Unjuk rasa anarkis yang merebak di berbagai belahan dunia, termasuk Nepal baru-baru ini, adalah alarm keras bagi semua pihak. Fenomena ini tidak lahir dari ruang kosong, melainkan dari akumulasi kekecewaan rakyat terhadap birokrasi pemerintahan dan aparat penegak hukum yang gagal memberi teladan.
Ketidakpuasan publik tumbuh setiap kali melihat pejabat yang mestinya amanah, justru bergelimang dalam korupsi, memamerkan kemewahan, serta hidup jauh dari kesederhanaan. Kendaraan jabatan yang mewah, pesta dinas yang berlebihan, hingga gaya hidup keluarga pejabat yang mencolok---semuanya memperlebar jurang kesenjangan dengan rakyat yang setiap hari berjuang dengan kesulitan ekonomi.
Polisi sebagai garda depan pengayom rakyat pun tidak boleh luput dari kritik. Reformasi total mutlak dilakukan. Hilangkan motif ekonomi dalam pelayanan, hentikan pamer gaya hidup mewah, dan tunjukkan pengabdian sepenuh hati. Penegakan hukum harus transparan, tidak pandang bulu, serta benar-benar berdiri di atas rasa keadilan.
Jika semua ini tidak segera dikoreksi, unjuk rasa yang lahir dari aspirasi sah rakyat akan terus berpotensi berubah menjadi anarkis. Dan ketika itu terjadi, bukan rakyat saja yang rugi, tetapi negara dan aparat sendiri ikut kehilangan wibawa.
Sudah saatnya pemerintah, kepolisian, dan seluruh pejabat meneguhkan kembali budaya kesederhanaan, kejujuran, serta empati. Dengan itu, benteng kepercayaan rakyat dapat kembali dibangun, sehingga unjuk rasa tidak lagi menjadi medan pelampiasan kekecewaan, melainkan saluran sehat bagi demokrasi.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI