Hanya satu dari lima anak saya yang berprofesi sebagai Pegawai Negeri. Â Sekarang namanya Aparatur Sipil Negara Ketika lulus SMA ia sempat ikut testing AKABRI. Ketika saya tanya kenapa mau jadi tentara, dia menjawab sambil senyum senyum "supaya gampang jadi bupati".
Saya tidak tahu apa dia ngomong sungguhan atau sekedar canda doangan .
Tapi memang waktu tata politik kita memungkinkan tentara mudah menempati jabatan Sipil. Asal sudah Letnan Kolonel ia bisa menempati jabatan bupati atau wali kota.  Kalau sudah jendral bisa jadi gubernur. Untuk jabatan direktur  di BUMN atau  Sekda pangkat Mayor saja bisa.
Trend politik itu namanya Dwi Fungsi ABRI. Konon itu idenya Jendral Nasoetion, Panglima ABRI saat itu.
Kerena gagal testing AKABRI anak saya dan sekitar 15 teman se SMA rame2 menuju Jl Dago Bandung. Mereka daftar masuk APDN di situ.Dulu sering dijuluki secara tak resmi sebagai Sekolah Camat.
Alhamdulillah dia lulus dan masuk asrama APDN yang baru di Jatingor.
Sistim pendidikannya persis seperti pendidikan militer.
Dia dan angkatannya lulus dan dilantik oleh Presiden Soeharto tahun 1993.
Persoalan muncul setelah menjadi PNS.Ternyata para pegawai negara itu menjadi incaran partai2 politik atau orang2 yang butuh suara mereka dalam pemilu atau Pilkada.Soalnya jumlah PNS itu banyak , sekitar 4 juta.Belum termasuk keluarga. Jadi para politikus atau mereka yang berhasrat jadi Kepala Daerah sangat bernafsu mendapatkan suara atau dukungan  mereka. Golkar dalam pemilu 1982 mendapat 10 juta suara dari Korpri.  Itu suara berasal dari PNS dan keluarganya.
Bagi anak saya yang tidak mampu menjaga netralitas itu ternyata berbuah malapetaka.
Ia dalam pilkada itu ia mendukung seorang atasannya seorang PNS yang mencalonkan diri. Ternyata pertarungan itu dimenangkan calon lain. Seorang kader partai.