Spiritualitas bumi merupakan bentuk keyakinan spritual yang ditujukan untuk memberikan penghomatan dan penghargaan kepada bumi dan alam tempat manusia hidup dan berada.
Bumi diibaratkan sebagai “pertiwi” atau “ibu”, yang atas kehendak Tuhan Yang Mahapencipta, memberikan apa-apa yang dibutuhkan bagi kehidupan manusia.
Pranata mangsa menegaskan bahwa dalam proses kehidupan, manusia selalu terikat dengan bumi dan alam. Dengan kata lain, manusia seharusnya mendekatkan diri kepada alam dan menghormati bumi. Manusia harus mengenal segala daya dan kekuatan alam, termasuk peredarannya yang berjalan dari musim ke musim.
Tidak mengherankan kalau dalam sebagian besar masyarakat Jawa Timur maupun Jawa Tengah dan Yogyakarta, tradisi sedekah bumi atau di sebagian wilayah disebut nyadran (Lamongan dan sekitarnya) masih dijalankan hingga hari ini.
Dengan keyakinan itu pula petani Jawa dapat terus mempertahankan hidupnya, kendati segala kesulitan yang mereka derita. Bumi telah menjadi bagian dari kerohanian mereka, sehingga bumi menopang hidup mereka yang lahiriah pula.
Kondisi pranata mangsa di Jawa Timur. Bisa dikatakan, bahwa pada masa sebelum revolusi hijau dalam bidang pertanian yang menggunakan teknologi dan bahan kimia, seluruh masyarakat Jawa Timur mengenal adanya pengetahuan pranata mangsa, meskipun dengan istilah yang berbeda.
Sayangnya, mekanisasi (penggunaan alat-alat mesin dan irigasi modern untuk mengelola sawah) dan kimiawisasi (penggunaan pupuk dan obat buatan pabrik untuk tanaman), dari waktu ke waktu semakin menggusur pemahaman terkait pranata mangsa.
Sejak Orde Baru, utamanya pada periode 1990an, menggalakkan pertanian modern, pranata mangsa perlahan-lahan ikut menghilang dari pengetahuan lokal petani di Jawa Timur. Memang, beberapa istilah kunci seperti mangsa rendheng, ketiga, paceklik, maupun labuh, masih dikenal oleh petani, tetapi hal itu bukan lagi menjadi patokan.
Sebagai ilustrasi, saya hadirkan cerita tentang perubahan pola pertanian Dusun Sambiroto, Kecamatan Sugio, Lamongan yang berdampak pada pergeseran ekonomi, sosial, dan budaya. Pada era 1970-an hingga 1980-an, para petani Sambiroto masih mengandalkan perhitungan pranata mangsa untuk mengelola sawah.
Pada musim rendheng mereka akan bergiat ke sawah untuk mempersiapkan tanaman padi. Para lelaki akan mencangkul atau membajak sawah. Setelah lahan dan winih sudah siap, para perempuan akan nandur, menanam winih.