Angin dari Samudra Indonesia mulai menyapa muara sungai Puger, Jember, ketika saya dan seorang kawan melintasinya dengan perahu motor yang dikendalikan seorang nelayan. Beberapa kapal motor mulai berangkat melaut. Mereka akan memasuki kawasan "plawangan", semacam pintu masuk imajiner menuju Samudra Indonesia.Â
Adapun saya dan kawan tidak hendak melaut, tetapi menuju pemandian alam Kucur. Pemandian ini secara administratif masuk ke dalam wilayah Desa Lojejer, Kecamatan Wuluhan, Jember.Â
Namun, untuk menuju ke Kucur, kita bisa menempunya melalui muara sungai Puger, baik dari jalur dekat tempat pelelangan ikan ataupun dari belakang warung di Pantai Pancer.
Dari atas perahu motor, saya menikmati pesona Gunung Watangan sisi barat dan Kucur yang tertutup pohon-pohon besar. Pohon-pohon itu seolah melindungi Kucur dari sinar matahari yang lumayan menyengat. Sejak zaman Belanda, kawasan Kucur dan Watangan merupakan cagar alam yang dilindungi.Â
Tidak lebih dari 10 menit, perahu motor yang kami tumpangi sampai di Kucur. Kami segera menuju warung, berjumpa dengan juru kunci beberapa makam yang dikeramatkan oleh warga masyarakat.Â
Setelah sedikit berbincang, kami pun berpamitan untuk menikmati kopi hitam sembari menatap puluhan kapal motor yang berjuang menuju laut lepas, Samudra Indonesia.Â
TENTANG NAMA KUCUR
Terkait nama "Kucur" kita bisa mendapatkan beberapa versi cerita dan pemaknaan yang masih bisa diperdebatkan. Versi cerita lisan yang dibaluri narasi sejarah (yang belum tentu benar), nama "Kucur" berasal dari makam "Mbah Kucur" yang berada di utara pemandian.Â
Siapakah Mbah Kucur? Masih menurut cerita lisan, Mbah Kucur adalah seorang prajurit dari Mataram Islam yang mengawal atasannya, Pangeran Puger, yang bertirakat di kawasan Watangan sebelah barat. Peristiwa itu terjadi pada sekitar abad ke-18. Mbah Kucur ditemani dua temannya, Mbah Pancer Jenggot dan Mbah Sindu Pramo.Â
Selain makam Mbah Kucur, terdapat pula makam Mbah Tanjung dan Mbah Srampon. Ketiga petilasan tersebut sering dikunjungi para peziarah yang ingin memanjatkan doa kepada Tuhan Yang Mahakuasa. Bahkan, banyak di antara mereka yang membuat ritual (slametan) yang diakhiri dengan mandi di Kucur.Â
Sementara, dari makna kebahasaan, kata "Kucur" bisa jadi berasal dari kata "ngucur" yang bermakna mengalir terus tiada henti-hentinya. Ini masuk akal karena di atas kolam pemandian, terdapat sumber yang airnya mengalir sepanjang tahun, tak pernah berhenti. Air dari sumber tersebutlah yang mengalir ke kolam.Â
Terlepas versi mana yang benar tentang asal-muasal nama Kucur, apa yang tidak bisa disangkal lagi adalah kawasan ini menjadi sangat populer sejak era Belanda hingga saat ini. Airnya yang berasal dari sumber dan kawasan perbukitan yang dihuni oleh banyak satwa dan fauna endemik, mendorong Belanda untuk menjadikannya cagar alam.Â
TEMPAT IDOLA RAKYAT KEBANYAKAN
Apa yang cukup menarik dari pemandian alam yang sangat sederhana ini adalah air sumber yang terus mengalir ke kolam, tanpa henti. Sumber tersebut berasal dari air bawah tanah dari kawasan karst Watangan.Â
Banyaknya pohon-pohon besar di Watangan merupakan faktor utama terus mengalirnya air dari sumber. Akar-akar pohon besar sangat efektif dalam menyimpan air.
Di kolam pemandian, para pengunjung bisa mandi dan berenang sepuasnya. Air yang cukup jernih dari sumber begitu menyegarkan. Keberadaan pohon-pohon besar di atas pemandian menjadikan suasana semakin sejuk dan menyegarkan. Itulah mengapa banyak pengunjung yang cukup betah berlama-lama mandi.Â
Bagi rakyat kebanyakan, Kucur merupakan salah satu destinasi wisata alam idola. Selain letaknya yang dekat dengan Samudra Indonesia, udara yang cukup sejuk dan segar, mendorong mereka untuk mengunjunginya bersama keluarga atau teman dekat. Biaya yang cukup murah untuk sampai ke lokasi serta tidak adanya tiket masuk menjadi alasan lain pengunjung untuk datang.Â
Setelah mandi, para pengunjung biasanya akan menikmati makan dan minum sembari menikmati debur ombak di kawasan Plawangan dan parade kapal nelayan yang berjuang untuk masuk ke Samudra Indonesia. Tentu saja, momen-momen itu bisa dikatakan istimewa karena menghadirkan semangat berjuang kaum nelayan dan keindahan samudra.
Selain itu, keberadaan pohon buah yang bisa dikonsumsi seperti pohon "slumprit" menyebabkan banyak kera hadir di sekitar pemandian. Para kera berwarna coklat muda juga menunggu kebaikan hati para pengunjung yang bersedia memberikan makanan kepada mereka.
Kombinasi antara biaya yang murah, sensasi mandi di kolam, kesegaran udara, keindahan pemandangan samudra, dan perjuangan para nelayan merupakan alasan mengapa sampai sekarang masih banyak pengunjung yang datang, meskipun tidak ada fasilitas mewah di Kucur.Â
ANTARA HARTA KARUN DAN RESTU BUMI
Ketika sedang menikmati kopi, salah satu pedagang bercerita bahwa menurut keyakinan banyak orang yang menjalani tirakat di petilasan, di sekitar atau di atas Kucur tersimpan harta karun yang cukup banyak. Bahkan, utang negara bisa lunas kalau harta karun tersebut bisa ditemukan.Â
Saya sudah seringkali mendengar dan membaca tentang kisah harta karun yang diperuntukkan untuk melunasi hutang Indonesia.Â
Bagi saya, harta karun yang sebenarnya dari kawasan Kucur dan Watangan adalah air yang terus mengalir dari sumber sepanjang tahun, tanpa henti. Sumber yang berasal dari keberadaan hutan di kawasan karst tersebut merupakan harta yang tak ternilai karena banyak masyarakat Jember dan luar Jember yang merasakan kebahagiaan ketika berkunjung ke tempat ini.Â
Bagi saya, Kucur merupakan bukti nyata restu bumi, meminjam judul lagu Dewa 19, di mana terjaganya kawasan hutan di kawasan ini menjamin cadangan air yang keluar melalui sumber. Restu bumi itulah yang memungkinkan aktivitas kehidupan berlangsung di kawasan tepi Samudra Indonesia ini.Â
Restu bumi itulah yang menjadi amanah bagi pemerintah dan masyarakat, khususnya dalam wujud tanggung jawab untuk terus merawat dan melestarikannya.Â
Maka, kita bisa menilai betapa perhatiannya pemerintah kolonial Belanda yang menjadikan kawasan Kucur dan Watangan sebagai cagar alam agar bisa terlindungi dari upaya jahat manusia untuk merusaknya.Â
Ketika hutan dan kawasan karst di Kucur dan Watangan rusak akibat ulah manusia, baik untuk kepentingan pertambangan, hutan produksi, ataupun pertanian yang kurang bertanggung jawab, maka ketersediaan air akan terganggu serta bisa berdampak pada berhentinya sumber. Ini tentu sebuah kerugian besar bagi masyarakat.Â
MENINGGALKAN KUCUR
Waktu menunjukkan pukul 16.00 WIB ketika perahu motor yang mengantar saya dan kawan datang menjemput. Meskipun masih ingin berlama-lama di Kucur, saya harus segera kembali ke Jember. Dari atas perahu, saya memuaskan hasrat visual untuk menikmati keindahan Kucur dari kejauhan, juga pesona muara sungai di sore hari.Â
Bentang hijau Gunung Watangan berdiri kokoh menemani Samudra Indonesia. Hutan alam laksana permadani hijau sekaligus menjadi benteng alam yang melindungi masyarakat Wuluhan dari ancaman tsunami akibat megathrust.Â
Wajar kiranya kalau pemerintah kolonial Belanda menetapkan kawasan Kucur dan Watangan sebagai cagar alam untuk melindungi ekosistemnya.Â
Tentu dibutuhkan kerja sama pemerintah dan masyarakat agar Kucur terus memberikan kebahagiaan. Status cagar alam harus dipertahankan agar ekosistem hutan alam tetap bisa memberikan air jernih sepanjang tahun.Â
Kalau izin pertambangan atau pembukaan lahan untuk kepentingan lain diberikan, maka sumber air di Kucur akan terancam keberadaannya.Â
Masyarakat tentu tidak ingin Kucur tinggal sejarah. Generasi mendatang juga berhak untuk menikmati keindahan Kucur dengan bermacam atraksi alaminya. Ketegasan pemerintah untuk tidak mengalihfungsikan cagar alam menjadi hutan produksi merupakan salah satu kunci untuk mempersembahkan Kucur untuk generasi mendatang.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI