Mohon tunggu...
Defence Essential
Defence Essential Mohon Tunggu... Konsultan - Defence Essential

Defence Essential

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Yang Dibutuhkan TNI AU: Kapasitas Air Refueling

22 Juni 2021   11:49 Diperbarui: 22 Juni 2021   16:15 510
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Satu-satunya pesawat AAR tipe KC-130B yang dioperasikan TNI AU (credit to Rinaldi Wibiyanto)

Telah bertahun-tahun Tentara Nasional Indonesia (TNI) Angkatan Udara (AU) berambisi untuk memperoleh apa yang disebut dengan 'aset pengganda kapasitas' (capacity multiplier assets). Ase tersebut tidak hanya terbatas pada pesawat tempur, tapi juga mencakup segala sesuatu yang dapat mendukung operasi TNI AU. 

Tentu saja, aset-aset ini tidak se-eksotis pesawat tempur. Namun, dengan peran masing-masing yang sangat dominan sehingga dapat membedakan antara angkatan udara yang hanya mampu melindungi atau menjaga kedaulatan, dengan angkatan udara yang mampu mengoperasikan dan memproyeksikan kekuatan udara (Air Power).

Bahkan, kekuatan udara tidak hanya mengandalkan kapasitas untuk melakukan operasi yang bersifat ofensif dan defensif, namun juga membutuhkan kemampuan guna mendukung serta mengendalikan operasi-operasi tersebut dalam berbagai tempo. Untuk melakukannya, aset-aset strategis seperti pesawat peringatan dan kontrol udara (juga disebut sebagai Airborne Early Warning and Control System/AEWC), dan/atau pesawat yang mampu melakukan pengisian bahan bakar di udara (aerial refueling). 

Pesawat-pesawat ini termasuk dalam aset pengganda kapasitas. AAR memberikan kesempatan bagi pesawat lain untuk beroperasi dalam jangka waktu yang lebih lama dan jarak yang lebih jauh, seperti menyerang target-target 'strategis', memperlama operasi patroli udara (Combat Air Patrol/CAP). Lebih jauh lagi, pesawat AAR modern, seperti Airbus A330 MRTT, dapat diubah atau digunakan sebagai pesawat kargo untuk mendukung operasi logistik.

Hingga kini, TNI AU hanya mengoperasikan satu pesawat AAR tua jenis KC-130B (satu lagi beroperasi hingga jatuh di Medan beberapa tahun lalu). Saat pesawat ini menjalani pembaruan (retrofit) selama tiga tahun di Malaysia sampai tahun 2019, otomatis TNI AU tidak memiliki kemampuan AAR. 

Lebih penting lagi, ada dua jenis sistem yang digunakan untuk AAR: flying boom (tabung kaku teleskopik untuk mengisi bahan bakar F-16), atau Probe-and-Drogue (selang fleksibel untuk mengisi bahan bakar Su-27/30). Pesawat KC-130B yang digunakan TNI AU hanya dapat menjalankan fungsi kedua (Probe-and-Drogue). 

Dengan kata lain, seluruh armada F-16 yang dioperasikan TNI AU tidak didukung dengan fungsi AAR. Sampai sekarang, ada dua opsi utama guna menjawab kebutuhan mendesak untuk memiliki kapasitas air refueling: Airbus dan Boeing sama-sama mengusulkan solusi yang benar-benar sesuai dengan kebutuhan TNI AU. Untuk sekarang, yang paling penting adalah melanjutkan proses pembelian - dimana anggarannya telah dialokasikan oleh Kementerian Keuangan.

TNI AU harus bisa beroperasi seperti angkatan udara lainnya dan tidak dibatasi seperti yang sedang terjadi. Untuk sementara, dua pesawat AAR menjadi jumlah minimum yang diperlukan. Dapat dilihat, tetangga-tetangga Indonesia menunjukkan bahwa kapasitas pengganda semacam ini sangatlah penting. 

Singapura akan mengoperasikan Airbus KC-30A, sementara Malaysia dikatakan akan mengoperasikan empat KC-130H, atau versi yang lebih canggih dari KC-130B milik TNI AU. Sedangkan Australia tengah mengoperasikan enam pesawat KC-30A. Menarik untuk digaris bawahi bahwa Australia dan Singapura dianggap sebagai 'kekuatan udara kawasan' (regional Air Power). Dan saat kita melihat lebih dekat pada inventaris mereka, status tersebut adalah berkat kepemilikan aset pengganda kapasitas, termasuk pesawat AAR.

Pada akhirnya, pilihan untuk memiliki kemampuan AAR dapat membawa keuntungan bagi perekonomian kita, dimana banyak pesawat di negeri ini yang digunakan sebagai pesawat komersial atau pesawat sipil, sehingga perawatannya dapat dilakukan oleh salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yaitu PT GMF Aeroasia - anak perusahaan PT Garuda Indonesia. 

Oleh karena itu, pengadaan aset AAR atau aerial refueling pada akhirnya menjadi sangat penting: sebagai pengganda kapasitas, aset ini dapat mendukung TNI AU untuk menjalankan peran dan misinya, serta mendukung transformasi TNI AU kita untuk menjadi kekuatan udara di kawasan. Dalam perspektif ini, diperlukan rencana modernisasi alutsista yang kuat untuk mengatasi kesulitan yang telah diciptakan oleh rencana Minimum Essential Forces (MEF). Dalam hal ini, rencana pemerintahan Jokowi yang sempat menjadi perdebatan usai dikeluarkannya rancangan Peraturan Presiden baru-baru ini patut mendapat dukungan, agar TNI AU kita dapat melaksanakan tugasnya dalam membela negara, serta dapat memertahankan keamanan kawasan dan perdamaian dunia.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun