Mohon tunggu...
Dee Shadow
Dee Shadow Mohon Tunggu... -

Esse est percipi (to be is to be perceived) - George Berkeley

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Legitimasi Moral Hukuman Fisik untuk Siswa

3 Juli 2016   10:53 Diperbarui: 3 Juli 2016   16:34 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam batas tertentu pemberian hukuman fisik ringan seperti mencubit diperbolehkan dan menjadi kebaikan dalam wujudnya jika selalu berada di atas rel penghormatan terhadap kemanusiaan siswa. 

Hukuman tersebut sebaiknya ditujukan untuk memberikan motivasi eksternal supaya dalam diri siswa tumbuh kedisiplinan keilmuan dan sebaiknya menjadi pilihan terakhir. Tetapi yang harus selalu diingat oleh para guru adalah motivasi internal itu jauh lebih penting dari motivasi eksternal.

Yang membuat persoalannya tidak sederhana adalah sistem pendidikan kita cenderung mengabaikan semangat memanusiakan siswa. Dijejali dengan beban kurikulum yang secara langsung berakibat pada peningkatan kuantitas tugas yang salah satunya berbentuk pekerjaan rumah (sesuatu yang tidak pernah saya berikan kepada mereka), siswa hanyalah menjadi subyek untuk kenikmatan yang muncul dari apa yang disebut dengan pencapaian sosial dan finansial stakeholderlain. 

Dalam sistem sosial yang memandang pendidikan sebagai sarana produksi sumber daya manusia, pendidikan dalam prakteknya akan memandang peserta didik sebagai potensi sumber daya untuk pembangunan, bukan sebagai manusia.

Tuntutan dunia pendidikan menciptakan tekanan kejiwaan baru yang tidak bisa dihindari baik oleh pengajar dan peserta didik. Guru juga disebut-sebut sebagai profesi terasing yang membuat guru cenderung merasa jenuh dan kesepian. 

Situasi seperti itu menjadi pendorong semakin seringnya praktik hukuman baik mental, verbal atau fisik. Dan dalam lingkungan seperti ini hukuman dalam bentuk apa pun cenderung kehilangan legitimasi moralnya.


Di samping itu legitimasi moral juga akan hilang jika dalam konsep hubungan guru dan siswa sudah muncul keyakinan kognitif bawaan yang memicu dan memacu praktek-praktek yang tidak memanusiakan siswa. 

Keyakinan kognitif bahwa sifat alami (nature) lebih kuat daripada kemungkinan hasil pembelajaran (nurture) dan selamanya akan mendominasi hasil pembelajaran akan mereduksi legitimasi moral pada titik di mana bahkan hukuman verbal yang paling ringan seperti “Kau beda dibandingkan teman-temanmu” kehilangan legitimasi moralnya, apalagi hukuman fisik.

Yang menarik adalah adanya dan upaya sadar untuk mempertahankan keyakinan predeterminasi seperti itu bahwa pada sifatnya siswa itu sudah bermasalah dan tidak bisa dididik. Meloncat agak jauh ke persoalan teologi, salah satu sumbernya mungkin berasal dari konsep Ketuhanan yang begitu mahakuasa sehingga Tuhan bisa menciptakan kejahatan. 

Hipotesis selanjutnya yang semoga keliru adalah kebodohan dianggap sebagai kejahatan yang harus dijadikan contoh untuk memperoleh kebaikan darinya (prinsip for the greater good).

Tentu saja legitimasi moral di atas berlandaskan bahwa setiap individu adalah kebaikan dalam wujudnya dan Tuhan adalah sumber kebaikan. Sehingga validitas penegasian kebutuhan legitimasi moral dengan landasan argumentasi predeterminasi metafisik seperti itu tidak akan dibahas di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun