“Kaderisasi yang Ternodai: Antara Sumpah Suci dan Ambisi Politik”
Patutlah kita mengapresiasi setiap insan yang dengan penuh kesadaran telah berjanji dan bersumpah di atas Kitab Suci Al-Qur’an. Sumpah semacam itu bukanlah hal remeh yang bisa dipandang sebelah mata, melainkan sebuah ikrar suci yang seharusnya dijaga dengan sepenuh hati. Al-Qur’an sebagai pedoman hidup umat Islam menjadi saksi bisu atas setiap janji yang diucapkan, sehingga mengingkari atau menabrak sumpah tersebut sama halnya dengan menodai kehormatan diri sendiri sekaligus mencederai kesakralan wahyu Ilahi. Seseorang yang telah mengucapkan sumpah dengan menyebut nama Allah, apalagi berlandaskan Al-Qur’an, seharusnya paham bahwa konsekuensi spiritual, moral, dan sosial akan senantiasa mengikuti setiap langkah yang diambil setelahnya. Maka, bagi mereka yang berani melanggar sumpah suci ini, haruslah siap menerima konsekuensi apapun yang terjadi, baik di dunia maupun di akhirat, sebab tidak ada satu pun pengkhianatan terhadap kebenaran yang dapat luput dari pengawasan Tuhan.
Namun, sungguh menyedihkan ketika realitas menunjukkan adanya pihak-pihak yang karena kalah dalam pertarungan internal di lingkungan fakultas, kemudian memperlihatkan sikap ketidakdewasaan yang memalukan. Kekalahan seharusnya dijadikan pelajaran berharga untuk memperbaiki diri, membangun kembali strategi, serta menumbuhkan semangat sportif dalam berkompetisi secara sehat. Akan tetapi, alih-alih belajar dari kekalahan, justru yang muncul adalah perilaku arogan yang tega menghalalkan segala cara demi ambisi politik yang dangkal. Dengan hebat dan angkuh mereka berani melanggar sumpah suci dan bahkan menabrak hukum konstitusi yang seharusnya menjadi dasar pijakan bersama. Padahal, baik sumpah religius maupun hukum konstitusi merupakan dua entitas yang tidak bisa diabaikan. Keduanya wajib dipatuhi dengan ketundukan mata hati yang jernih, bukan dengan nafsu politis yang membutakan akal sehat.
Narasi keadilan seharusnya menjadi suara lantang yang terus bergema di telinga siapa pun yang berani bermain-main dengan kebenaran. Keadilan bukan sekadar slogan untuk diperdengarkan di forum-forum resmi, melainkan sebuah prinsip hidup yang harus dijaga dengan konsistensi dan keberanian. Ketika keadilan dikorbankan demi kepentingan sesaat, maka yang lahir bukanlah kemenangan, melainkan kehinaan yang akan selalu membayangi perjalanan hidup. Sebab sejarah telah berulang kali membuktikan bahwa setiap pengkhianatan terhadap nilai-nilai keadilan, cepat atau lambat, akan menemukan balasannya.
Bagi mereka yang merusak proses kaderisasi dengan cara-cara curang, jangan pernah berharap hidup kalian akan tenang. Sebab dosa besar yang sudah diperbuat tidak bisa hilang begitu saja hanya karena ditutup-tutupi atau dibungkus dengan retorika manis. Hati nurani mungkin bisa dikelabui sejenak, tetapi rasa bersalah dan bayang-bayang dosa akan terus menghantui sepanjang waktu. Hukum Tuhan tidak akan pernah lalai menegakkan keadilan, dan setiap perbuatan manusia akan diperhitungkan dengan teliti. Dalam keheningan yang paling sunyi sekalipun, tangan keadilan Ilahi bekerja dengan cara yang tidak selalu terlihat, menghancurkan sedikit demi sedikit kesombongan mereka yang berani menantang kebenaran. Maka, bersantailah sejenak, karena hukuman Tuhan itu adil, adil seadil-adilnya, tanpa harus disertai gerak balas dendam dari manusia. Perlahan tapi pasti, kebenaran akan menampakkan wajahnya, dan kezaliman akan runtuh dengan sendirinya.
Kita diajak untuk menyaksikan satu per satu fakta yang terbukti, bahwa pengkhianatan terhadap sumpah dan penghancuran terhadap sistem kaderisasi tidak pernah mendatangkan keberkahan. Mereka mungkin merasa kuat hari ini, merasa aman dengan kedudukannya, merasa puas dengan kemenangan semu yang diraih dengan cara-cara licik. Tetapi waktu tidak pernah berbohong. Hari demi hari akan membuka lembaran baru yang menyingkap wajah asli dari pengkhianatan tersebut. Dan ketika topeng itu jatuh, yang tersisa hanyalah kehinaan yang tidak bisa ditutupi oleh apapun.
Sungguh ironis, apabila ketidakidealan ini terus dipertahankan dan bahkan dijalankan hingga hari ini. Lalu siapa yang akan bertanggung jawab atas semua kerusakan yang terjadi? Siapa yang mampu menjamin bahwa generasi berikutnya tidak akan terjebak dalam lingkaran yang sama? Pertanyaan-pertanyaan ini seharusnya menggema dalam hati setiap insan yang masih memiliki rasa keadilan. Tidak ada satu pun pihak yang berhak merusak tatanan kaderisasi dengan dalih ambisi pribadi, karena kaderisasi bukan hanya soal individu, melainkan soal masa depan sebuah institusi. Fakultas, lembaga, dan organisasi hanya akan kuat apabila proses kaderisasi dijalankan dengan jujur, bersih, dan adil.
Apabila ketidakadilan dibiarkan merajalela, maka yang terjadi adalah kehancuran moral dan rusaknya kepercayaan. Bagaimana mungkin kita berharap melahirkan generasi penerus yang berintegritas, bila sejak awal mereka dipertontonkan dengan contoh buruk berupa manipulasi, pengkhianatan, dan pelanggaran sumpah? Bukankah hal itu hanya akan melahirkan generasi yang apatis, sinis, dan kehilangan semangat untuk memperjuangkan nilai-nilai kebenaran? Maka, yang seharusnya diingat oleh para pelanggar sumpah adalah bahwa kerusakan yang mereka timbulkan bukan hanya merugikan diri sendiri, melainkan juga meracuni masa depan generasi selanjutnya.
Dalam setiap kompetisi, kekalahan memang menyakitkan. Tetapi jauh lebih menyakitkan adalah ketika kekalahan itu berubah menjadi alasan untuk menebar fitnah, menghalalkan segala cara, dan merusak sistem yang ada. Kekalahan sejati bukanlah kalah dalam angka, melainkan kalah dalam menjaga integritas dan martabat. Sebaliknya, kemenangan sejati bukanlah sekadar meraih jabatan atau posisi, melainkan mampu tetap tegak menjaga sumpah, menegakkan keadilan, dan berjalan di atas kebenaran meskipun jalan itu terjal dan sepi.
Kita perlu menyadari bahwa sumpah di atas Al-Qur’an bukan hanya menyangkut hubungan manusia dengan manusia, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan. Ketika seseorang melanggar sumpah tersebut, ia bukan hanya mengkhianati sesamanya, melainkan juga menantang Allah yang menjadi saksi atas janji itu. Bukankah itu dosa yang begitu besar? Dan bukankah dosa besar tidak akan pernah hilang tanpa pertobatan yang sungguh-sungguh? Inilah yang seharusnya disadari oleh mereka yang masih tega menabrak nilai-nilai kebenaran demi ambisi pribadi.
Oleh karena itu, marilah kita jadikan pengalaman ini sebagai pelajaran berharga. Jangan biarkan nafsu politis yang dangkal merusak nilai-nilai luhur yang telah dibangun dengan susah payah. Jangan biarkan kesombongan menguasai akal sehat hingga tega menodai sumpah yang sakral. Sebab pada akhirnya, setiap orang akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang ia lakukan, baik di hadapan manusia maupun di hadapan Allah. Sejarah akan mencatat siapa yang benar-benar menjaga sumpahnya dengan penuh integritas, dan siapa yang berkhianat demi ambisi sesaat.
Keadilan memang terkadang terasa lambat datangnya, tetapi ia tidak pernah absen. Ia berjalan dengan langkah yang pasti, menyingkap tabir demi tabir, hingga akhirnya memperlihatkan wajahnya yang murni. Maka, bagi mereka yang setia pada sumpah, tetaplah teguh menjaga kebenaran. Dan bagi mereka yang melanggar, bersiaplah menanggung konsekuensi, sebab waktu akan menjadi saksi, dan Tuhan adalah hakim yang paling adil.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI