Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Film Pilihan

Kuasa dalam Layar Impian: Ekonomi-Politik dan Budaya Pascakolonial dalam Film

5 Juni 2022   00:02 Diperbarui: 5 Juni 2022   06:46 629
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Untuk bisa memenuhi kepentingan komersial dan kepentingan ideologis-politiknya, tentu saja para pemodal harus memperhatikan konteks sosio-kultural masyarakat dan situs untuk merepresentasikan kepentingan tersebut. Yang termasuk dalam konteks sosio-kultural adalah perubahan budaya yang ada di masyarakat akibat penerapan sistem ekonomi-politik yang mengikuti kecenderungan yang di negara-negara Barat dan pengaruh budaya global dalam kehidupan sehari-hari warga. Situs representasi dalam hal ini adalah genre film populer agar masyarakat lebih tertarik untuk menonton. 

Terkait persoalan budaya, dalam hal ini dipahami sebagai praktik dan orientasi kultural, pembicaraan tidak bisa dilepaskan dari kondisi budaya pascakolonial yang secara genealogis berlangsung dalam masyarakat pada masa penjajahan, selepas kemerdekaan, dan transformasinya hingga saat ini. Pada masa kolonial, penerapan sistem ekonomi-politik eksploitasi telah mengakibatkan proses pengekangan, pembatasan, dan pengebirian hak-hak dari warga terjajah. 

Penjajah direpresentasikan sebagai subjek superior yang tengah menjalankan proyek besar Pencerahan bagi warga benua lain yang diceritakan secara stereotip dalam catatan perjalanan, karya sastra, maupun penelitian antropologis sebagai “liyan” (the other) yang kanibal, terbelakang, tidak berpendidikan, tidak beradab, dan tidak bergama sehingga layak untuk dijajah dan dididik menjadi modern (Said, 1978, 1994; Slemon, 1995; Bishop, 1995; Kachru, 1995; Célestin, 1996; Lidchi, 1997; Loomba, 2000: 57-58; Weaver-Hightower, 2007; Mrázek, 2006: 147; Brantlinger, 2009; Pennycook, 1998).  

Kondisi inilah yang menyebabkan inferioritas sehingga mereka seringkali memimpikan untuk “menjadi seperti penjajah” atau “bermimpi menjadi Barat” (Lombard, 2000; Fanon, 2008: 74). Akibatnya, mereka berada ambivalensi antara tradisionalisme dan modernisme, antara emansipasi dan asimiliasi, yang seringkali menghadirkan dualitas tragis atau kegandaan psikis (Mbebe, 2001: 12; Quayson, 2000: 16-17). 

Resistensi fisik dan intelektual terhadap penjajah dan segala pengaruhnya memang menghasilkan kemerdekaan. Namun, resistensi yang dijalani sebagai penanda dari cita-cita nasionalisme untuk membangun kehidupan kenegaraan dan kebangsaan tanpa beban-beban historis masa kolonial (Gandhi, 1998: 111-112), nyatanya tidak bisa menghilangkan jejak-jejak ideologis yang diwarisi dari bangsa penjajah berupa penerapan sistem pendidikan, hukum, militer, politik, ekonomi, dan sosio-kultural yang banyak meniru rezim kolonial atau negara-negara yang dianggap maju. 

“Proyek-proyek modernitas”, seperti  proyek emansipasi, ekspansi, renovasi, dan demokratisasi (Canclini, 1995) yang menjanjikan beragam wacana dan praktik perbaikan serta pencerahan bagi kemajuan setiap manusia dan bangsa, seperti yang dijanjikan proyek Abad Pencerahan (Venn, 2006: 55), ternyata menjadi impian besar dari praktik negara modern pascakolonial yang benar-benar mengadopsi Barat. 

Dengan kata lain, hasrat kosmopolitan untuk mendapatkan kemajuan dan pencerahan sebagaimana dialami negara-negara maju sebenarnya menjadi paradigma yang kuat bagi para elit di tingkat nasional, sehingga berpengaruh pada kendurnya strategi budaya nasional dan kebimbangan dalam menentukan sikap subjek-subjek pascakolonial (Fanon, 1995). 

Dalam kasus Indonesia, misalnya, ketakjuban pada formasi negara modern ala Barat telah menghasilkan kebimbangan-kebimbangan subjek pascakolonial, dari elit politik, akademik, sampai ke rakyat biasa, dalam menentukan arah kehidupan bernegara, berbangsa, dan berbudaya sampai hari ini (Sears, 2005: 335-336).

Ambivalensi dalam diri subjek-subjek pascakolonialmemberikan peluang besar masuknya pengaruh neoliberalisme sebagai sistem yang menekankan kebebasan pasar (Clarke, 2005: 50-51; Harvey, 2007: 10-11; Lapavitsas, 2005) melalui globalisasi dalam bidang ekonomi dan politik melalui lembaga keuangan internasional dan perusahaan transnasional yang selalu diidealisasikan memberikan kesejahteraan, demokratisasi, dan pemberadaban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. 

Dalam bidang ekonomi, globalisasi neoliberal ditandai aliran kapital raksasa (huge capital) dari negara-negara maju menuju negara-negara berkembang dan miskin, melalui perusahaan transnasional (transnational corporations/TNCs) dan lembaga-lembaga keuangan internasional. 

Praktik ini memunculkan homogenisasi sistem dan praktik ekonomi neoliberal serta menciptakan keterhubungan di antara negara-negara di dunia (Steger, 2006: 38-40). Kehadiran TNCs dan ‘tangan-tangan dermawan’ lembaga keuangan diargumenkan bisa mempercepata pertumbuhan ekonomi negara berkembang dan miskin serta mengurangi kemiskinan (Edwards, 2007: 262-263; Stallings, 2007: 214). 

HALAMAN :
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun