Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Jangan Ragu Menyapa, Meskipun Kita Baru Saja Berpapasan

28 November 2020   22:05 Diperbarui: 28 November 2020   22:08 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suatu hari saya berjalan ke ruang makan untuk mengisi air minum. Di tengah perjalanan saya bertemu dengan seorang saudara sekomunitas. Lalu kami saling menyapa.

Sekembalinya saya dari ruang makan, saya bertemu lagi dengan dia dan karena merasa baru saja menyapa saya diam saja saat melaluinya. Namun saya terkejut, atau lebih tepatnya merasa malu, saat dia menyapa saya. Akhirnya saya pun membalas sapaannya meskipun sudah terkesan terpaksa.

Setelah itu, seharusnya saya langsung masuk kamar, namun saya mencoba membuat gerakan seolah-olah saya sedang mencari sesuatu di sekitar komunitas. Itu saya lakukan sebagai bentuk kendali atas rasa malu yang saya alami saat saya disapa lebih dahulu oleh saudara sekomunitas.

Sebenarnya persoalan yang saya alami dari peristiwa itu ialah tentang memberi sapaan, terlepas apakah menyapa terlebih dahulu atau kemudian.

Seperti yang saya katakan bahwa oleh karena kami baru saja saling menyapa, maka saya pun memutuskan untuk tidak lagi menyapanya ketika kami berpapasan untuk kedua kalinya. Namun, saat dia melakukan sapaan kepada saya, saat itu saya mulai terpikir kalau saya sedang bersalah karena mengabaikan perbuatan menyapa.

Akhirnya saya mengambil waktu sejenak untuk merenungkannya. Seperti biasa tempat aman bagi saya untuk bermenung ialah di kamar. Selain agar tidak terlihat oleh orang-orang sekitar, juga karena di dalamnya ada ruang doa pribadi.

Dalam permenungan itu saya mulai bertanya, mestikah kita saling menyapa setiap kali kita saling berpapasan di dalam waktu yang berdekatan?

Awalnya saya mengira bahwa saya tidak perlu untuk selalu memberi sapaan kepada orang-orang yang di sekitar saya karena kami selalu berpapasan di dalam ruang komunitas. Bagi saya, cukuplah kita memberi sapaan di awal kita bertemu atau saat kita ingin menemuinya di suatu tempat.

Namun apa yang awalnya saya kira benar akhirnya mulai kugugat sendiri. Saya mulai bertanya kepada diri sendiri, salahkah jika kita selalu memberi sapaan meskipun kita selalu berpapasan di dalam waktu yang berdekatan? Atau merasa lelah kah kita ketika kita selalu memberi sapaan kepada orang-orang yang ada di sekitar kita?

Pertanyaan lebih lanjut pun muncul. Apakah hanya kepada orang baru saja kita memberi sapaan?

Sesungguhnya saya hanyut dalam pertanyaan-pertanyaan tersebut, mulai dari pertanyaan tentang pembelaan diri saya untuk tidak selalu memberi sapaan hingga pertanyaan yang menggugat. Tetapi saya sadar bahwa saya harus memutuskan sendiri apa yang baik untuk saya. Bukan bermaksud egois karena seolah-olah hanya membela kebaikan diri sendiri, namun sebagai orang yang sedang beranjak dewasa, saya harus mulai mampu mengambil keputusan untuk diri ku sendiri, terlebih tentang yang baik dan yang benar untuk saya lakukan.

Keputusan saya ialah selalulah memberi sapaan. Menyapa itu baik dan perlu untuk menjamin ikatan persaudaraan, terlebih bagi saudara-saudara yang serumah. Oleh karena itu, sudah selayaknyalah kami melakukan perbuatan saling menyapa setiap kali bertemu, meskipun pertemuan itu baru saja terjadi dalam waktu yang berdekatan.

Tidak ada yang salah dengan perbuatan menyapa atau seberapa sering kita melakukan sapaan. Sapaan dalam dirinya sendiri adalah baik dan perbuatan menyapa bisa berarti terbuka untuk berbagi kebaikan.

Menyapa itu menghilangkan rasa kaku, jika kita baru saja bertemu dengan orang baru. Namun bagi orang yang selalu berjumpa dengan kita, perbuatan menyapa bisa berarti bentuk kepedulian satu sama lain. Kita tidak pernah tahu apa yang dirasakan oleh orang-orang yang berada di dekat kita, namun berkat sapaan yang kita berikan, kita seolah-olah bertindak hadir di dalam diri orang itu. Dengan begitu kita menjamin kepadanya bahwa dia adalah saudara bagi kita.

Itulah kekuatan sapaan, yang selama ini ternyata saya sepelekan, terlebih kepada orang-orang yang serumah dengan saya. Saya terjebak dengan istilah serumah atau sering berpapasan. Padahal sapaan bukan tentang itu. Sapaan ialah tentang kepedulian untuk saling berbagi kebaikan agar ikatan persaudaraan tetap terjalin dengan erat.

Semoga bermanfaat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun