Bagaimana guru, orang tua, dan murid bisa bergandengan tangan untuk menjadikan blended learning bukan sekadar kata keren, tapi jalan nyata menuju pendidikan bermutu.
Ketika Ruang Belajar Berubah
Saat pandemi melanda, ruang tamu banyak keluarga di Indonesia tiba-tiba berubah jadi ruang kelas. Laptop atau HP ditaruh di meja makan, anak pakai seragam setengah atasan kemeja, bawahan celana tidur dan orang tua ikut duduk di samping sambil memastikan Zoom nggak nge-lag.
Banyak yang kaget. Guru merasa seperti "youtuber dadakan", murid bingung cara submit tugas, orang tua kelimpungan mendampingi sambil kerja dari rumah. Tapi dari kekacauan itu, lahir satu kesadaran: belajar itu tidak bisa sendirian.
Hari ini, setelah sekolah-sekolah kembali normal, blended learning muncul bukan sekadar darurat pandemi, tapi sebagai strategi jangka panjang. Pertanyaannya: bisa tidak sistem ini benar-benar jadi jalan menuju pendidikan bermutu?
Mengenal Sekolah Blended Learning
Ini adalah tahun ketiga Aluna bersekolah di sekolah blended learning. Tentu saja awalnya banyak orang yang mempertanyakan keputusan saya mengapa memilih menyekolahkan anak di sekolah blended learning, terlebih lagi saat pandemi COVID-19 telah usai.Â
Mengapa saya tetap bersikukuh di sekolah blended learning? Sebenarnya, apa sih sekolah blended learning itu?Â
Sekolah blended learning memang berbeda dengan sekolah konvensional pada umumnya. Sekolah ini tak hanya punya satu metode belajar saja. Melainkan menggabungkan beberapa metode pembelajaran dalam prosesnya.Â
Mulai dari pembelajaran tatap muka dengan guru, pembelajaran online melalui aplikasi LMS (Learning Management System), hingga pembelajaran mandiri melalui pembuatan proyek setiap akhir triwulan.Â
Keunggulan Sekolah Blended Learning
Sebagai orang tua, saya merasakan bahwa sekolah blended learning ini memiliki banyak keunggulan, seperti;
Pembelajaran yang fleksibel
Ini adalah alasan utama saat memindahkan anak dari sekolah konvensional ke sekolah blended learning. Saya ingin anak-anak memiliki pembelajaran yang fleksibel.Â
Artinya, anak tak harus terjebak dalam rutinitas menghabiskan waktu seharian di sekolah untuk belajar, melainkan bisa belajar dari mana saja dan kapan saja.Â
Fleksibilitas dalam belajar ini bisa membuat anak memiliki waktu untuk mengembangkan bakat dan minatnya. Anak bisa punya kegiatan lain diluar bidang akademik.Â
Seperti anak saya, dia suka menggambar dan berenang. Saat tidak pergi ke sekolah, dia bisa ikut kursus menggambar dan les renang.Â
Fleksibilitas pembelajaran di sekolah blended membuat murid tetap punya waktu dan tenaga untuk melakukan kegiatan lain yang mendukung minat dan bakatnya. Anak pun siap hadapi tantangan abad 21.
Sesuai perkembangan zaman
Ada pepatah yang bilang, "didiklah anakmu sesuai zamannya ". Sekolah blended learning ini sangat cocok untuk anak-anak zaman sekarang. Anak-anak zaman sekarang adalah generasi alpha. Generasi baru yang harus siap hadapi tantangan abad 21.
Generasi alpha  adalah kelompok demografi yang menyusul Generasi Z. Generasi ini lahir tahun 2010 hingga saat ini. Mengambil nama dari huruf pertama dalam abjad Yunani, Generasi Alfa adalah orang-orang yang lahir sepanjang abad ke-21. Kebanyakan anggota Generasi Alfa adalah anak dari Milenial dan cucu dari baby boomers
Generasi alpha adalah generasi pertama yang lahir di dunia digital, generasi yang sudah sangat akrab dengan teknologi digital. Walaupun begitu, ternyata generasi alpha ini tidak terlalu kecanduan dengan teknologi.Â
Jadi, akan cocok jika generasi alpha sekolah dengan sistem teknologi digital seperti pembelajaran blended learning ini.Â
Anak terlibat aktif dalam pembelajaran
Sekolah blended learning membuat anak terlibat aktif dalam pembelajaran. Saat pembelajaran online, mereka akses teknologi sendiri.
Apalagi saat melakukan pembelajaran mandiri. Anak membuat proyek belajarnya sendiri. Mereka terlibat aktif dalam pembelajaran.Â
Meningkatkan hasil dan minat belajar
Dibandingkan dengan metode pembelajaran yang hanya satu macam, blended learning mampu meningkatkan hasil dan minat belajar murid. Hal itu karena metode belajar yang digunakan jauh lebih menarik dan menggunakan media pembelajaran yang menarik pula.Â
Berdasarkan penelitian dari Wiley, anak-anak SD yang menggunakan blended learning untuk pembelajaran bahasa Inggris terdapat peningkatan membaca sampai dengan 20 poin.
Orang tua ikut terlibat
Pembelajaran sekolah blended learning yang menggabungkan berbagai metode belajar, membuat orang tua ikut terlibat. Orang tua menjadi fasilitator belajar anak saat di rumah. Tak hanya sekadar menemani belajar saja, melainkan aktif membantu anak dalam mencapai tujuan belajarnya.Â
Di sekolah Aluna, setiap tiga bulan sekali, anak diwajibkan membuat proyek. Disini orang tua memiliki peran yang penting. Misalnya, saat Aluna memerlukan sumber informasi mendalam soal pubertas, saya menghubungkannya dengan seorang teman yang aktif dalam bidang kesehatan reproduksi.  Atau saat dia harus memasak agar-agar di atas kompor, ayahnya mendampingi dan mengawasi.Â
Sudah itu saja peran orang tua. Proyek murni hasil karya anak. Bukan orang tua. Ini menjadi mudah, karena pihak sekolah membuat proyek yang disesuaikan dengan tahap perkembangan anak. Proyek yang masih sesuai dengan kemampuan murid. Tak muluk-muluk.Â
Kesan Anak Tentang Blended Learning
Anak-anak sering kali punya cara paling jujur untuk menilai sistem belajar. Suatu malam, saat saya tanya pendapatnya tentang blended learning, Aluna menjawab,
"Kalau belajar online doang, aku cepat bosan. Kalau di sekolah aja, kadang aku ketinggalan. Tapi kalau gabungan gini, aku bisa ulang video di rumah, terus praktek sama teman di kelas. Jadi lebih gampang ngerti."
Saya terdiam mendengar jawabannya. Dari kalimat itu, saya belajar bahwa anak sebenarnya tahu cara belajar yang paling cocok untuk mereka. Kita, orang dewasa, sering lupa mendengarkan.
Refleksi: Pendidikan Itu Perjalanan Bersama
Sebagai orang tua, saya merasakan perbedaan besar. Dulu, saat anak di sekolah konvensional, peran saya hanya sebatas memantau nilai rapor. Sekarang, di sekolah blended learning ini saya merasa lebih terlibat, bukan untuk menggurui, tapi untuk menjadi partner perjalanan belajar anak.
Ada rasa lega saat tahu saya tidak sendirian. Guru tetap menjadi fasilitator utama, teknologi membantu memberi akses, dan saya hadir sebagai pendukung. Pendidikan jadi terasa lebih manusiawi: ada kolaborasi, ada gotong royong.
Tentu, perjalanan ini tidak tanpa tantangan. Beberapa tantangan saat mendampingi anak belajar di sekolah blended learning yang pernah saya rasakan, antara lain:Â
Kadang internet lemot bikin Aluna kesal.
Kadang saya terlalu "ikut campur" sampai ia protes.
Kadang juga, sebagai orang tua bekerja, saya merasa lelah harus membagi energi.
Tapi di situlah letak pembelajarannya. Saya belajar bahwa mendidik anak bukan soal sempurna, melainkan soal menemani dengan sabar.
Pentingnya Kolaborasi untuk Pendidikan Bermutu
Melalui sekolah blended learning ini, kolaborasi guru, orang tua, dan murid bisa terwujud. Kolaborasi ini penting untuk terciptanya pendidikan bermutu.Â
Pembelajaran blended learning itu ibarat membangun sebuah rumah.Â
Guru sebagai arsiteknya,
Orang tua sebagai penyedia material dan dukungan,
Murid yang menempatinya.
Kalau salah satunya tidak jalan, rumah tak bisa ditempati.Â
Blended learning ini juga sesuai dengan filosofi pendidikan dari Ki Hajar Dewantara. Pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara menekankan sinergi antara murid, guru, dan orang tua dalam konsep Tripusat Pendidikan, yang terdiri dari keluarga, sekolah, dan masyarakat sebagai lingkungan belajar yang saling menguatkan.Â
Sinergi ini diwujudkan melalui peran guru sebagai pengamong dan pemberi teladan (Ing Ngarso Sung Tulodo), orang tua sebagai pendidik utama di rumah, dan murid sebagai subjek yang merdeka dalam belajar.Â
Kolaborasi ini menciptakan lingkungan yang konsisten, dukungan yang kuat, dan pembelajaran yang terpadu untuk perkembangan karakter dan potensi anak secara optimal.Â
Penutup: Pendidikan Itu Tentang Kolaborasi
Blended learning kolaboratif mengajarkan saya satu hal penting: pendidikan bukan hanya milik sekolah, melainkan perjalanan bersama yang melibatkan guru, murid, dan orang tua.
Dan seperti yang diajarkan Ki Hajar Dewantara, tugas kita hanyalah menuntun kekuatan kodrat anak agar mereka bisa tumbuh menjadi manusia seutuhnya.
Malam itu, sebelum tidur, Aluna berkata,
"Belajar itu enak kalau aku nggak sendirian, Bun."
Saya tersenyum. Ternyata, inti dari pendidikan memang sesederhana itu: berjalan bersama, saling menuntun dan saling menguatkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI