Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Perempuan dalam Teater yang Maskulin

13 April 2021   23:46 Diperbarui: 15 April 2021   02:28 1263
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu pemeran perempuan Teater Osteo. Sumber: Teater Osteo (Dewan Kesenian Malang)

Pengalaman menonton Parade Teater Saling Kunjung Dewan Kesenian Malang (DKM) Jawa Timur pada awal bulan April (1-8) menurut saya sangat menarik. Ini membuat saya merasa bergairah lagi untuk sedikit mengikuti geliat karya teman-teman pelaku teater, khususnya di Malang.

Konsep parade juga memungkinkan saya untuk menemukan pertunjukan yang beragam, termasuk orang-orang baru yang sebelumnya hanya saya dengar namanya. Begitu pula dengan orang-orang yang baru saya dengar namanya lalu dapat langsung melihat orangnya.

Pengalaman ini juga menggiring saya pada satu momen yaitu di hari terakhir parade. Ada dua agenda menarik dalam satu hari, yaitu diskusi "Mau ke Mana Teater Malang?" dan pementasan terakhir yang dipersembahkan Teater Osteo.

Pada diskusi, terdapat satu momen menarik ketika mendengar pernyataan salah satu audiens tentang maskulinitas dalam teater. Memang, di agenda diskusi itu saya juga melihat dominasi kaum lelaki di forum tersebut.

Di meja pembicara, ada 4 orang pembicara yang 3 di antaranya adalah lelaki. Sedikit berimbang, ketika moderator diskusinya adalah perempuan. Akhirnya, ada dua perempuan dan tiga lelaki di meja tersebut.

Poster diskusi teater memperkenalkan pembicaranya. Sumber: Dokumentasi Dewan Kesenian Malang
Poster diskusi teater memperkenalkan pembicaranya. Sumber: Dokumentasi Dewan Kesenian Malang
Sedangkan, di kursi audiens, seingat saya hanya satu atau dua perempuan. Bahkan, satu perempuannya adalah anak kecil, balita. Mereka ada di antara 10 lebih lelaki.

Ini masih berbicara di momen tersebut, belum di momen rangkaian pementasan. Di sana para sutradara pementasan juga didominasi oleh lelaki. Aktor-aktor yang menonjol juga lelaki.

Kecuali pada pementasan Teater Sagaloka. Secara kuantitas lebih banyak perempuan aktor daripada lelaki. Walaupun, jika dilihat secara penokohan, sesosok lelaki masih menjadi tokoh utama--muncul di awal, tengah (bagian krusial), dan akhir.

Pementasan Sagaloka. Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.
Pementasan Sagaloka. Sumber: Dokumentasi Deddy Husein S.

Di mana kaum perempuan?

Pertanyaan menggelitik, termasuk ketika seorang perempuan audiens juga membahas itu. Dia ingin teater yang terlihat maskulin juga dapat menjadi lahannya perempuan berteater, termasuk dapat membawa teater berkembang selain berani terus berkarya.

Sebenarnya, harapan ini sudah sedikit langsung dijawab dengan adanya pementasan "Herstory" dari Teater Osteo. Bahkan, secara pribadi saya terkejut dengan konsep pementasannya.

Keterkejutan pertama adalah ketika mendengar bahwa pementasan terakhir akan ada masak-masak. Apakah masak-masak itu menjadi bagian dari pementasan atau bukan?

Keterkejutan kedua adalah ketika pementasan itu hanya menghadirkan dua tokoh. Saya sebut mereka sebagai 'si Pembicara' dan 'si Pemasak'.

Ada dua pemeran di atas panggung. Sumber: Dokumentasi Dewan Kesenian Malang
Ada dua pemeran di atas panggung. Sumber: Dokumentasi Dewan Kesenian Malang
Keterkejutan ketiga adalah tentang apa yang disampaikan oleh si Pembicara. Ia menceritakan tentang keresahannya sebagai perempuan dan pemilik tubuh gemuk.

Awalnya, saya pikir ini adalah basa-basi. Ternyata, itulah yang memang diungkap lewat pementasan tersebut.

Keterkejutan terakhir adalah tentang konsep interaksi langsung dengan penonton. Sebenarnya, ini sudah tidak terlalu mengejutkan, karena dengan pembawaan cerita sedemikian rupa, memang akan lebih pas jika diiringi dengan interaksi.

Selain itu, saya juga berkaca dengan konsep pementasan hari sebelumnya yang juga ada upaya dari para pemeran mengajak penonton berinteraksi. Artinya, apa yang terjadi di hari sebelumnya terulang, walau dengan sedikit perbedaan.

Perbedaannya, penonton diajak turut berbicara sekalimat-dua kalimat untuk memberi tanggapan terkait hal-hal yang disampaikan atau dipertanyakan si Pembicara. Ini yang kemudian juga menjadi daya tarik dan membuat saya sebagai penonton enggan beranjak dari kursi.

Lewat pementasan ini kemudian saya menemukan adanya bukti bahwa teater juga bisa diusung oleh perempuan dan dengan cara yang bisa dikatakan identik terhadap perempuan. Masak dan membentuk ruang diskusi yang menurut saya adalah perempuan banget.

Masak sekalipun menonjolkan koki-koki lelaki di restoran, hotel, dan acara kuliner di televisi, tetap saja secara kuantitas dan stereotip masih dialamatkan kepada perempuan. Maka, pementasan dengan menunjukkan langsung praktik memasak adalah cara yang tepat untuk menceritakan apa yang biasanya dilakukan perempuan.

Aktivitas berdiskusi yang kemudian juga dapat disebut merumpi adalah pembawaan yang pas untuk menunjukkan kelebihan perempuan. Lewat merumpi, mereka mampu menggiring siapa pun masuk ke dalam pemikirannya.

Biasanya perempuan mampu membicarakan hal-hal yang sedang dipikirkan, termasuk keresahan-keresahan. Itulah kenapa kemudian perempuan seringkali dianggap sebagai kaum baperan. Padahal, lelaki juga punya keresahan yang sayangnya sering ditahan, agar tidak dianggap lemah (fragile masculinity).

Konsep "Herstory" yang sedemikian rupa membuat saya tahu bahwa perempuan bisa merangkul, dibandingkan lelaki yang kadang butuh banyak teknik untuk mengajak orang lain mau memperhatikannya. Sedangkan, lewat "Herstory", tokoh si Pembicara tidak perlu menambahkan teknik selain public speaking.

Teknik inilah yang menurut saya kemudian masih bisa dinikmati, sekalipun teater makin ke sini makin "aneh-aneh". Ternyata, cara yang mirip 'stand up comedy' itu masih bisa dilakukan di atas panggung teater dewasa ini, dan tentunya melibatkan perempuan sebagai tokoh utama.

Pemandangan ini yang kemudian menggiring saya untuk melihat lagi bagaimana peran perempuan di teater, khususnya di Indonesia. Apakah mereka bisa diandalkan seperti kaum lelaki yang masih selalu menonjol di teater?

Pertanyaan itu kemudian mengarahkan saya untuk melihat sepak terjang beberapa perempuan di teater di Indonesia.

Saya mulai dengan nama Ratna Riantiarno. Nama yang sangat familier di kalangan pelaku teater Indonesia.

Ratna Riantiarno juga tenar di film. Sumber: Dokumentasi Visinema Pictures via Wartakota Tribunnews
Ratna Riantiarno juga tenar di film. Sumber: Dokumentasi Visinema Pictures via Wartakota Tribunnews
Faktor yang paling mudah diketahui adalah nama 'Riantiarno'. Itu adalah nama belakang Nano Riantiarno, yang merupakan pendiri Teater Koma (1 Maret 1977).

Bersama Ratna yang dipersunting pada 1978, Nano mendirikan Teater Koma sekaligus mengelolanya sampai sekarang. Di luar Teater Koma, Ratna juga pernah menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (1996-2003). Inilah yang membuat namanya di dunia kesenian Indonesia semakin lekat.

Ratna juga konsen terhadap regenerasi sutradara di forum Asia. Ia bersentuhan dengan teater berawal dari pementasan "Kapai-Kapai" (1969) bersama Teater Kecil. Teater yang didirikan oleh Arifin C. Noer.

Rekam jejaknya berteater kemudian dipertegas oleh kemampuannya berakting di film, yang terus ia lakukan sampai sekarang.

Nama selanjutnya adalah Christine Hakim. Meskipun ia sangat identik dengan dunia perfilman, ia adalah didikan Teguh Karya yang mendirikan Teater Populer (1968).

Christine Hakim punya jejak panjang di jagat hiburan Indonesia. Sumber: via IMDb
Christine Hakim punya jejak panjang di jagat hiburan Indonesia. Sumber: via IMDb
Christine Hakim juga pernah menjadi juri Festival Film Cannes. Sampai saat ini, ia masih disegani karena faktor kualitas aktingnya yang sangat bagus.

Faktor rekam jejak awal di teater dan kemauannya terus mengembangkan kualitas berakting membuatnya dapat bertahan lama di jagat hiburan yang semakin modern. Bahkan, ia juga masih mau belajar bermain opera lewat pementasan "Gandari 3" (2019).

Apa yang dilakukan Christine Hakim bukti bahwa untuk bertahan, pelaku teater tidak hanya membawa pengalamannya, tapi juga mau mempelajari hal baru. Ini yang membuat Christine Hakim masih patut diperhitungkan di dunia kesenian, termasuk teater lewat kepribadiannya yang mau menyesuaikan diri dalam berkarya.

Nama selanjutnya adalah Ken Zuraida. Nama yang sebenarnya masih dikenal para pelaku teater dan kesenian Indonesia.

Sosok Ken Zuraida, seorang akris, sutradara, dan produser teater. (Foto: Kompas.com/Jodhi Yudono)
Sosok Ken Zuraida, seorang akris, sutradara, dan produser teater. (Foto: Kompas.com/Jodhi Yudono)
Memang, kemudian dirinya masih terlihat erat dengan penggambaran (image) suaminya, WS Rendra. Ketika dia menjadi pemimpin Bengkel Teater (sekarang Bengkel Teater Rendra) selepas wafatnya Rendra, praktis Ida identik dengan Rendra.

Selepas kepergian Rendra (2009), Ida masih berupaya mempertahankan Bengkel Teater Rendra. Saat 2014 ia pernah membuat pementasan di Tegal.

Ia juga bersedia menjadi pembicara di diskusi-diskusi teater di berbagai daerah. Ini membuat dirinya masih dianggap peduli dengan teater Indonesia.

Kemudian, ada Ayu Utami yang pernah berkolaborasi dengan Agus Noor membuat naskah "Sidang Susila" (2008). Jika Agus Noor masih berkarya di Teater Gandrik dan bersama Indonesia Kaya, maka Ayu Utami selain dikenal sebagai penulis, juga merupakan kurator di Teater Utan Kayu yang kemudian kini dikenal sebagai Komunitas (Teater) Salihara.

Ayu Utami kini lebih identik sebagai penulis. Sumber: Lesekreis (Heike Huslage-Koch)
Ayu Utami kini lebih identik sebagai penulis. Sumber: Lesekreis (Heike Huslage-Koch)
Komunitas Salihara adalah bentukan dari Goenawan Mohamad (8-8-2008). Ayu Utami ada di antara beberapa nama yang sebagian besar lelaki.

Ayu Utami kemudian sering dikenal sebagai novelis. Selain terkenal lewat novel "Saman" (1998), ia juga masih produktif menulis dengan karya terbarunya adalah "Anatomi Rasa" (2019).

Nama yang kemudian mudah dikenali, khususnya bagi kaum milenial adalah Happy Salma. Secara pribadi, saya mengetahui nama Happy Salma di program televisi, sampai kemudian dia kini menjadi orang yang peduli dengan kesenian termasuk teater.

Happy Salma dulu sering menghiasi layar televisi. Sumber: Instagram/happysalma
Happy Salma dulu sering menghiasi layar televisi. Sumber: Instagram/happysalma
Tidak tanggung-tanggung, dia membentuk yayasan bernama Titimangsa Foundation (Oktober 2007). Yayasan nirlaba ini konsen terhadap budaya khususnya seni pertunjukan.

Suatu terobosan yang hebat dan tentunya sangat berdampak untuk membuat teater tidak sepenuhnya kalah bersaing dengan cabang seni lain. Lewat yayasan ini pula sudah ada banyak pementasan yang sukses digelar. Dua pementasan populernya adalah "Perempuan-perempuan Chairil" dan "Bunga Penutup Abad".

Lewat yayasan ini, Happy Salma juga berperan sebagai produser dalam pementasan teater, salah satunya lewat pementasan "Citraresmi" (2017). Pementasan itu juga melibatkan aktor film terkenal, Maudy Koesnaedi.

Lewat contoh-contoh itu, sebenarnya teater masih bisa melibatkan dan bahkan digerakkan oleh perempuan. Satu keunggulan perempuan dalam menangani teater adalah kemampuannya menata isi teater seperti ketika menata isi rumah yang terkadang berantakan.

Keberadaan perempuan di teater menurut saya juga seperti itu. Selain mereka mampu merangkul banyak orang, mereka juga dapat mengelola dan membuat apa yang ditempati menjadi hidup dan berkembang.

Hanya saja, kalau kemudian teater masih identik dengan maskulinitas, mungkin sebaiknya maskulinitas itu tidak menutup kesempatan perempuan untuk turut berteater. Apalagi, kalau ternyata mereka lebih baik, maka kenapa tidak?

Memang, perempuan cenderung kurang mau bertahan pada pakem-pakem yang benar seperti lelaki yang cenderung berupaya mempertahankan teori, walau kadang teorinya juga tidak murni. Tetapi, dalam hal menciptakan kebaikan, perempuan menurut saya masih juaranya.

Termasuk dalam menciptakan kebaikan dalam teater, khususnya seperti yang terlihat di "Herstory". Secara teknik, mungkin Teater Osteo terlihat kurang memperhatikan detail-detail teknik berteater seperti memperhatikan tangga dinamika (alur topik yang dibahas dan pernyataan penting), dan bagaimana mengakhiri pementasan yang masih cenderung seperti orang selesai berpidato.

Namun, dengan kacamata kebaikan, "Herstory" sudah mampu mengambil perhatian penonton. Termasuk mengajak penonton sepenuhnya menikmati hidangan yang diberikan. Itu salah satu yang menarik!

Mungkin, kalau itu dilakukan oleh lelaki, mereka masih berupaya untuk menelaah, apakah yang dilakukan di atas panggung sudah benar secara dasar teori atau belum. Itulah kenapa, seringkali kita melihat lelaki di mana-mana. Karena, mereka lebih sering melakukan segalanya dengan pakem-pakem yang kuat, sekalipun tidak jarang pakem-pakem itu dibuat secara suka-suka.

Lalu, bagaimana dengan perempuan?

Mereka juga punya pakem sendiri, yaitu kebaikan dan kesuburan. Di mana ada perempuan di situ ada ladang kebaikan dan ladang kesuburan. Tidak percaya?

Lewat tulisan ini, saya hanya ingin menyampaikan rasa terima kasih saya kepada perempuan yang masih mau peduli dengan teater, meskipun teater didominasi lelaki. Selain itu, saya juga ingin mengingatkan bahwa teater sebenarnya butuh lelaki dan perempuan, karena yang dibutuhkan bukan jenis kelaminnya, melainkan pola pikirnya.

Selamat berteater para perempuan Indonesia! Peluklah teater dengan kebaikan.

Malang, 12 April 2021
Deddy Husein S.

Honorable mentions:
Jajang C. Noer (aktor dan alumnus Teater Kecil), Sitoresmi (alumnus Bengkel Teater), Niniek L. Karim (alumnus Teater Populer), Nungki Kusumastuti (penari, aktor teater, dan dosen di IKJ), Ratna Sarumpaet (aktor teater), Ine Febriyanti (aktor teater), Marcella Zalianty (aktor di pementasan "Antigone" karya Teater Populer), Naomi Srikandi (Teater Garasi 1994), dll.

Terkait: Pesona.co.id, Detik.com, Kompas.com, Ensiklopedia.kemdikbud.go.id, Titimangsa.or.id, Kumparan.com, Institutungu.org, Gensindo.sindonews.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun