Mohon tunggu...
Ikwan Setiawan
Ikwan Setiawan Mohon Tunggu... Dosen - Kelahiran Lamongan, 26 Juni 1978. Saat ini aktif melakukan penelitian dan pendampingan seni budaya selain mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Dosen dan Peneliti di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Jember

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Chandra, Nasib Bioskop Peninggalan Kolonial di Jember

6 November 2021   20:15 Diperbarui: 16 November 2021   10:11 1618
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Dokumentasi Pribadi

Gambar idoep, demikian sebutan untuk film di zaman kolonial, diputar pertama kali pada 5 Desember 1900. Kehadiran film merupakan tanda modernitas kolonial di tanah jajahan. 

Bukan hanya berkaitan dengan kemajuan teknologi, tetapi juga hiburan dan pengetahuan tentang dunia yang lebih luas. 

Kalangan elit Eropa, elit Tionghoa, elit Arab, dan elit pribumi bisa menikmati film dokumenter tentang perjalanan pimpinan Belanda dan film-film hiburan dari Amerika Serikat. 

Para penonton itu tentu mendapatkan wacana-wacana baru tentang gaya hidup ataupun hal-hal yang berlangsung di luar Hindia Belanda.

Di wilayah perkebunan seperti Jember, dibukanya perkebunan dan pabrik gula juga membutuhkan hiburan. Maka, gedung bioskop dan gedung pertunjukan pun dibangun. 

Tidak hanya di kota kabupaten, tetapi juga di pinggiran. Di Semboro dan Kencong, gedung bioskop Chandra dibangun karena di dua wilayah ini terdapat pabrik gula yang beroperasi sejak 1928. 

Menurut informasi, selain sebagai tempat pemutaran film, gedung bioskop Chandra juga berfungsi sebagai tempat menikmati pertunjukan kesenian seperti kethoprak dan wayang wong. 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

Dibangunnya gedung bioskop menjadi penanda bahwa pemerintah kolonial berusaha memberikan hiburan kepada kelompok elit Eropa agar mereka betah tinggal dan bekerja di kawasan Jember. Selain itu, agar warga elit di masyarakat terjajah memberikan apresiasi terhadap kehadiran mereka. 

Sementara, untuk para buruh perkebunan dan pabrik gula, pemerintah memberikan hiburan berupa pertunjukan kesenian rakyat. Hiburan itu perlu diberikan agar mereka bisa bergembira sehingga mereka tidak akan melakukan resistensi berlebihan terhadap para pekebun Belanda.

Menariknya, di samping bangunan Chandra di Semboro, terdapat Gereja Protestan OEKOMENE (Oikumene). Saya tidak tahu persis alasan didirikannya gereja yang bersebelahan dengan bioskop. 

Namun, secara kultural, bermanfaat untuk mempromosikan keberadaan gereja kepada warga luas. Selain itu, secara religi mungkin bisa ditafsir untuk menyeimbangkan kehidupan duniawi dan akhirat.

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

Sekali lagi itu hanya tafsir yang bisa jadi kurang tepat. Yang pasti, dakwah Protestan memang cukup massif di era kolonial Belanda. 

Tidak mengeherankan kalau di Semboro terdapat beberapa desa yang menjadi pusat agama ini seperti Desa Rejoagung dan Desa Sidorejo. 

Sampai sekarang, gereja Oekomene tersebut masih digunakan warga untuk kegiatan ibadah. Dampak positifnya, gereja tersebut masih terawat dengan baik. 

Sayangnya, di era pascakolonial, kondisi Chandra perlahan-lahan mulai dilupakan. Pada masa Sukarno hingga era rezim Orde Baru berkuasa, gedung ini masih dimanfaatkan untuk pertunjukan kesenian. 

Juga, masih digunakan untuk menonton film-film di era Orde Baru, setidaknya sampai era 90-an. Film yang menjadi favorit adalah film laga yang dibintangi Barry Prima.

Namun, sesudahnya sudah sangat jarang dimanfaatkan. Memang gedung ini belum hancur, karena berada di kawasan pabrik gula yang masih aktif. Saat ini terjadi alih fungsi di mana bagian depan dimanfaatkan untuk berjualan makanan dan minuman dengan nama Kantin Chandra. 

Foto: Dokumentasi Pribadi
Foto: Dokumentasi Pribadi

Yang cukup disayangkan adalah gedung bioskop Chandra di Kencong sudah menuju kehancuran. Begitupula dengan pabrik gula di sana. Bahkan, gedung serupa di Balung sudah rata dengan tanah. Sementara, beberapa gedung bioskop di tempat lain dialihfungsikan sebagai tempat usaha.

Kurangnya perhatian dari pemerintah terhadap bangunan bersejarah memang sangat disayangkan. Bagaimanapun juga, kita bisa belajar banyak dari bangunan-bangunan kolonial, bukan hanya tentang arsitektur tetapi juga tentang sejarah dan ingatan yang bisa mengantarkan kita ke banyak hal. 

Kalau pemerintah daerah cerdas dan kreatif, mereka bisa saja bekerjasama dengan pihak pabrik atau perkebunan untuk memanfaatkan bangunan kolonial sebagai destinasi wisata yang bisa dipromosikan sampai ke Belanda. 

Sangat mungkin, keturunan warga Belanda atau Eropa yang pernah di Jember ingin mengetahui jejak moyang mereka di bumi Jember.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun