak membuang sampah plastik sembarangan.Â
Model lain yang bisa dikembangkan adalah mengajari warga membuat kerajinan berbahan sampah plastik bekas. Di beberapa wilayah, kerajinan sampah plastik sudah berjalan. Meskipun membutuhkan waktu untuk mengajari warga, model ini bisa memunculkan kreativitas berbasis sampah plastik yang sekaligus mendatangkan keuntungan ekonomi.Â
Sementara, untuk sampah organik, seperti nasi bekas, sisa sayur, dedaunan, dan yang lain, warga bisa diajari untuk membuat kompos yang bermanfaat untuk tanaman mereka. Tumpukan sampah organik yang sering memunculkan masalah bau bisa diatasi dengan cara yang bisa menguntungkan usaha pertanian mereka.Â
Sistem pengelolaan sampah tersebut mungkin terkesan mahal dan kompleks. Namun, menurut saya, tidak ada yang mahal kalau itu bisa bermanfaat dalam menangani masalah sampah desa yang bisa berdampak luas terhadap lingkungan dan kehidupan warga.Â