Mohon tunggu...
Dedy Padang
Dedy Padang Mohon Tunggu... Petani - Orang Biasa

Sedang berjuang menjadikan kegiatan menulis sebagai sarana yang sangat baik untuk menenangkan diri dan tidak tertutup kemungkinan orang lain pula.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Allah Menabur Benih di Tanah yang Gersang, Kebetulan atau Sengaja?

11 Juli 2020   22:46 Diperbarui: 12 Juli 2020   01:35 2043
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Pada waktu ia menabur, sebagian benih itu jatuh di pinggir jalan, lalu datanglah burung dan memakannya sampai habis. Sebagian jatuh di tanah yang berbatu-batu, yang tidak banyak tanahnya, lalu benih itu pun segera tumbuh karena tanahnya tipis. 

Tetapi sesudah matahari terbit, laulah ia dan menjadi kering karena tidak berakar. Sebagian lagi jatuh di tengah semak duri, lalu makin besarlah semak itu dan menghimpitnya sampai mati. 

Dan sebagian jatuh di tanah yang baik lalu berbuah: ada yang seratu kali lipat, ada yang enam puluh kali lipat, ada yang tiga puluh kali lipat. Siapa yang bertelinga, hendaklah ia mendengar." Mat 13:4-9

Pertanyaan yang muncul setelah membaca perikop ini ialah mengapa Allah menaburkan atau pun menjatuhkan benih ke tanah yang gersang yaitu tanah yang memang jelas-jelas berisiko tidak akan membuat benih itu bertumbuh? 

Apakah itu suatu perbuatan yang kebetulan, di luar maksud dari Allah atau itu memang suatu kesengajaan sambil berharap benih itu bisa tumbuh juga di tanah tersebut?

Dikatakan dalam buku tafsir bahwa memang perbuatan Allah yang juga menjatuhkan benih di tanah yang gersang bukanlah suatu perbuatan yang kebetulan. 

Allah melakukan perbuatan itu dengan penuh kesadaran sambil berharap agar benih itu bisa bertumbuh dan bisa dipanen hasilnya. Tetapi mungkinkah itu bisa terjadi? 

Karena kita sendiri tahu bahwa tanah yang gersang bahkan yang berbatu-batu tidak akan membuat benih itu bertumbuh. Dan lagi, bukankah biasanya kalau kita hendak membuka lahan maka sebelum benih ditaburkan kita akan menggemburkan atau mengolah tanahnya agar menjadi tanah yang subur? 

Dengan demikian pertanyaan saya lebih lanjut ialah mengapa Allah tidak mengolah tanahnya terlebih dahulu lalu sesudah itu barulah Ia menaburkan benih tersebut. Namun masih mungkinkah jika tanah itu adalah tanah yang berbatu-batu?

Nampaknya Allah memang melakukan suatu perbuatan yang sia-sia. Tetapi dalam kitab Nabi Yesaya yang juga dibacakan bersamaan dengan perikop di atas dalam perayaan ekaristi dikatakan bahwa firman Allah yang keluar dari mulut-Nya tidak akan kembali kepada-Nya dengan sia-sia tetapi berhasil dalam apa yang dimintakan oleh Allah (Yes 55:11). 

Itu artinya Allah tidak mungkin melakukan perbuatan yang sia-sia karena Allah itu kita imani sebagai Allah yang mahakuasa dan mahabijaksana. Lalu bagaimana bisa dijelaskan bahwa Allah menabur benih di tanah yang gersang?

Untuk menjawab hal itu, terlebih dahulu kita mesti mengetahui siapa yang menjadi penabur, benih yang ditaburkan dan juga tanah dalam konteks perikop tersebut. 

Dalam buku tafsir dikatakan bahwa penabur itu ialah Yesus dan benih itu ialah sabda Allah. Sementara tanah itu ialah mereka yang berhadapan langsung dengan Yesus dan yang mendengarkan sabda yang diwartakan-Nya. Tanah gersang adalah mereka yang mendengarkan sabda-Nya namun tidak berakar dalam diri mereka. 

Di dalam mereka benih itu mati atau dimakan burung dan diinjak oleh orang. Sementara tanah yang baik ialah mereka yang mendengarkan sabda Allah dan melakukannya dalam hidup mereka. Di dalam mereka benih itu berbuah melimpah.

Dalam hal itu bisa dikatakan bahwa Allah tetap mewartakan sabda-Nya kepada semua orang, enah itu orang yang baik maupun kepada orang yang jahat. 

Tujuannya ialah sama agar sabda-Nya itu berbuah melimpah. Artinya agar semua orang bisa memperoleh keselamatan lewat sabda-Nya tersebut. 

Sekali lagi Allah hendak menunjukkan kasih-Nya yang universal karena komitmen-Nya tetap dan tidak berubah yaitu agar semua orang memperoleh keselamatan dari pada-Nya.

Namun itulah manusia yang bergerak menurut kebebasan yang dimilikinya. Ada yang segera menerima dan melaksanakan isi sabda tersebut namun ada juga yang hanya mendengarkan namun tidak melaksanakannya bahkan ada yang langsung menolaknya. 

Itu artinya sebenarnya setiap orang berkesempatan untuk menjadi tempat bertumbuhnya benih sabda Allah tersebut dan itulah jalan untuk memperoleh keselamatan dari Allah.

Lalu apa yang bisa dilakukan kepada tanah yang gersang tersebut agar bisa menumbuhkan benih sabda Allah di dalamnya? Tidak ada kecuali membiarkan diri untuk digarap oleh Allah. 

Digarap berarti membuka hati untuk menerima sabda Allah di dalam dirinya. Hanya lewat penerimaan sabda Allahlah maka tanah gersang itu bisa menjadi tanah yang subur karena benih sabda itu sendiri adalah sumber kehidupan dan siapa yang menerimanya akan mengalami hidup.

Salam kebaikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun