Saya seringkali membayangkan betapa beraninya para pekebun Belanda di masa kolonial. Menguatnya pengaruh liberalisme ekonomi sejak abad ke-19 memberi kesempatan kepada para pemodal swasta untuk berinvestasi di wilayah jajahan Hindia Belanda, termasuk Jember dan sekitarnya.Â
Dengan menggunakan tenaga buruh pribumi, mereka mengeksplorasi kawasan hutan di lereng pegunungan Argopuro, Jember.Â
Mereka dengan antusias membabat hutan hujan tropis untuk membuka kawasan perkebunan komersial. Kandungan humus yang cukup subur menjadikan kawasan perkebunan baru tersebut cocok untuk menanam tanaman komersial seperti kopi, kakao, dan karet.Â
Tanaman-tanaman itulah yang memberi keuntungan berlimpah kepada pihak swasta dan pemerintah kolonial.Â
Khusus di kawasan Gunung Gambir, pekebun kolonial mendapati lahan yang berada 900 dpl tersebut bisa ditanami teh. Teh juga menjadi komoditas yang mendatangkan keuntungan.Â
Maka, kawasan yang sekarang terletak di Desa Gelang, Kecamatan Sumberbaru, Jember itu pun menjadi kawasan perkebunan teh di timur Jawa, selain Guci Alit di Lumajang.Â
Menurut informasi yang masih perlu dilacak lagi kebenarannya, perkebunan ini mulai dikelola pada tahun 1918. Selain pucuk daun teh untuk konsumsi umum, menurut informasi perkebunan ini juga menghasilkan teh hijau dan teh hitam yang digemari pasar internasional.
Lokasi perkebunan yang jauh dari kota dan jalan raya ini menjadi masalah tersendiri, khususnya dalam hal pengelolaan pasca petik.Â
Kalau dibawa ke pabrik di kota atau di perkebunan lain jelas tidak efektif dan membutuhkan waktu dan biaya yang tidak sedikit. Maka, bisa diasumsikan sebagai upaya untuk mengefisiensikan dan  memaksimalkan pemrosesan, pabrik pun dibangun di atas wilayah perkebunan.Â
Ukurannya pun cukup besar. Tentu membutuhkan waktu dan biaya serta tenaga trampil untuk membangun pabrik di wilayah pegunungan.
Saya membayangkan pabrik ini di masa kolonial pasti memroses daun teh yang cukup banyak dan menghasilkan teh bermutu.Â
Daun yang dipetik oleh ratusan buruh pemetik dengan pengawasan mandor diolah dengan bantuan mesin dalam pengawasan para lelaki kulit putih dengan pakaian putih pula.Â
Relasi sosial di wilayah perkebunan tetap menghadirkan batasan-batasan, meskipun masing-masing pihak mesti bekerjasama untuk pemeliharaan dan panen di kebun teh, hingga proses pengelolaan di area pabrik.
Entah berapa besar keuntungan yang dihasilkan dari perkebunan dan pabrik teh Gunung Gambir. Namun, kalau tidak menguntungkan, tentu saja, mereka akan enggan membangun pabrik di kawasan pegunungan yang, tentu saja, tidak mudah.Â
Agar para buruh betah tinggal di wilayah perkebunan, pemukiman buruh pun dibuat di kawasan ini. Meskipun tetap tidak bisa mengobati kerinduan dengan keluarga di wilayah Madura atau wilayah Jember lainnya, setidaknya, pemukiman bisa memberikan mereka rasa aman dan nyaman.
Ketika saya berkunjung ke pabrik itu pada tahun 2019, kondisi besi dan bangunannya sudah mulai melapuk, meskipun belum hancur. Bekas mesin tidak begitu banyak.Â
Bisa dikatakan bekas pabrik itu sudah bersiap menunggu kehancuran. Kompisisi besi berkarat dan tembok yang mulai rusak benar-benar memberikan kesan mistis dan agak menakutkan.Â
Kesan horor pun muncul ketika suasana mendung atau agak gelap. Bagi para pelancong yang menggemari tempat-tempat angker dan misterius, mungkin bekas pabrik teh ini bisa menjadi tujuan yang cocok.Â
Meskipun belum tentu mereka akan menjumpai sosok-sosok hantu, setidaknya kondisi bangunan tersebut menghadirkan aura yang lumayan mencekam.Â
Saya tidak mendapatkan informasi sejak kapan pabrik ini tidak beroperasi. Bisa diasumsikan mungkin biaya operasional dan hasil yang dihasilkan tidak sebanding sehingga diputuskan untuk ditutup.Â
Atau, bisa jadi karena pengelolaan yang kurang profesional, sehingga aktivitas pabrik tidak menghasilkan keuntungan. Semua masih perlu ditelusuri. Yang pasti, segala hal yang tidak memberikan keuntungan kepada pemiliknya, pasti tidak akan dipertahankan.Â
Sayangnya, setelah pabrik itu tidak beroperasi, bangunan dan mesin-mesinnya tidak dirawat dengan baik. Ini menjadi masalah utama bagi bangsa ini.Â
Bangunan-bangunan tua yang di masa kolonial berfungsi strategis ketika di masa pascakolonial tidak berfungsi lagi serigkali dibiarkan terbengkalai.Â
Realitas ini menunjukkan betapa susahnya pihak-pihak terkait merawat warisan sejarah yang sangat dibutuhkan untuk kajian ataupun untuk mendesain kebijakan terkait perkebunan teh.Â
Untunglah, PTPN XII masih mengelola perkebunan teh Gunung Gambir dengan baik untuk kegiatan pariwisata dan kepentingan produksi daun teh yang dikirim ke pabrik lain.Â
Keputusan untuk menjadikan kebun teh sebagai objek wisata memang tepat karena ini satu-satunya yang ada di Jember dan akses jalannya relatif mudah. Warga masyarakat Jember atau dari wilayah lain bisa menikmati keindahan perkebunan teh dengan udara yang cukup segar.Â
Beberapa bangunan di dekat pabrik difungsikan sebagai penginapan untuk tamu yang ingin menikmati malam di kawasan perkebunan. Sayangnya, perawatan untuk bekas pabrik tidak dilakukan dengan baik.Â
Padahal, bangunan tersebut merupakan peninggalan kolonial yang bisa dijadikan cagar budaya karena berkaitan dengan sejarah bangsa ini serta mengandung banyak pengetahuan historis terkait kolonialisme, teh, dan teknologi pengelolaan.Â
Tentu kita berharap PTPN XII bisa mengelola bangunan itu sebagai cagar budaya bernilai historis.Â
Kalaupun perawatannya membutuhkan biaya, tentu bisa dikomunikasikan dengan pemerintah yang memang memiliki kewajiban berdasarkan undang-undang yang berlaku, seperti UU Cagar Budaya dan UU Pemajuan Kebudayaan.Â
Kalau bangunan-bangunan peninggalan Belanda "tidak diurus", ya nasib mereka akan melapuk dan hancur bersama waktu, sepertihalnya bekas pabrik teh Gunung Gambir. Dan, bangsa ini pun akan kehilangan kekayaan budaya bernilai sejarah yang cukup penting.Â
Setidaknya, untuk bangunan-bangunan yang masih bagus kondisinya, pihak-pihak terkait bisa berkolaborasi untuk mempertahankan eksistensi mereka sebagai warisan sejarah dan budaya bagi generasi mendatang.Â
Kalaupun tidak bisa beroperasi lagi, bangunan-bangunan tersebut bisa dijadikan destinasi wisata minat khusus seperti untuk penelitian dan fotografi atau bisa dijadikan lokasi alternatif untuk pembuatan film.Â
Tentu saja, masih banyak alternatif yang bisa dikembangkan dan dikerjakan. Semua tergantung kemauan dan kemampuan untuk mewujudkannya.