Mohon tunggu...
Defrida
Defrida Mohon Tunggu... Penulis

Peminat Sejarah, Budaya dan Kajian Keamanan Nasional. Cita-cita jadi anggota KOWAL tapi gagal karena mabuk laut. Ingin jadi WARA tapi phobia ketinggian. Ingin jadi Diplomat tapi TOEFL belum 600.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Urgensi Kajian Komunikasi Lintas antar Budaya dalam Penyelesaian Konflik

4 September 2023   21:30 Diperbarui: 4 September 2023   21:32 334
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ada banyak hal yang ingin saya bagikan tentang keunggulan Ilmu Komunikasi, terkhususnya Konsentrasi Komunikasi Lintas Antar Budaya yang telah lama menjadi salah satu Konsentrasi unggulan dari FISIP Ilmu Komunikasi Universitas Nusa Cendana Kupang. Sayang sekali jika konsentrasi ini harus dipecah lagi atau bahasakan saja “berbagi ruang” dengan kajian pariwisata yang sebenarnya sudah banyak dibuka program studinya oleh politeknik negeri dan Sekolah Tinggi Ilmu Pariwisata. “Sakral”nya pembahasan tentang Komunikasi Lintas Antar Budaya seharusnya dibiarkan tetap seperti itu karena memiliki peranan penting dalam isu pertahanan terutama dengan Masyarakat Multikultural seperti Indonesia. 

Berbeda dengan Antropologi yang mengemas kajian budaya dan manusia dalam bentuk yang sederhana bahkan tak jarang harus membutuhkan media untuk membahasakan hasil penelitian yang mungkin terbatas dalam ruang akademik seperti jurnal-jurnal penelitian yang tak mencapai Masyarakat umum. Komunikasi Lintas Antar Budaya mampu menerjemahkan dan mengemas pengetahuan dan kajian ilmu tentang budaya melalui media yang menarik dan mampu mencapai Masyarakat umum. Lalu apa hubungan antara Konsentrasi Lintas Antar Budaya dengan Sistem Pertahanan Nasional?

Saya mulai pembahasan ini dari konflik di Papua antara Pemerintah dan Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) yang dulunya dikenal dengan nama Organisasi Papua Merdeka. Saya membaca sebuah Jurnal yang berjudul "Upaya Indonesia Mencegah Konflik Papua dengan Pendekatan Mediasi Humanistik"

Humanistik, metode yang identik dengan wacana baru kepolisian setelah masa orde baru. Lalu apa yang yang dimaksud dengan Humanistik itu sendiri? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Humanistik merupakan kata turunan dari Kata Humanistis yang bermakna bersifat Kemanusiaan atau sebuah paham yang menganggap manusia sebagai objek terpenting.

Dalam Kajian Komunikasi Lintas Antar Budaya, Manusia di dalam mediasi (bisa dipakai istilah dialog) terbagi dalam dua kelompok atau peranan yakni Komunikator dan Komunikan. Komunikasi Lintas Antar Budaya tidak akan serta melihat Komunikator dan Komunikan sebagai personal independen tetapi personal yang bergantung atau dipengaruhi oleh budaya masing-masing Ketika berkomunikasi. Terdapat 6 unsur dalam proses komunikasi yakni Komunikator, Pesan, Media, Komunikan, Efek, Umpan balik. Komunikasi Lintas Antar Budaya akan membedah latar belakang budaya Komunikator dan Komunikan terlebih dahulu untuk memprediksi dinamika dalam proses Komunikasi, hingga pada opsi yang akan didapatkan dalam hasil komunikasi.

Kembali lagi pada pembahasan Antara Komunikasi Lintas Antar Budaya dan Pertahanan Nasional dalam menanggapi Konflik di Papua. Kebanyakan Jurnal yang saya baca selalu menimbulkan rasa ingin tahu saya tentang siapa komunikator dan komunikan yang terlibat di dalam dialog penyelesaian Konflik di Papua. Mengapa Konflik ini tak kunjung usai meski dialog atau mediasi yang humanis telah dilakukan? Mengapa Konflik ini tidak dapat diredam seperti Konflik Gerakan Aceh Merdeka meski tidak dapat dipungkiri bahwa Bencana Alam Tsunami yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, turut diperhitungkan sebagai salah satu faktor yang meredam Gerakan Aceh Merdeka hingga berakhir pada kesepakatan damai di Helsinki, 15 Agustus 2005. Perihal Komunikator dan Komunikan dalam dialog Konflik di Papua juga mengantarkan saya pada sebuah cerita tentang kekhawatiran Wakil presiden pertama Republik Indonesia, Mohammad Hatta (Bung Hatta) yang menolak penggabungan Papua ke dalam Negara yang akan Merdeka (Indonesia) di kala siding BPUPKI pada tanggal 11 Juni 1945.

Papua, seperti dikatakan kemarin oleh Mr. Muh. Yamin, menurut penyelidikan akhir tentang ethnogolic adalah sebangsa dengan bangsa Indonesia. Mungkin penyelidikan itu betul, tetapi saya belum dapat menerimanya oleh karena kalau kita tinjau dari ilmu pengetahuan—saya banyak terpengaruh oleh tinjauan dari ilmu pengetahuan—maka ilmu selalu mulai dengan twijfel, tidak percaya.

Kalau sudah ada bukti, bukti bertumpuk-tumpuk yang menyatakan bahwa bangsa Papua sebangsa dengan kita dan bukti-bukti itu nyata betul-betul, barulah saya mau menerimanya.

Tetapi buat sementara saya hanya mau mengakui, bahwa bangsa Papua adalah bangsa Melanesia. Maka jangan pula kita lupa, bahwa bangsa kita di sebelah timur banyak bercampur dengan bangsa Melanesia, seperti juga bangsa Indonesia di sebelah tengah dan barat bercampur dengan bangsa Arab, Tiongkok dan Hindu. Inilah nasib bangsa-bangsa yang hidup di tengah pergaulan internasional, bercampur dengan bangsa-bangsa lain.

Sebuah kutipan argumentasi dari Mohammad Hatta yang tercatat dalam Risalah sidang BPUPKI dan PPKI Pada tanggal 29 Mei 1945 – 19 Agustus 1945 perihal penggabungan wilayah Papua ke dalam wilayah keadaulatan Republik Indonesia.

Jika digaris bawahi, Bung Hatta melihat adanya perbedaan budaya antar bangsa Melayu dan Melanesia yang begitu besar, ditambah lagi latar belakang Bung Hatta yang merupakan seorang ahli diplomasi, tentu ranah beliau adalah tentang dialog, diskusi dan debat yang pada dasarnya dipengaruhi oleh budaya dari orang-orang yang berpartisipasi dalam proses komunikasi tersebut. Beliau tidak menolak Papua sebagai bagian dari Indonesia tetapi perbedaan cara pandang dan kultur antara Pemerintah Indonesia (yang baru berdiri) dan masyarakat Papua menjadi persoalan tersendiri yang kala itu belum menemukan formula yang tepat, tentunya dari bidang akademisi. Fakta pada masa itu, Komunikasi Lintas Antar Budaya masih tak terpisahkan dari kajian Antropologi dan Sosiologi yang cenderung melihat aktivitas masyarakat secara umum bukan secara spesifik terutama yang mengkaji dialog dan diskusi dari mereka yang berbeda latar belakang budaya. Prototipe Komunikasi Lintas Antar Budaya yang independen dari Sosiologi dan Antropologi baru muncul ketika Media Televisi Amerika Serikat mengadakan Program High School Exchange Students in USA Debate on Prejudice pada tahun 1954. Jadi, dapat dimaklumi kekhawatiran Bung Hatta perihal Papua di awal kemerdekaan Indonesia. 

Kekhawatiran ini juga tidak banyak saya dapatkan di dalam jurnal-jurnal tentang Konflik di Papua. Di mana perbedaan budaya seharusnya menjadi pijakan awal dalam memprediksi hasil diskusi atau dialog. Selama saya mempelajari Komunikasi lintas Antar budaya, utamanya dalam mata kuliah Psikologi Lintas Budaya, Komunikasi Kultural Dalam Masyarakat Multikultur serta Prasangka dan Konflik Komunikasi Lintas Antar Budaya, ternyata sebelum memulai dialog dan diskusi seorang Komunikator harus melepas semua atribut dan hal-hal empirik dari budaya asalnya. Budaya yang dimaksud terdiri dari  sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup, dan sistem teknologi-peralatan. Setelah melepaskan semua pengalaman empiriknya, seorang Komunikator sebisa mungkin menyelami budaya komunikan dengan baik, agar dapat mengetahui alur berpikir komunikan dan memprediksi umpan balik dari komunikan setelah memperoleh pesan yang diberikan komunikator. Sayangnya, pedekatan Kultural dicapai melalui kegiatan praktis yang sederhana seperti acara-acara adat dan bukan kesamaan pikiran. Apa yang saya pikirkan juga berkaitan dengan strategi perang Sun Tzu yang selalu menekankan bahwa kita harus berpikir selaras dengan subjek yang menjadi sasaran kita.

Saya rasa inilah yang sering dianggap sepele dalam proses perundingan. Belajarlah dari Belanda ketika mengirimkan Christiaan Snouck Hurgronje ke Aceh untuk memenang Perang Aceh. Kekhawatiran Bung Hatta tentang Papua seharusnya terjawab dalam Komunikasi Lintas Antar Budaya, untuk menelaah perbedaan kultural dan hambatan yang dapat ditemui ketika berdialog tentang Papua. Di dalam pembelajaran Komunikasi Lintas Antar Budaya, mahasiswa sering diajarkan berubah menjadi "kendi kosong" yang siap menerima "air" dari kebudayaan yang berbeda, menempatkan diri sendiri sebagai orang yang senasib sepenanggungan dengan lawan bicara yang berbeda budaya, kemudian memindai  karakteristik lawan bicara dengan teliti untuk menghindari kesalahan dalam penggunaan kata, intonasi suara dan gerak-gerik (arah berpikir) yang mungkin saja akan memicu ketidaksukaan lawan bicara.

Oleh karena itu, Konsentrasi Komunikasi Lintas Antar Budaya seharusnya dipertahankan sebagai salah satu wadah pembelajaran terbaik di dalam Masyarakat Multikultur. Komunikasi Lintas Antar Budaya juga dapat menjadi salah satu kajian dalam menemukan resolusi terbaik dari sebuah konflik. Bagi saya alangkah baiknya, Konsentrasi Komunikasi Lintas Antar Budaya tetap pada jalurnya dan memperdalam kajian Komunikasi Kultural tanpa harus menyentuh kajian ilmu yang sebenarnya sudah memiliki wadahnya sendiri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun