Mohon tunggu...
Dedy Gunawan
Dedy Gunawan Mohon Tunggu... Freelancer - Suami dari seorang istri yang luar biasa dan ayah dari dua anak hebat.

Penulis, blogger, jurnalis, senimanmacro, fotografer, penikmat kuliner, traveler, guru, pelatih menulis, dan penyuka segala jenis musik.

Selanjutnya

Tutup

Analisis Artikel Utama

Amankah E-Voting?

26 April 2019   12:26 Diperbarui: 26 April 2019   15:33 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seorang petugas mengawasi kotak suara saat pencoblosan di TPS 20 di Desa Namobintang, Kecamatan Pancurbatu, Kabupaten Deliserdang, Sumatera Utara, Indonesia. Foto oleh Dedy Hutajulu

PEMILU serentak 2019 merenggut nyawa 225 anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Selain itu 1.470 anggota KPPS lainnya dilaporkan sakit. [1]

Banyaknya korban jatuh pascapemilu memicu perdebatan publik. Wacana pemungutan suara secara elektronik (e-voting) pun mengemuka. Banyak orang menilai, e-voting jauh lebih efektif dan hemat. Benarkah demikian?

Negara maju sepasti Australia saja memilih untuk tidak menggunakan e-voting. Alasannya, sistem itu dinilai sangat tidak aman, rawan kecurangan dan potensi terjadi kejahatan amat tinggi. 

Meski tingkat partisipasi politik warga Australia untuk menggunakan hak suaranya telah mencapai 95 persen dan trust publik terhadap Australian Electoral Commission, (sejenis KPU mereka) juga begitu besar. Sehingga legitimasi AEC memang luar biasa!

Mereka juga tidak memakai sistem coblos maupun contreng, melainkan memakai pencil. "Ya, jauh lebih hemat," ujar Phil Diak, Direktur Pendidikan dan Komunikasi AEC, saat ditemui di kantornya pada 2015 lalu.

Selain alasan berhemat, menurut Phil, mekanisme pemungutan suara secara elektronik belum dianulir oleh undang-undang kepemiluan mereka. Butuh perubahan besar dalam undang-undang untuk memberlakukan sistem baru tersebut. Meski Joint Standard Comittee and Electroral (JSCE) tengah meneliti model e-voting

Hanya JSCE yang berwenang memutuskan apakah memakai e-voting atau model lama. Belum lagi, laporan hasil riset sebelumnya menunjukkan bahwa e-voting sama sekali tidak aman untuk diaplikasikan karena rentan dimanfaatkan untuk tindak kejahatan.

"Data-data penduduk akan potensial dimanfaatkan para penjahat. Jadi mempertimbangkan juga tingkat keamanan," imbuhnya.

Jika sistem e-voting hari ini diterapkan di tanah air, saya yakin bakal banyak kerugian. Mengingat tingkat literasi politik masyarakat kita juga belum begitu baik. Apalagi, sebagian elit politik kita saat ini menunjukkan gelagat jahat. Seperti kita saksikan di media, kecurangan masih saja terjadi selama pemilu serentak kemarin.

Meski begitu, usulan e-voting memang patut dipertimbangkan. Karena kajian akan hal itu masih dikerjakan oleh LIPI. Dan kajian itu belum dibahas secara bersama dengan wakil rakyat di senayan. Profesor riset LIPI Firman Noor mengakui, e-voting paling efektif ketimbang manual. [2]. 

Tetapi biar bagaimanapun, harus kita akui, selama sistem database kependudukan kita masih kacau-balau, Daftar Pemilih Tetap (DPT) selalu bermasalah, warga tidak proaktif mencatatkan dirinya ke disdukcapil, maka potensi kejahatan dan kecurangan terjadi akan sangat besar.

Kita masih ingat bagaimana proyek KTP elektronik menjadi bancakan elit politik yang akhirnya berdampak sampai ke DPT pada pemilu serentak kemaren.

Belum lagi, temuan dan laporan aduan warga yang masuk ke Komnas HAM yang menyebut banyak sekali warga yang tidak bisa menggunakan hak piliknya di pemilu serentak 2019.

"Ada ribuan pokoknya. Temuan dan laporan aduan yang kami terima," ungkap Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, tempo hari di Medan.

Persoalan pendataan kita jelas belum maksimal dan selalu bermasalah. Dan permasalahan itu terjadi dari hulu sampai ke hilir. Karena itu, sistem e-voting perlu dikaji secara serius dan dibahas sematang-matangnya agar jangan sampai malah mendatangkan mudarat jika diterapkan kelak. 

Barang kali, yang perlu dibenahi saat ini adalah mekanisme kerja KPPS. Beredar kabar, mereka bekerja seperti kuda, lembur hingga dini hari. Bahkan ada yang sampai tidak tidur selama tiga hari sehingga tenaga mereka terkuras. Sialnya, honor mereka disebut-sebut rendah sekali. Mereka "diharapkan" bekerja dengan performa tinggi namun kesejahteraan mereka tidak dijamin. 

Belum lagi, pasca pemilu muncul komplotan yang suka memicu keributan, menebar teror guna mendelegitimasi KPU dan Bawaslu. Upaya-upaya jahat yang menihilkan kerja-kerja ekstra para anggota KPPS. Dan komplotan itu justru sebagian elit politik kita.

Ini semakin membuka mata kita, bahwa kedewasaan berpolitik sebagian elit politik kita sangat rendah atau bisa dikatakan hilang akal waras. Karena itu, sistem e-voting sebaiknya dikaji secara matang sebelum dilempar ke meja sidang wakil rakyat. (*)

Referensi:

[1]data KPU per Kamis (25/4/2019) pukul 18.00 WIB.
[2]https://m.republika.co.id/amp/pqf9gu384

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun