Secara pribadi, saya bisa mengatakan itu, karena saya juga pernah bermain teater. Dan, sampai detik ini tidak perlu mabuk untuk dapat berpartisipasi di acara-acaranya dan di pentas-pentasnya.
Tetapi, memang, ketika ada kegiatan, terkadang harus sampai malam. Misalnya, ketika H-1 pementasan, ternyata perlu ada gladi bersih, menyiapkan keperluan pementasan, hingga perlu juga membangun panggung yang istilah familiernya adalah 'nyeting panggung'.
Karena, dengan kita ada di lokasi sejak H-1, aktivitas kita sebelum acara dimulai tetap dapat terkontrol. Bangun tidak bisa terlambat, dan tidak ada alasan lain untuk mengganggu jadwal persiapan; seperti terjebak macet atau lainnya.
Kalau sampai orang tua masih khawatir, maka tidak masalah orang tuanya izin untuk hadir di persiapan acara itu. Namun, dengan syarat, mereka hanya duduk dan diam saja. Tidak perlu ikut campur terhadap aktivitas di situ.
Kalau berteater yang mana masih ada unsur suka-sukanya saja sudah diwaspadai hingga dilarang oleh orang tua, bagaimana dengan melepas anak untuk bekerja? Bukankah itu seperti melepas singa penangkaran ke hutan tanpa disiapkan untuk beradaptasi?
Dunia pekerjaan jauh lebih kejam daripada dunia kesenian. Faktornya ada dua.
Pertama, dunia kerja ada uang yang mengikat manusia untuk tetap tunduk terhadap sistem. Kedua, dunia kerja tidak mengenal  kata suka, yang ada adalah harus. Karena, saat melakukan sesuatu pasti akan dibayar.
Inilah yang membedakan dengan dunia kesenian, apalagi yang masih belum profesional, alias masih berupa kegiatan tambahan saat di sekolah atau di kampus. Maka, seberat-beratnya tanggung jawab di sana masih belum sebanding dengan tanggung jawab yang harus diemban di dunia pekerjaan.
Ditambah dengan faktor gairah (passion). Di dunia kesenian, gairah masih dipupuk dan dikembang-biakkan. Itulah kenapa, masih banyak orang yang dapat menemukan kesenangannya atau media yang tepat untuk mengekspresikan diri.