Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Menimbang Dosa-Pahala

6 April 2014   17:34 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:00 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Konsep imbalan-hukuman akhirat pasti akan membutuhkan mekanisme untuk mengukur acceptability dan feasibility. Mekanisme ini dibutuhkan untuk menentukan siapa yang layak dan siapa yang tidak layak. Siapa yang berhak dan siapa yang tidak berhak. Mekanisme yang sering muncul dalam konsep keyakinan imbalan-hukuman ini adalah konsep timbangan. Seringkali konsepnya diwakili dengan ide sederhana timbangan yang memiliki dua wadah di sebelah kiri dan kanan. Kiri melambangkan ketidakbaikan dan kanan melambangkan kebaikan. Tentu saja gambaran yang muncul adalah pada setiap wadah akan bertumpuk entitas-entitas yang dikelompokkan kedalam dualitas moral, baik dan buruk. Kebaikan akan memberikan pahala dan keburukan akan membuahkan dosa. Terlihat jelas dalam dualitas moral ini tidak ada ruang untuk relatifisme moral dan itulah penjelasan bahwa keyakinan relijius sangat akrab dan membela mati-matian absolutisme moral.

Sampai sejauh ini semuanya terlihat sederhana. Baik konsep dan aplikasi konsep terlihat jauh dari persoalan karena menghindari ruang abu-abu. Kesederhanaan diasumsikan memberikan jalan terbaik untuk menjalankan mekanisme konsep imbalan-hukuman. Tidak perlu sistem yang rumit untuk memunculkan keadilan terkait kelayakan untuk menerima imbalan. Kelayakan harus dijaga dengan mempertahankan kesederhanaan timbangan ini. Kenyamanan relijius yang a priori selalu diartikan sebagai produk dari kesederhanaan konsep timbangan ini. Tidak perlu masuk kedalam dilema moral yang muncul dari benturan kepentingan subyektif dan obyektif. Meminjam konsep Soren Kiekergaard, apalagi masuk dalam kegelisahan hati untuk memunculkan eternal validity. Kata intinya adalah kesederhanaan hitam putih ini harus dijaga dan harga mati.

Apakah kesederhanaan konsep imbalan-hukuman ini tidak memunculkan persoalan validitas kelayakan? Konsep timbangan ini selalu melekat pada konsep akumulasi poin yang akan diletakan pada salah satu wadah timbangan. Poin buruk di sebelah kiri dan poin baik di sebelah kanan. Sejauh ini masih tampak sederhana. Jika kita melakukan keburukan maka kita mendapatkan, katakanlah, poin hitam yang diletakan di sebelah kiri dan jika kita melakukan kebaikan, maka kita mendapatkan, katakanlah, poin putih yang diletakan di sebelah kanan. Persoalannya muncul dari konsep alami dari menimbang itu sendiri yaitu adanya ruang untuk mengimbangi.

Sejauh mana mengimbangi menjadi persoalan? Persoalannya bisa sangat serius sekali. Perhatikan contoh berikut ini. Seorang siswa SD diajarkan untuk tidak mencontek karena mencontek adalah sebuah keburukan (dosa) dan akan memberikan poin hitam. Selama ujian anak tersebut mengingat itu dan sejauh ini larangan itu berhasil menghindarkan si anak tersebut dari mencontek. Tetapi perlahan konsep timbangan tersebut muncul dikepalanya. Lalu tiba-tiba muncul ruang untuk melakukannya. Kenapa? Ya karena dalam konsep timbangan selalu ada ruang untuk mengimbangi. Dan jika ini yang beroperasi dan tingkat keoperasionalan konsep ini didominasi oleh “pengimbangan” maka si anak, siswa SD itu akan mencontek dan berjanji dalam hatinya untuk memberikan uang jajannya kepada pengemis dalam perjalannya pulang. Bisa berhenti sampai sejauh ini?

Tidak, ironisnya jumlah uang yang akan diberikan kepada pengemis akan berbanding lurus dengan berat yang akan dia peroleh untuk mengimbangi poin hitam tadi (mencontek). Jadi semakin banyak jumlah uang jajan yang dia berikan kepada pengemis dan semakin berat penderitaannya (karena harus menahan lapar) akan semakin banyak poin-poin putih yang akan dia peroleh untuk mengalahkan berat poin hitam.

Terlihat persoalan konseptual serius dalam logika ini. Siswa SD ini tidak memasukkan kebaikan semu yang dia peroleh dari satu poin hitam (mencontek), yaitu nilai baik. Nilai baik yang akan dia peroleh dan memberikan kenyamanan psikologis kepada dia dan orang lain (orang tua dia) tidak dimasukkan dalam poin hitam karena sudah bercampur dan tumpang tindih dengan proses belajar yang menjadi poin putih (mencari ilmu). Persoalan konseptualnya terletak pada pengabaian efek-efek dari poin hitam yang cenderung dimasukkan dalam poin putih selain proses pengimbangan itu sendiri.

Sejauh ini tampak efeknya biasa-biasa saja. Bagaimana dengan korupsi? Bagaimana dengan suap? Bagaimana dengan gratifikasi? Individu yang sejak kecil terlatih (atau dilatih oleh doktrin) akan konsep imbalan-hukuman versi timbangan akan menggantikan poin-poin hitam mereka dari sikap korup dengan melakukan tindakan-tindakan yang diharapkan memberikan efek “pengimbangan”. Tentu saja karena poin-poin hitam yang muncul dari tindakan korup tersebut dianggap berat maka pengimbangannya harus melakukan tindakan berat juga, bukan hanya memberikan uang kepada pengemis. Mungkin biar efek pengimbangnya muncul, perlu dana besar untuk membangun tempat ibadah, menyantuni anak-anak miskin dalam jumlah banyak, memberikan bantuan dengan jumlah yang tidak wajar. Pernah Anda bertemu dengan seseorang yang memberikan uang 50 ribu kepada pengemis? Mungkin salah satu alasannya adalah untuk memunculkan pengimbangan.

Dosa adalah dosa. Keburukan adalah keburukan. Persoalannya bukan timbang-menimbang. Jika Anda seorang rasionalis theis, maka saya akan bilang disini persoalannya adalah apakah seseorang bisa berdiri dan merasa terhormat di depan Penciptanya atau apakah penghuni surga akan menunduk hormat ketika dia berjalan menuju ke singgasana sang Pencipta. Atau jika Anda seorang empiris baik theis atau atheis, maka saya akan bilang disini persoalannya adalah sejauh mana sikap dan tindakan seseorang bisa mengacaukan sistem dan tatanan sosial atau dalam kasus tindakan korupsi dalam bentuk suap menyuap, bagaimana tatanan politik birokrasi bisa hancur karenanya. Dan tidak perlu saya sampaikan disini apa yang akan terjadi jika tatanan sosial dan tatanan politik bernegara hancur.

Timbangan itu akan tetap ada disana menunggu Anda. Semuanya kemudian akan terserah Anda, memakainya atau tidak.

Salam hormat. Semoga bermanfaat.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun