Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Perempuan dalam Narasi Film: Representasi, Ideologi, dan Hegemoni

1 Februari 2023   14:54 Diperbarui: 5 Februari 2023   16:20 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Monica Bellucci dalam shooting film James Bond, Spectre. Sumber: Columbia Picture/Etonline

Media, Wacana, dan Kuasa

Dalam tradisi kajian media sebagai bentuk komunikasi massa yang menganalisis proses penyampaian pesan secara massif dari komunikator kepada komunikan, terdapat dua paradigma yang sampai saat ini masih diperdebatkan, yakni paradigma "arus utama" yang bersifat behavioristik dan paradigma kritis yang lebih bersifat ideologis. 

Hall (1982: 56-59) membuat deskripsi sederhana tentang paradigma behaviorisktik sebagai usaha analitik untuk melihat seberapa jauh pengaruh media terhadap audiens-nya. Sementara, paradigma kritis lebih banyak menyoroti persoalan wacana ideologis yang direpresentasikan dalam isi media. 

Dalam pendekatan kritis, paling tidak, terdapat dua pertanyaan mendasar yang menjadi fokus kajian, yakni: (1) bagaimana proses ideologis bekerja dan apa mekanismenya? dan (2) bagaimana 'yang bersifat ideologis' dicitrakan dalam hubungan dengan praktik lain dalam formasi sosial?

Untuk bisa menemukan praktik dan proses ideologis yang disampaikan melalui media, seorang pengkaji dalam paradigma kritis, terlebih dahulu, perlu memahami kerja-kerja representasi

Representasi dalam pandangan Hall (1982: 64) melibatkan kerja aktif untuk mengkonstruksi-kembali realitas (menyeleksi, mempresentasikan, menstrukturkan, dan membentuk) agar makna-makna kultural dalam masyarakat lebih bermakna dan tampak sebagai kewajaran. 

Dalam representasi terdapat strukturasi wacana tertentu yang diwujudkan dalam penandaan melalui bahasa media. Pekerja media melakukan kerja-kerja untuk mendefinisikan persoalan sosio-kultural yang terjadi dalam masyarakat dengan penandaan melalui bahasa teks, audio, maupun audio-visual yang tidak bisa dilepaskan dari formasi wacana ideologis dalam masyarakat tertentu. 

Léa Seydoux dalam salah satu adegan James Bond, Spectre, bersama Craig. Sumber: Columbia Picture/Etonline
Léa Seydoux dalam salah satu adegan James Bond, Spectre, bersama Craig. Sumber: Columbia Picture/Etonline
Maka, para kreator media mempunyai kuasa untuk menandakan peristiwa-peristiwa demi kepentingan kelas tertentu melalui strukturasi ideologis dalam tanda yang disampaikannya. 

Representasi dalam media menjadi bagian integral dari proses ideologis dalam masyarakat. Ideologi bukan semata-mata sebagai sekelompok sistem ide atau keyakinan yang dianut oleh masyarakat tertentu, tetapi rezim kebenaran yang diproduksi secara aktif melalui beragam wacana dalam praktik budaya.

Ideologi menjadi kerangka pikir tentang objek-objek pengetahuan tertentu dan akan terus-menerus diwacanakan melalui praktik penandaan, yang termasuk di dalamnya adalah bahasa, konsep, kategori, pencitraan pikiran, dan sistem representasi (Hall, 1997a: 26). Ketika ideologi menjadi kerangka mental, maka ia adalah struktur semantik yang mengarahkan pikiran dan tindakan para subjek.

Representasi yang dilakukan para pekerja media, sebagai subjek, akan mengarah pada penyampaian pesan diskursif yang berasal dari wacana-wacana ideologis yang ada dalam masyarakat. Akibatnya, apa-apa yang direpresentasikan sangat tergantung pada acuan makna dan wacana ideologis yang eksis.  

Representasi, dengan demikian, bukanlah entitas netral, nir-ideologi, yang bisa secara wajar memenuhi kepentingan setiap kelas yang berbeda, karena persoalan ideologi memang tidak bisa dipisahkan dari kepentingan kelas; selalu ada politik representasi. 

Ketika sebuah kelas memenangkan politik representasi tersebut, maka mereka mempunyai kuasa untuk menentukan dan menggunakan bahasa sebagai penandaan untuk menyebarkan wacana ideologis mereka ke dalam masyarakat sehingga nilai kuasa mereka akan dianggap sebagai kebenaran yang berlaku umum, rezim kebenaran. 

Hal itu sejalan dengan pemikiran yang dikembangkan Althusser (1971) yang mengatakan bahwa ideologi membutuhkan basis material untuk penyebarannya sekaligus ideological state aparatus (ISA), aparat negara ideologis, yang akan menciptakan praktik representasi secara ajeg di dalam masyarakat. 

Proses representasi tersebut menghasilkan interplasi subjek (subjek seperti dipanggil) yang akan memunculkan relasi imajiner antara subjek tersebut dengan wacana dominan, tidak ada subjek di luar wacana ideologis. 

Grace Jones dalam James Bond, A View to a Kill. Sumber: Alamy Stock Photo/Vogue
Grace Jones dalam James Bond, A View to a Kill. Sumber: Alamy Stock Photo/Vogue
Ketika subjek-subjek sudah merelasikan tindakan dan pikirannya dengan wacana ideologis tertentu, maka kepentingan kuasa bisa berjalan secara wajar karena mereka juga merasa memerlukannya.  

Keberadaan kelas dan relasi kuasa tidak akan berfungsi efektif ketika mereka tidak bisa menciptakan konsensus dari kelas-kelas lain. Hal itu sekalian mengkritisi dalil-dalil deterministik Marxis tentang kelas maupun ideologi yang lebih mengedepankan determinasi ekonomi, tanpa banyak memberikan penekanan pada mekanisme penyebaran kuasa. 

Konsensus tersebut bisa berlangsung ketika wacana-wacana ideologis yang ada dalam masyarakat, baik yang berasal dari kelas subordinat maupun kelas kuasa, diartikulasikan dalam sebuah proses diskursif yang kompleks. 

Dalam pemikiran Hall, sebagaimana dikutip Slack (1997: 115), artikulasi merupakan bentuk koneksi atau jejaring yang mempersatukan beragam wacana ideologis melalui mekanisme-mekanisme tertentu, semisal melalui budaya populer, sehingga struktur wacana baru yang tercipta bersifat kompleks karena melibatkan relasi dominasi dan subdordinasi. 

Ketika bermacam wacana dan kepentingan diartikulasikan, maka akan muncul ideologi baru yang lebih kompleks dan bisa menjadi kerangka berpikir dan tindakan bagi anggota sebuah masyarakat, termasuk dalam praktik representasi (Van Dijk, 2007: 284). 

Ideologi baru tersebut akan terus menyebar dalam bentuk wacana-wacana ideologis konsensual yang menjadi poin utama dari berlangsungnya praktik-praktik diskursif hegemoni.

Wacana konsensual merupakan poin utama dari praktik diskursif hegemoni, karena apa-apa yang tercipta di dalamnya, bisa berpengaruh pada dominasi terhadap medan diskursivitas, praktik-praktik sosial (Laclau & Mouffe, 2001: 82). Dengan adanya wacana konsensual, bukan berarti wacana-wacana akan berhenti di situ. 

Sebaliknya, akan terus menyebar sebagai formasi diskursif baru yang memunculkan institusi maupun aparat sebagai praktik non-diskursif yang selalu mengarah pada wacana ideologis konsensual. 

Dalam kondisi tersebut, perbedaan antara kelas kuasa dan kelas subordinat, tidak begitu kentara lagi karena semua menjalani sistem dan praktik sosial yang berdasarkan pada ideologi konsensual yang terus diwacanakan secara produktif.

Kaburnya perbedaan kelas akan menghasilkan blok historis yang memunculkan "kelas pemimpin" dengan berpatokan pada ideologi konsensual yang tercipta dari artikulasi bermacam wacana dan praktik yang ada dalam masyarakat (Hall, 1997b: 425-426). 

Proses tersebut akan menghasilkan kuasa-hegemonik yang tidak hanya dijalankan dalam ranah ekonomi, politik, dan administratif, tetapi juga menekankan kepemimpinan dalam ranah budaya, agama, moral, etis, dan intelektual sehingga akan memenangkan konsen dalam jangka historis panjang (Gramsci, 1981: 191-192; Laclau and Mouffe, 1981: 226; Boggs,1984: 161; Bennet, 1986: xv). 

Konsep tersebut bukan untuk mengatakan bahwa kelas penguasa telah hilang dalam masyarakat, tetapi lebih menekankan bagaimana mereka bertransformasi menjadi kelas pemimpin. 

Eva Green dalam adegan James Bond, Casino Royale. Sumber: Columbia Picture/frenchtoastsunday.com
Eva Green dalam adegan James Bond, Casino Royale. Sumber: Columbia Picture/frenchtoastsunday.com
Kepemimpinan hegemonik yang diarahkan oleh wacana konsensual inilah yang menjadikan subjek-subjek tidak merasakannya sebagai paksaan, tetapi kebutuhan demi untuk menjamin keberlangsungan sistem, praktik, dan relasi sosial dalam masyarakat; sebuah normalisasi ideologi dan kuasa. 

Untuk memperluas formasi dan praktik diskursif dari kuasa hegemonik, maka dibutuhkan aparat-aparat (sekolah, institusi agama, birokrasi, budaya, maupun media) yang akan terus berusaha menyebarkan wacana ideologis konsensual ke dalam masyarakat.

Media dalam segala bentuknya, informasi maupun hiburan, merupakan  medium untuk mewacanakan kuasa-hegemonik dalam bentuk-bentuk representasi secara ajeg. Media menjadi penting karena semua orang membutuhkan. 

Melalui praktik representasi dalam media yang sudah menjadi kebutuhan konsensual tersebut, ideologi dan kepentingan kelas, tidak lagi dibicarakan atau dinamai, tetapi sekedar diwacanakan berdasarkan wacana konsensual dan praktik diskursif yang ada dalam masyarakat. Dalam kajiannya tentang kelas borjuis, Barthes (1983: 138-139) menyebut proses tersebut sebagai "eks-nominasi." 

Barthes menjelaskan bahwa kelas borjuis tidak membutuhkan partai atau tidak membutuhkan nama ideologi tertentu untuk dirinya. Sebagai fakta ideologis, borjuis sepenuhnya menghilang: borjuis telah menghapuskan namanya dalam melampaui dari realitas menuju representasi, dari manusia ekonomi menuju manusia mental. 

Artinya, borjuis sebagai kelas dominan hanya membutuhkan wacana-wacana tentang kepentingan dan karakteristik ekonominya menyebar dalam banyak produk kultural, seperti tayangan televisi, film, surat kabar, dan yang lain.

Dengan penyebaran tanpa nama dan label itulah, wacana dan kuasa-hegemonik disebarkan secara massif sehingga kehadiran kepentingan kuasa tidak lagi dipandang sebagai keterpaksaan dari tindakan represif karena semua subjek merasa ikut memiliki kepentingan tersebut atas nama kesejahteraan ataupun ketertiban sosial, misalnya.

Media dalam praktik representasinya sangat memperhatikan relasi kuasa dan wacana konsensual yang sudah diyakini masyarakat, baik di ranah politik, ekonomi, maupun sosio-kultural. 

Meskipun para praktisi media sering mengatakan mereka bersikap netral dan profesional serta terlepas dari kuasa ideologis, toh, dalam praktiknya mereka tetap saja berusaha merepresentasikan konsensus yang ada dalam masyarakat atau negara, sehingga di dalamnya terdapat negosiasi kepentingan-kepentingan ideologis dominan (Hall, 1982: 87-88). 

Maka, media, di satu sisi, "berorientasi pada wacana ideologis konsensual" dan, di sisi lain, "ikut memproduksi konsen", sehingga dalam sebuah relasi kuasa hegemoni ia mempunyai "fungsi timbal-balik". 

Artinya, dalam proses produksi dan representasinya, media menghadirkan wacana ideologis dominan yang berkembang dan dipraktikkan melalui aktivitas ekonomi, politik, agama maupun budaya. 

Apa-apa yang disampaikan melalui tayangan-tayangan di media, bisa diterima masyarakat karena mereka bisa menemukan rujukan-rujukan dari formasi diskursif yang sudah ada sebelumnya di masyarakat. 

Michelle Yeow dalam James Bond, Tomorrow Never Dies. Sumber: Alamy Stock Photo/Vogue
Michelle Yeow dalam James Bond, Tomorrow Never Dies. Sumber: Alamy Stock Photo/Vogue
Dengan konteks tersebut, media masuk dalam lingkaran penandaan dan wacana yang mampu mengkonstruksi pemahaman masyarakat terhadap makna-makna ideologis tertentu, baik yang berupa budaya maupun politik, sehingga mereka merasa menjadi bagian dari ideologi tersebut (Fiske, 2006: 236-237).

Film sebagai bagian dari industri media, juga tidak bisa dilepaskan dari praktik politik representasi. Sebagai bentuk representasi dalam wujud teks audio-visual, film merupakan situs strategis bagi proses penyebaran wacana dan kepentingan ideologis dalam masyarakat. 

Film sebagai medium hiburan, sangat dekat dengan persoalan-persoalan riil atau wacana konsensual yang ada dalam masyarakat, sehingga banyak penonton yang mengabaikan proses, potensi, dan pretensi ideologis yang dibawanya. Di sinilah berlangsung proses normalisasi ideologi menuju proses hegemonik.

Proses ideologis dalam film tidak bisa terlepas dari proses artikulasi menuju konsensus seperti yang terdapat dalam realitas kehidupan sosial. 

Hal itu menjadikan apa-apa yang direpresentasikan dalam film ber-genre memunculkan struktur dunia naratif maupun penandaan yang kompleks, yang di satu sisi berusaha menegosiasikan kepentingan kelas kuasa, dan, di sisi lain, mengartikulasikan kepentingan kelas-kelas lainnya. 

Wollacott (1997: 176-177) menjelaskan bahwa area fiksi dan budaya pop secara umum bekerja untuk merubah dan mengamankan posisi subjek dengan konsen aktif dari pembaca dan penonton, sehingga membentuk area krusial dari negosiasi konsen. 

Artikulasi ideologi dominan dalam budaya bergenre pop akan memperluas hegemoni ideologis. Karya fiksi dan genre-genre khusus menjadi populer karena mengartikulasikan, bekerja, dan berusaha menyelesaikan ketegangan-ketegangan ideologis kontemporer. 

Dalam film western, film fiksi ilmiah, horor, maupun gangster yang sangat populer, juga beroperasi proses ideologis untuk meneguhkan kepentingan kelas kuasa dalam kehidupan sosial-politik. 

Film ber-genre lebih memproduksi kepuasan ketimbang tindakan terhadap konflik-konflik yang ada dalam masyarakat, sehingga apa-apa yang direpresentasikan lebih mengarah pada solusi-solusi absurd yang tetap saja memenangkan status quo (Hess 2003). 

Léa Seydoux dalam salah satu adegan James Bond, Spectre. Sumber: Columbia Pictures/frenchtoastsunday.com
Léa Seydoux dalam salah satu adegan James Bond, Spectre. Sumber: Columbia Pictures/frenchtoastsunday.com
Pun demikian, dalam film yang menggunakan teknik-teknik realis, baik dalam narasi maupun teknik audio-visualnya (seperti melodrama), apabila dicermati dengan seksama, cenderung lebih dekat dengan kuasa ideologis karena lebih mudah dalam mengarahkan pemahaman penonton ke dalam wacana dominan.

Film, dengan demikian, tidak bisa semata-mata dilihat sebagai entitas komodifikasi peristiwa kehidupan demi memenuhi tujuan komersial para pemilik modal. 

Film dengan beragam genrenya yang selalu bertransformasi dari waktu ke waktu merupakan produk representasi wacana yang selalu berusaha menawarkan makna yang membawa kepentingan-kepentingan kuasa dalam masyarakat. 

Untuk membicarakan representasi perempuan dalam film, sebuah kajian tidak bisa membuat generalisasi tanpa memperhatikan periode-periode partikular yang sangat memungkinkan ditemukannya perbedaan representasi. 

Titik-tekan kepada periode-periode partikular akan berimplikasi kepada dinamika wacana ideologis dalam struktur dunia naratif film yang berjalin-kelindan dengan formasi diskursif dalam masyarakat. Sangat mungkin pada sebuah periode tertentu, perempuan dicitrakan dalam representasi stereotip berkenaan dengan peran-peran domestik, karena kuasa patriarki masih kuat. 

Pada periode lain, di mana sudah muncul pengaruh wacana feminisme, misalnya, bisa jadi perempuan direpresentasikan dalam konteks resistensi, baik melalui tubuh yang dimilikinya ataupun melalui peran-peran emansipatoris yang dijalaninya. 

Meskipun demikian, sangat mungkin pula akan muncul kesadaran berbasis kesetaraan gender yang mewacanakan keberimbangan peran dalam relasi yang bersifat negosiatif antara perempuan dan laki-laki. 

Artinya, selalu ada artikulasi-artikulasi diskursif di dalam struktur dunia naratif film yang juga berusaha merepresentasikan wacana-wacana yang beredar dalam masyarakat dalam momen historis partikular. 

Film, Perempuan, dan Hegemoni Patriarki 

Perdebatan seputar representasi dalam film tidak hanya mengundang ketertarikan para pemikir dan peneliti media studies maupun cultural studies, tetapi juga melibatkan kontestasi dari para pemikir gender dan feminis. 

Film diposisikan sebagai medan yang di dalamnya terus berlangsung proses produksi makna melalui representasi stereotip tentang perempuan maupun laki-laki. 

Representasi tersebut tidak hanya berkutat dalam hal bagaimana tubuh dicitrakan, tetapi juga berkaitan dengan persoalan tematik yang divisualisasikan melalui narasi filmis yang berjalin-kelindan dengan relasi kuasa dan wacana yang berlangsung dalam praktik sosio-kultural dalam periode partikular.

Perempuan dalam narasi filmis banyak direpresentasikan berkutat dalam wilayah domestik, objek dari hasrat seksual laki-laki, maupun simbol kelelakian. Kehadiran perempuan seolah sudah menjadi keharusan dalam representasi filmis karena darinya sebuah budaya yang penuh kepentingan ideologis dibicarakan dieks-nominasikan. 

Teresa de Lauretis (dikutip dalam Ostrowska, 2007: 419) dalam kajiannya tentang perempuan dalam jagat fiksional Barat, sebagaimana dikutip, menjelaskan:

Yang saya maksudkan dengan ‘perempuan adalah sebuah konstruksi fiksional, sebuah inti dari keberagaman wacana-wacana dominan dalam budaya Barat (baik wacana kritis dan saintifik maupun kesastraan), yang beroperasi baik sebagai poin yang samar-samar hilang maupun syarat khusus keberadaan…

perempuan, yang liyan-dari-laki-laki (alam dan Ibu, situs seksualitas dan hasrat maskulin, tanda dan objek dari pertukaran sosial laki-laki) merupakan terma yang pada saat bersamaan mendesain poin yang menghilang dari budaya fiksi kita tentang dirinya dan syarat wacana-wacana yang darinya fiksi direpresentasikan.

Dengan menghadirkan perempuan dalam film, maka ketimpangan ideologis antara laki-laki dan perempuan dalam praktik sosio-kultural masyarakat dikesankan mencair karena mereka juga turut berkontestasi di dalam produk-produk budaya. 

Namun, apa yang harus diperhatikan secara kritis adalah bahwa representasi perempuan tersebut juga menjadi syarat utama bagi representasi fiksional film sebagai produksi dari wacana ideologis patriarkal dalam masyarakat sehingga kepentingan ideologis akan tampak natural. 

Tentu saja, realitas tersebut tidak bisa dilepaskan dari persoalan pengetahuan tentang perempuan dan laki-laki yang sebenarnya masih berorientasi pada superioritas laki-laki.

Peran Domestik Perempuan dalam Film

Gender pada awalnya dipandang sebagai persoalan perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan dan relasi seksual yang ada di dalamnya (seksualitas). Dalam perkembangannya, perbedaan tersebut menghasilkan konstruksi dan relasi sosio-kultural antara laki-laki dan perempuan yang berlangsung, bertransformasi, beroperasi, dan mewujud dalam masyarakat (Richardson, 2007). 

Namun, apa yang tidak boleh dilupakan adalah pewacanaan terus-menerus perbedaan antara laki-laki dan perempuan sehingga gender bisa masuk ke dalam ranah sosio-kultural yang pada akhirnya menghasilkan praktik-praktik berdasarkan wacana tersebut serta menjadi bagian tak terpisahkan dari institusi sosio-kultural (Risman, 2004). 

Ketika persoalan gender menjadi bagian dari institusi sosio-kultural yang berjalan secara wajar dalam kehidupan sehari-hari, maka gender bisa diposisikan sebagai struktur yang mampu mengatur bagaimana persepsi dan perilaku anggota masyarakat dalam relasi sehari-hari, terutama berkaitan dengan peran dan peranan berdasarkan jenis kelamin.

Para pemeran Little Women. Sumber: Columbia Pictures/Wilson Webb
Para pemeran Little Women. Sumber: Columbia Pictures/Wilson Webb
Apa yang paling banyak berlangsung hingga saat ini di sebagian besar masyarakat dunia adalah kuasa laki-laki dengan ideologi patriarki yang menyebar dan terus bertransformasi dalam struktur dan sistem sosial. Menjadi wajar kalau laki-laki sampai saat ini masih menjadi kelas pemimpin. 

Dalam relasi kuasa patriarkal, perempuan, sebagai kelas subordinat, lebih memainkan peran domestik, berkaitan dengan rumah tangga, karena ideologi patriarki sudah berhasil mewujud menjadi struktur yang mengarahkan perempuan mereferensikan tindakan dan perannya berdasarkan struktur ideologis yang terus beroperasi (Walby, 1989).

Perempuan dikonstruksi dan ditradisikan sebagai makhluk yang bertanggung jawab kepada urusan domestik dan kalaupun bekerja formal hanya sebatas pada pekerjaan dengan akses gaji dan posisi yang lebih rendah dibandingkan laki-laki. 

Sementara, laki-laki diwacanakan sebagai mereka yang sedari awal kelahiran sudah dibentuk secara sosial untuk bertanggung jawab terhadap urusan luar, dari soal ekonomi hingga politik. Kuatnya patriarki dalam masyarakat bukan hanya berasal dari bercokolnya laki-laki dalam setiap ranah privat maupun publik. 

Lebih dari itu, masih kuatnya ideologi patriarki dalam masyarakat saat ini tidak bisa dilepaskan dari bagaimana operasi kuasa yang dibangun dan disebarkan melalui aparat-aparat yang secara transformatif terus mereproduksi superioritas laki-laki dan inferioritas perempuan dalam wacana yang berkembang dalam masyarakat. 

Kelas patriarkal sebenarnya tidak pernah memberi label nama bagi penyebaran nilai-nilai ideologisnya, namun terus meng-eks-nominasi wacananya melalui praktik-praktik sosio-kultural, ekonomi, politik, maupun representasi media. Di dalam media, laki-laki direpresentasikan sebagai subjek yang sudah selayaknya menempati posisi dominan. 

Untuk mengakomodasi kepentingan dari perempuan, maka mereka juga melakukan inkorporasi dengan cara mengartikulasikan perempuan dan kepentingan mereka dalam media sehingga ketegangan ideologis bisa dihindari. Namun, karena mereka tidak ingin kehilangan kuasa-hegemoniknya, maka di dalam representasi media perempuan lebih banyak ditandakan secara stereotip.

Maryam d'Abos dalam James Bond, The Living Daylights. Sumber: Alamy Stock Photo/Vogue.
Maryam d'Abos dalam James Bond, The Living Daylights. Sumber: Alamy Stock Photo/Vogue.

Dengan stereotipiasi, perempuan lebih banyak direpresentasikan sebagai kelas yang sudah selayaknya menempati ranah domestik yang bersifat subordinat. Kafiris (2005: 9-10) menjelaskan:

Media memberikan tingkatan sumber yang sangat terbatas yang mempromosikan konseptualitasi dan bias yang terbatas tentang perempuan. 

Sebagai contoh perempuan secara ekstrim dicitrakan sebagai objek hasrat seksual laki-laki atau seorang ibu, mereka dicitrakan sebagai makhluk lemah yang kurang berpendidikan dan hanya tertarik pada persoalan-persoalan domestik, mereka menjadi bernilai karena kemampuan untuk beranak dan kecantikan yang ideal.

Senada dengan penjelasan tersebut, Strinati (2004: 207-208), mengutip pendapat Barthes dan Tuchman, memaparkan:

Berbagai representasi kultural kaum perempuan dalam media massa dianggap bekerja mendukung dan meneruskan pembagian kerja seksual yang sudah umum diterima maupun konsepsi-konsepsi ortodoks feminitas dan maskulinitas. 

“Anihilisasi simbolis perempuan” yang dipraktikkan media massa berfungsi menegaskan peranan istri, ibu, ibu rumah tangga, dan sebagainya, merupakan takdir perempuan dalam sebuah masyarakat patriarkal. 

Kaum perempuan disosialisasikan dalam menjalankan peranan-peranan tersebut melalui berbagai representasi kultural yang membuatnya tampak menikmati hak istimewa alami kaum perempuan.

Dalam konteks tersebut, film dan juga media massa lainnya berfungsi sebagai aparat, situs, dan praktik diskursif yang membentuk realitas kultural bagi anggota masyarakat tertentu, termasuk bagi perempuan. Penggambaran perempuan seksi, putih, dan ramping, misalnya, merupakan konstruksi media yang dijadikan ideal oleh banyak perempuan masa kini

Dalam film-film Hollywood kontemporer, misalnya, perempuan masih banyak direpresentasikan menempati posisi skunder dari permainan yang diciptakan laki-laki (Gledhill, 1997).

Film-film James Bond, misalnya, masih menampilkan para perempuan cantik dan seksi yang menemani atau sekedar melengkapi petualangan si Bond. 

Film, Perempuan, dan Kepentingan Politis-Ideologis Negara

Di samping representasi stereotip perempuan yang bergerak dalam ranah domestik sebagai akibat kuatnya pengaruh ideologi patriarki dalam masyarakat, perempuan dalam film juga bisa menandakan eksistensi ideologi politik partikular yang dianut oleh sebuah negara. 

Representasi perempuan dalam narasi film, bisa saja menandakan kepentingan ideologis komunis, sosialis, sosialis-demokrat, kapitalis, nasionalis, maupun militer-totalitarian, tergantung sistem politik yang dianut oleh sebuah negara dalam rentang historis partikular dan menjadi konsensus bagi kehidupan sosio-politik dan kultural di dalam masyarakat pendukungnya.

Salah satu adegan dalam Little Women. Sumber: Columbia Picture/Indiana Express
Salah satu adegan dalam Little Women. Sumber: Columbia Picture/Indiana Express
Kehadiran perempuan dalam film sebagai representasi dari ideologi negara, masih banyak dikaitkan dengan persoalan ke-perempuan-an dan ke-ibu-an yang menjadi wacana ideologis universal, baik dalam kebudayaan Barat maupun Timur—tentu saja dengan kontekstualitasnya masing-masing. 

Dalam film-film Polandia pasca Perang Dunia II, misalnya, mitos ‘Ibu Polandia’ direpresentasikan sebagai kekuatan untuk bangkit dari keterpurukan dan penderitaan akibat perang di bawah naungan ideologi komunis yang mampu memberikan harapan baru bagi rakyat Polandia (Ostrowska, 2007).

Sementara itu, representasi perempuan Eropa (yang bukan berasal dari Inggris Raya, kebanyakan dari Eropa Timur) dalam film-film Inggris pasca Perang Dunia II, lebih banyak menandakan kepentingan politiko-ideologis pemerintah Inggris, terutama untuk menata kembali aliansi dengan negara-negara Eropa pasca Perang Dunia II dan di era Perang Dingin.

Isu nasionalisme untuk merekonsiliasikan bermacam suku yang ada dalam satu negara yang baru merdeka juga dimunculkan melalui representasi perempuan dalam struktur dunia naratif film. 

Melalui tokoh perempuan dari salah satu etnis yang terlibat hubungan cinta dengan laki-laki dari etnis lain yang sebelumnya terlibat konflik, ide rekonsiliasi untuk membangun kesatuan nasional disosialisasikan melalui jalinan narasi yang lebih banyak menyentuh sisi manusiawi. 

Dalam beberapa film Nigeria (lebih dikenal dengan sebutan Nollywood), pertikaian berdarah yang melibatkan beberapa suku besar di sana, seperti Igbo dan Hausa, dinetralisir melalui kehadiran tokoh-tokoh perempuan yang atas nama cinta dan kemanusiaan berjuang melawan hambatan etnis. 

Para tokoh perempuan juga mampu memberikan pemahaman tentang kesatuan dalam negara Nigeria, meskipun mereka menghadapi banyak permasalahan terkait kuatnya sentimen etnis (Okoye, 2007).

Perempuan memang menempati posisi dominan dalam representasi kepentingan ideologis negara melalui film, namun hal itu tidak membebaskannya dari kepentingan patriarki yang melihat mereka sebagai makhluk yang sudah sepatutnya berperan dalam ‘fungsi kehidupan’: melahirkan, menjaga, mempersatukan, serta menjaga keutuhan dengan mengorbankan impian ideal mereka sendiri. 

Artinya, dalam kondisi kritis apapun, perempuan harus menyediakan dirinya guna melayani kepentingan ideologis yang lebih luas, patriarki dan negara. 

Perempuan sebagai Objek Pandangan Seksual

Selain domestikisasi perempuan, representasi perempuan dalam film juga bisa dilihat dari sudut pandang erotisisme. Perempuan seringkali menempati posisi objek yang layak dipandang dan ditampilkan secara sensual sehingga mampu memenuhi hasrat seksual para penonton laki-laki. 

‘Pandangan politis’ tersebut, sekali lagi, berkorelasi dengan hegemoni patriarki yang memposisikan laki-laki sebagai kelas pemimpin dan berhak memperlakukan dan mempersepsikan tubuh perempuan sebagai objek pemuasan hasrat, meskipun hanya melalui citra visual.

Salah satu adegan dalam James Bond, No Time To Die. Sumber: MGM/Courtesy Everett Collection 
Salah satu adegan dalam James Bond, No Time To Die. Sumber: MGM/Courtesy Everett Collection 

Industri film Hollywood, misalnya, memperlihatkan adanya kecenderungan untuk merepresentasikan perempuan sebagai pelengkap pandangan libidinal laki-laki. Perempuan dalam film-film Hollywood adalah makhluk yang sensual, bahkan cenderung erotis, yang kemunculannya mampu mambangkitkan dan memuaskan hasrat laki-laki untuk memandang dan ‘menikmati’ fantasi tubuh. 

Mengenai persoalan tersebut, Mulvey (1989: 15-18) menjelaskan:

Daya magis Hollywood adalah gaya dalam bentuk terbaiknya (sehingga semua sinema berada dalam ruang pengaruhnya) yang muncul, tidak secara esklusif, namun dalam satu aspek penting, dari manipulasi yang cerdas dan memuaskan terhadap kenikmatan visual. 

Tak terbantahkan lagi, film arus utama mengkodekan erotika ke dalam bahasa aturan patriarkal yang dominan. Dalam sinema Hollywood yang pesat perkembangannya, hanya melalui kode-kode tersebut subjek yang teralienasi semakin dekat untuk menemukan sekilas kepuasan melalui keindahan formal dan permainan pada obsesi formatifnya sendiri…

Sinema menawarkan beberapa kemungkinan kenikmatan. Salah satunya adalah skopopilia (kenikmatan dalam memandang)…menjadikan orang lain sebagai objek, mensubjekkan mereka bagi pandangan yang dikendalikan dan bertanya-tanya…

Skopopilik, dengan demikian, berasal dari kenikmatan dalam menggunakan orang lain sebagai objek rangsangan seksual melalui pandangan…Yang kedua adalah narsisisme dan penggantian ego, berasal dari identifikasi dengan gambar yang dilihat.

Dengan teknik-teknik sinematografi, tubuh perempuan dalam industri film Hollywood merupakan objek skopopilik yang menghasilkan sifat narsis pada diri penonton pria, sehingga perempuan dengan segala keindahan dan keerotisan tubuhnya dalam citra filmis, merupakan representasi tradisional yang memang sudah sepatutnya dipandang. 

Lebih jauh, Maulvey (1989: 19) menambahkan:

Dalam jagat yang diatur oleh ketidakseimbangan seksual, kenikmatan dalam memandang terbagi antara laki-laki/aktif  dan perempuan/pasif. Pandangan laki-laki yang determinan memproyeksikan fantasinya menuju figur perempuan, yang sudah distilisasi sedemikian rupa. 

Dalam peran eksibisionis tradisional, perempuan secara simultan dipandang dan ditampilkan, dengan perwujudan mereka yang dikodekan untuk pengaruh erotik dan visual yang kuat, sehingga mereka bisa dikonotasikan sebagai ‘keterdilihatan’ (to be-looked-at-ness).…

Perempuan yang ditampilkan sebagai objek seksual merupakan leitmotif dari tontonan erotis: dari setengah telanjang hingga streap-tease….ia mengikat pandangan dan memainkan pandangan laki-laki.…

Kehadiran perempuan merupakan elemen yang tidak bisa dipisahkan dari elemen tontonan dalam film narasi normal, tetapi kehadirannya cenderung bekerja menghambat perkembangan jalan-cerita, untuk membekukan aliran aksi dalam momen kontemplasi erotis.…

(dengan demikian) Secara tradisional perempuan yang ditampilkan berfungsi dalam dua level: sebagai objek erotis untuk tokoh di dalam layar, dan sebagai objek erotis bagi penonton dalam auditorium.

Keterdilihatan perempuan dalam film menjadikannya sebagai objek yang representasinya memang ‘sudah semestinya’ dinikmati oleh keliaran pandangan dua level; tokoh laki-laki dalam film dan penonton. 

Tidak hanya dalam film-film yang mengedepankan erotisme dan pornografi, bahkan dalam film-film naratif arus utama yang diputar di bioskop kehadiran tubuh perempuan seringkali dianggap sebagai titik jedah bagi penonton untuk melakukan ‘kontemplasi erotis’.

Analisis yang dilakukan Mulvey, dengan mengkombinasikan semiotika dan psikoanalisis, menjadi trend yang berkembang dalam kritik film feminis. Para pemikir feminis kebanyakan membicarakan hilangnya otoritas subjek perempuan dalam film yang hanya menempati posisi di pandang, di mana perempuan tidak berkuasa atas tubuhnya sendiri. 

Perdebatan tidak lagi berada pada ranah sosiologis tentang domestikisasi perempuan, melainkan pada bagaimana film memproduksi tubuh perempuan dalam karya sinematiknya. 

Catatan Penutup

Dalam perspektif hegemoni, perempuan dalam film memang mendapatkan kesempatan untuk hadir dalam narasi. Mereka direpresentasikan dalam bermacam sosok dengan wacana yang melekat. Salah satu ujuan dari artikulasi perempuan dalam film adalah untuk menunjukkan bahwa industri budaya memberikan kesempatan kepada figur perempuan agar bisa berpartisipasi. 

Meskipun demikian, konstruksi wacana melalui narasi yang menghadirkan perempuan juga tidak pernah lepas dari kepentingan ideologis dan relasi kuasa. Penempatan tokoh perempuan dalam ranah domestik, misalnya, mengkonstruksi gagasan bahwa posisi ideal perempuan adalah memaksimalkan kerja-kerja rumah tangga. 

Tentu saja, ini berkorelasi dengan hegemoni laki-laki yang selalu memainkan peran dalam ranah publik. Artinya, representasi perempuan yang berhubungan dengan kerja-kerja domestik dalam narasi juga berkelindan dengan praktikd dan wacana dalam masyarakat terkait masih kuatnya superioritas laki-laki, meskipun feminisme sudah berkembang. 

Demikian pula dengan representasi tubuh perempuan seksi dan sensual dalam film sangat memanjakan pandanan seksual para lelaki, baik yang bermain maupun yang menonton film. Tubuh perempuan diposisikan sebagai objek yang memuaskan hasrat lelaki, sebagaimana berlangsung terus-menerus sampai saat ini dalam kehidupan nyata. 

Dengan demikian, apapun representasi perempuan dalam narasi film merupakan bagian dari formasi wacana dan praktik sosio-kultural yang berlangsung dalam masyarakat. Ketika wacana yang dikonstruksi dalam film menjadi bagian dari wacana dan praktik dominan dalam mayasarakat, maka itu semua ikut mendukung relasi kuasa yang menguntungkan kelompok atau kelas tertentu.

Kelas atau kelompok dominan akan menggunakan wacana dan praktik yang menguntungkan keberadaan dan kekuasaan mereka di masyarakat yang beragam. Maka, ketika para sineas mendukung wacana kelompok dominan melalui beragam narasi dan representasi, itu semua menguntungkan kelompok dominan untuk menyebarluaskan ideologi dan kuasa mereka. 

Itulah mengapa dalam membaca posisi tokoh perempuan dalam narasi film, kita tidak boleh hanya terjebak kepada paras cantik ataupun sensualitas tubuh. Lebih dari itu, kita bisa menelaah secara kritis terkait representasi perempuan dengan konteks sosio-kultural serta kepentingan kuasa apa yang menyertainya.

Daftar Bacaan

Althusser, Louis. 1971. Lenin and Philosophy. New York: Monthly Review Press.

Barthes, Roland. 1983. Mythologies. New York: Hill and Wang.

Bennet, Tony. 1986. “Introduction: the turn to Gramsci.” Dalam Tony Bennet, Colin Mercer, & Janet Woollacott (ed). Popular Culture and Social Relation. Philadelphia: The Open University Press.

Boggs, Carl. 1984. The Two Revolution: Gramsci and the Dilemas of Western Marxism. Boston: South End Press.

Fairclough, Norman. 1989. Language and Power. London: Longman.

Fiske, John. 2006. Cultural and Communication Studies, Sebuah Pengantar Paling Komperhensif (terj.Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim). Yogyakarta: Penerbit Jalasutra.

Fiske, John. 1987. Television Culture. London: Routledge.

Gledhill, Christine. 1997. “Genre and Gender: The Case of Soap Opera.” Dalam Stuart Hall (ed). Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University

Gramsci, Antonio. 1981. “Class, Culture, and Hegemony.” Dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (ed). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Hall, Stuart. 1982. “The Rediscovery of ‘ideology’: return of the repressed in media studies.” Dalam Michael Gurevitch, Tonny Bennet, James Curran, and Janet Woollacott (eds). Culture, Society, and the Media. London: Metheun. 

Hall, Stuart. 1997a. “Gramsci’s relevance for the study of race and ethnicity.” Dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen (Ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge. 

Hall, Stuart. 1997b. The Spectacle of The Other”, dalam Stuart Hall.1997. Stuart Hall (ed). Representation, Cultural Representation and Signifying Practices. London: Sage Publication in association with The Open University.

Hess, Judith. “Genre films and the status quo.” Dalam Jump Cut: A Review of Contemporary Media, No. 1 19974, diunduh dari: http://www.ejumpcut.org/archive/onlinessays/JC01folder/GenreFilms.html, 18 Septmeber 2007.

Kafiris, Krini. 2005. “Gender and Media: A Wake Up Call.” Dalam Krini Kafiris (ed). The Gender and Media Handbook, Promoting Equality, Diversity and Empowerment. Cypruss: Mediterranean Institute for Gender Studies.

Laclau, Ernesto dan Chantal Mouffe. 1981. “Hegemony and Ideology in Gramsci.” Dalam Tony Bennett, Graham Martin, Collin Mercer, and Janet Woolacott (ed). Culture, Ideology, and Social Process. Batsford: The Open University Press.

Laclau, Ernesto & Chantal Mouffe. 2001. “Hegemony: The Genealogy of a Concept.” Dalam Steven Seidman & Jeffrey C. Alexander (ed). The New Social Theory Reader, Contemporary Debates. London: Routledge.

Mulvey, Laura. 1989. “Visual Pleasure and Narrative Cinema.” Dalam Visual and Other Pleasure. Houndmills: McMillan.

Okoye, Chukwuma. 2007. "History and Nation Imagination: Igbo and the Videos of Nationalism." Postcolonial Text, Vol. 3(2).

Ostrowska, Elzbieta. 2007. “Filmic Representations of the ‘Polish Mother’ in Post-Second World War Polish Cinema.” The European Journal of Cultural Studies, vol.5.

Rapping, Ellayne. 2000. “The Politics of Representation, Genre, Gender Violence, and Justice.” Genders, Issue 32.

Richardson, Diane. 2007. “Patterned Fluidities: (Re)Imagining the Relationship between Gender and Sexuality.” Sociology, Vol. 4(3).

Risman, Barbara J. 2004. “Gender as Social Structure, Theory Wrestling with Activism.” Gender and Society, Vol. 18, No. 4.

Strinati, Dominic. 2004. Popular Culture, Pengantar Menuju Teori Budaya Populer (terj. Abdul Munkhid). Yogyakarta: Penerbit Bentang.

Slack, Jennifer Daryl. 1997. “The theory and method of articulation in cultural studies.” Dalam David Morley & Kuan-Hsing Chen (ed). Stuart Hall, Critical Dialogue in Cultural Studies. London: Routledge.

van Dijk, Teun A. 1995.  “Discourses semantics and ideology.” Discourse and Society, Vol. 6(2). 

Walby, Sylvia. 1989. “Theorising Patriarchy.” Sociology, Vol. 23(2).

Wollacott, Janet. 1997. “Fictions and Ideologies: The Case of Situation Comedy.” Dalam Paul Marris & Sue Thornham (Ed). Media Studies: A Reader. Edinburgh: Edinburgh University Press.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
  14. 14
  15. 15
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun