Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Transformasi Ludruk: Keterlibatan Politik, Hegemoni Negara, dan Strategi Survival

9 Februari 2023   00:02 Diperbarui: 19 Februari 2023   09:22 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tari remo Karya Budaya dalam model tobongan

Sebagai kelas penguasa dalam pembentukan rezim negara, aparat militer mungkin juga mengatur dan memerintahkan para seniman ludruk untuk menyebarluaskan wacana-wacana tertentu. 

Cerita-cerita perlawanan terhadap kompeni dipilih karena meskipun tidak mengusung perjuangan militer seperti yang terwakili dalam banyak narasi film, mereka merepresentasikan dan memobilisasi isu-isu revolusi kolonial yang menekankan pada pertempuran fisik seperti yang dilakukan oleh pasukan militer di masa lalu. 

Dengan kata lain, meskipun pahlawan rakyat sipil memainkan peran dominan dalam cerita, wacana yang diterapkan di dalamnya adalah militerisme. Wacana ini sangat signifikan bagi rezim negara karena mereka ingin menegosiasikan otoritas mereka.

 Oleh karena itu, negosiasi militerisme menjadi basis konsensual yang dapat melahirkan persetujuan rakyat terhadap operasi rezim.
Konsekuensi lebih lanjut dari penguasaan negara adalah berkurangnya kritik atas ketidakadilan dalam masyarakat melalui pertunjukan ludruk. Susanto menyatakan:

“Ludruk pada masa Orde Baru memang menjadi ‘pengeras suara’ pemerintah. Pementasan ludruk mengartikulasikan propaganda rezim, khususnya menggalakkan program-program pemerintah, seperti Keluarga Berencana (KB), tanaman pembangunan lima tahun, dll. 

Kondisi tersebut menyebabkan animo masyarakat terhadap ludruk menurun. Mereka merasa pertunjukan ludruk tidak mengartikulasikan masalah sosial dan menyuarakan suara kaum proletar. Tidak ada kritik tajam terhadap kebijakan dan program pemerintah. 

Segala sesuatu yang berhubungan dengan rezim diartikulasikan dengan sopan santun. Adegan humor dan kidungan tidak lagi memiliki arti kritis dan hanya menjadi pidato resmi dari agen informasi.” (Wawancara, 12 November 2013)

Memang kepopuleran ludruk sebagai kesenian rakyat yang membawa suara-suara kritis di atas panggung, berubah menjadi media budaya penting negara untuk menyebarluaskan kebijakan dan program mereka.

Intervensi diskursif ini bertujuan untuk memperluas penerimaan politik di kalangan masyarakat dan mendukung keunggulan rezim baru dengan otoritas yang menjanjikan, khususnya dalam kesejahteraan ekonomi yang layak melalui berbagai terobosan modern.
yaitu pembangunan nasional. 

Dalam kondisi demikian, para seniman ludruk tidak bisa mendapatkan suara yang independen karena secara administratif dan ideologis mereka dikendalikan oleh rezim. Dalam posisi subordinat ini, yang bisa mereka lakukan adalah mengikuti kecenderungan wacana yang disukai dan memobilisasi pentingnya ajaran moral dan budaya yang mendukung pembentukan kuasa hegemonik.

Meski seharusnya semua seniman ludruk di Jawa Timur menuruti apa yang diinginkan rezim, mereka juga bisa menegosiasikan kepentingannya, terutama dalam konteks melestarikan keberadaan ludruk sebagai kesenian rakyat di tengah suasana budaya modern. 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun