Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Penulis

Peminat Sejarah, Budaya dan Kajian Keamanan Nasional. Cita-cita jadi anggota KOWAL tapi gagal karena mabuk laut. Ingin jadi WARA tapi phobia ketinggian. Ingin jadi Diplomat tapi TOEFL belum 600.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Seiras Gerakan Mahasiswa dan Demokrasi

26 Februari 2025   07:54 Diperbarui: 26 Februari 2025   07:53 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto : Pinterest.com

Pernahkah Anda membayangkan seperti apa wajah demokrasi Indonesia tanpa peran mahasiswa? Coba bayangkan sejenak, mungkinkah kita menikmati kebebasan seperti sekarang tanpa keberanian mereka turun ke jalan pada Mei 1998? Jawabannya tentu saja tidak semudah itu.

Sebagai generasi yang hidup di era pasca-Reformasi, kita sering lupa betapa pentingnya gerakan mahasiswa dalam menjaga napas demokrasi tetap berhembus. Mereka bukan sekadar pemuda yang berkumpul di kampus untuk belajar, tetapi juga menjadi garda terdepan perubahan yang tak kenal takut.

Jika kita melihat ke belakang, gerakan mahasiswa di Indonesia telah berulang kali membuktikan diri sebagai katalisator perubahan sosial dan politik yang menentukan. Siapa yang bisa melupakan bagaimana ribuan mahasiswa menduduki gedung DPR/MPR pada Mei 1998? Aksi nekat tetapi penuh perhitungan itu akhirnya berhasil menumbangkan rezim Orde Baru yang telah berkuasa selama 32 tahun. Sungguh, tanpa keberanian mereka, mungkin kita masih hidup dalam bayang-bayang otoritarianisme hingga hari ini.

Mengapa mahasiswa begitu kuat dalam menggerakkan perubahan? Tentu saja ada banyak faktor. Menurut pengamat politik Sidney Tarrow, mahasiswa memiliki apa yang ia sebut sebagai "pembebasan kognitif". Kemampuan untuk membayangkan alternatif dari sistem yang ada tanpa terbebani oleh pola pikir lama. Nah, inilah yang membuat mereka berani bermimpi tentang Indonesia yang lebih adil dan demokratis ketika banyak pihak sudah menyerah pada status quo.

Selain itu, kampus-kampus kita bukan sekadar tempat menimba ilmu, tapi juga menjadi semacam "laboratorium demokrasi" seperti yang diungkapkan filsuf pendidikan John Dewey. Di sanalah pemikiran kritis, diskusi terbuka, dan kesadaran politik dapat berkembang tanpa takut dibungkam. Coba perhatikan bagaimana diskusi-diskusi di kantin kampus atau di bawah pohon rindang sering kali lebih tajam dan jujur daripada perdebatan di gedung parlemen!

Bagi Anda yang pernah mengikuti atau sekadar mengamati gerakan mahasiswa, pasti setuju bahwa kekuatan mereka juga terletak pada fleksibilitas dan kecepatan beradaptasi dengan teknologi. Para mahasiswa zaman now tidak lagi hanya mengandalkan orasi di lapangan kampus, tetapi juga memanfaatkan media sosial untuk menyebarkan gagasan dan mengorganisir massa. Seperti yang dikatakan ahli komunikasi Manuel Castells, mahasiswa adalah pionir "protes berjejaring" yang menggunakan teknologi digital untuk memperluas jangkauan gerakan mereka.

Tahukah Anda bahwa fenomena ini sebenarnya bisa dijelaskan melalui teori-teori politik? Misalnya, Teori Struktur Kesempatan Politik yang dikembangkan Peter Eisinger dan Doug McAdam menjelaskan bahwa gerakan sosial muncul ketika ada celah dalam sistem politik. Mahasiswa, dengan posisi mereka yang relatif aman dan didukung sumber daya kampus, sering menjadi yang pertama mengenali dan memanfaatkan celah-celah tersebut.

Sebagai contoh, perhatikan bagaimana mahasiswa selalu menjadi barisan terdepan dalam mengkritik kebijakan kontroversial pemerintah dari RUU KUHP hingga UU Cipta Kerja. Mereka bergerak cepat, bahkan sebelum kelompok masyarakat lain menyadari implikasi dari kebijakan-kebijakan tersebut.

Namun, jangan salah paham. Gerakan mahasiswa bukanlah tanpa kelemahan. Saya yakin Anda juga pernah mempertanyakan seberapa representatif suara mereka. Memang benar, tidak semua mahasiswa memiliki pandangan yang sama, dan terkadang suara yang paling keras bukanlah suara mayoritas. Ada juga pertanyaan apakah mahasiswa yang kebanyakan berasal dari kelas menengah ke atas benar-benar memahami permasalahan rakyat kecil?

Ilmuwan politik Frances Fox Piven pernah mengingatkan bahwa gerakan mahasiswa juga dibatasi oleh ketergantungan mereka pada institusi pendidikan. Kampus bisa memberikan sanksi, dan ancaman DO (drop out) bisa menjadi alat efektif untuk meredam aktivisme mahasiswa yang dianggap terlalu "keras". Selain itu, sifat sementara dari populasi kampus, mahasiswa lulus dan digantikan yang baru, sering membuat gerakan sulit mempertahankan momentum dalam jangka panjang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun