Mohon tunggu...
Dedy Qurtubi Basri
Dedy Qurtubi Basri Mohon Tunggu... Mahasiswa

Saya adalah mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam (PAI) di UIN Mataram yang memiliki minat besar pada dunia literasi dan seni. Membaca bagi saya bukan sekadar aktivitas, melainkan jendela untuk memahami hidup dengan lebih dalam. Di sela kesibukan akademik, saya juga menyalurkan ekspresi melalui melukis, sebuah ruang sunyi yang menjadi tempat saya berdialog dengan jiwa dan imajinasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Perbandingan Pendidikan Islam: Jalan Tengah Antara Intelektualitas dan Spritualitas yang Hilang

6 Juni 2025   20:15 Diperbarui: 6 Juni 2025   20:15 144
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi harmoni pendidikan Islam: perpaduan antara intelektualitas dan spiritualitas. 

Ketika sekolah sibuk mencetak otak, pendidikan Islam membentuk manusia seutuhnya, yang berpikir dengan akal dan merasa dengan hati.

Pendidikan modern saat ini banyak menghadapi krisis mendasar dalam aspek tujuan, pendekatan, dan hasilnya. Di satu sisi, sistem pendidikan kontemporer sangat menekankan aspek intelektual, yakni kemampuan kognitif, analisis kritis, dan penguasaan teknologi. Tetapi seringkali mengabaikan dimensi spiritual, etis, dan karakter. Di sisi lain, sebagian pendekatan pendidikan tradisional yang berfokus pada spiritualitas justru belum mampu memberikan jawaban atas kebutuhan intelektual abad ke-21.

Pendidikan dalam Islam tidak semata-mata bertujuan untuk mencerdaskan akal, tetapi juga untuk menyucikan jiwa. Konsep tarbiyah dalam Islam meliputi pembinaan aspek jasmani, akal, dan ruhani. Tujuan akhirnya adalah membentuk insan kamil, manusia paripurna yang berilmu, berakhlak, dan bertakwa. Ilmu tidak dipandang netral atau bebas nilai, melainkan memiliki orientasi transendental: mengantarkan manusia kepada pengenalan dan penghambaan kepada Allah SWT. Konsep ini tampak dalam paradigma pendidikan Islam klasik sebagaimana tergambar dalam karya-karya Al-Ghazali, Ibn Sina, hingga al-Zarnuji, yang menempatkan adab, niat, dan kemurnian hati sebagai elemen penting dalam proses belajar.

Pendidikan modern yang dikembangkan pasca abad pencerahan di Barat lebih menekankan pendekatan empiris, positivistik. Sekolah-sekolah didesain untuk mencetak individu yang kompeten secara teknis dan profesional, namun sering mengabaikan aspek pembentukan moral dan spiritual. Rasionalitas dan objektivitas menjadi standar dominan dalam kurikulum. Akibatnya, nilai dan makna dalam proses pendidikan menjadi terpinggirkan. Fokus terhadap capaian akademik, akreditasi, dan sertifikasi telah mendorong pendidikan menjauh dari esensi mendidik sebagai pembentukan manusia seutuhnya.

Perbandingan antara pendidikan Islam dan pendidikan modern menemukan sejumlah titik temu: keduanya sama-sama menghargai ilmu pengetahuan dan proses pembelajaran. Namun perbedaan fundamental terletak pada orientasi tujuan dan pendekatan epistemologisnya. Pendidikan Islam berakar pada wahyu, sedangkan pendidikan modern berakar pada rasionalitas manusia. Dalam pendidikan Islam, ilmu tidak bisa dilepaskan dari nilai dan akhlak, sedangkan dalam sistem modern, netralitas ilmu menjadi asumsi dasar. Pendidikan Islam menekankan kesatuan antara ilmu dan amal, akal dan hati, dunia dan akhirat.

Dalam konteks kekinian, pendidikan Islam berpotensi menjadi jalan tengah yang menjembatani kebutuhan zaman akan kecerdasan intelektual dan keluhuran spiritual. Melalui pendekatan integratif, pendidikan Islam dapat melahirkan generasi yang bukan hanya cerdas secara akademik, tetapi juga memiliki kedalaman nurani, tanggung jawab sosial, dan kesadaran spiritual. Lembaga-lembaga pendidikan Islam, baik pesantren tradisional maupun madrasah modern, telah menunjukkan potensi ini, meskipun masih menghadapi tantangan dalam hal metodologi, pembaruan kurikulum, dan adaptasi teknologi.

Di tengah derasnya arus globalisasi dan sekularisasi, pendidikan Islam menghadapi tantangan besar: bagaimana tetap menjaga integritas nilai tanpa mengabaikan tuntutan zaman. Kurikulum yang mengintegrasikan ilmu keislaman dan ilmu umum masih terus dalam proses pengembangan. Kebutuhan akan tenaga pendidik yang memahami dua ranah ilmu juga menjadi krusial. Namun demikian, peluang pendidikan Islam terbuka lebar, khususnya di tengah kekecewaan terhadap sistem pendidikan yang terlalu materialistik dan kompetitif. Semakin banyak institusi pendidikan yang mulai mencari model yang menyeimbangkan aspek intelektual dan spiritual, dan di sinilah pendidikan Islam dapat memberikan kontribusi nyata.

Di tengah dunia yang ramai dengan gelar, pendidikan Islam mengingatkan bahwa karakter lebih utama daripada angka.

Perbandingan antara pendidikan Islam dan pendidikan modern menunjukkan adanya jurang nilai yang menganga dalam sistem pendidikan kontemporer. Pendidikan Islam, dengan integrasi antara ilmu dan iman, akal dan hati, dunia dan akhirat, hadir sebagai model alternatif yang relevan untuk masa kini dan mendatang. Ia tidak hanya menawarkan pengetahuan, tetapi juga membentuk kepribadian dan karakter. Di tengah dunia yang kehilangan arah nilai, pendidikan Islam menjadi gerakan sunyi yang menawarkan keseimbangan dan keutuhan dalam mendidik manusia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun