Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Artidjo Alkostar, Akankah Jadi Inspirasi Serial Indonesia?

7 Maret 2021   22:01 Diperbarui: 7 Maret 2021   22:39 431
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mantan Hakim MA dan anggota Dewan Pengawas KPK, Artidjo Alkostar. Gambar: Yuniadhi Agung/Kompas

Secara pribadi, sebenarnya saya kurang mengenal figur bernama Artidjo Alkostar. Maklum, saya memang kurang mengikuti berita-berita tentang hasil sidang kasus korupsi dan sejenisnya.

Namun, saya sempat melihat foto Artidjo Alkostar dengan tumpukan berkas-berkas di sekelilingnya--seperti gambar di artikel ini--saat pemberitaan pemilihan Dewan Pengawas (Dewas) KPK pada 2019. Sejak itu saya mulai tahu sosok Artidjo.

Orang yang disebut-sebut sangat ditakuti oleh para koruptor, dan menurut saya itu logis. Itu seperti guru yang ditakuti muridnya, dikarenakan murid tersebut susah diatur dan sering mendapat hukuman.

Jika tidak ingin takut dengan Artidjo, kuncinya adalah tidak korupsi. Logika yang sederhana, namun nyatanya sulit dilakukan.

Sudah banyak kasus yang ditangani Artidjo sampai Mei 2018. Kemudian, pada Desember 2019 beliau resmi menjadi anggota Dewas KPK. Namun, pada 2021, sepak terjang mulianya di ranah hukum di Indonesia harus berakhir.

Artidjo Alkostar meninggal dunia pada 28 Februari 2021, di usia 72 tahun. Beliau tutup usia saat masih menjabat sebagai anggota Dewas KPK.

Meski demikian, jasa-jasanya kala masih menjadi hakim sangat patut dikenang dan diteladani. Khususnya, bagi calon-calon hakim di Indonesia.

Selain itu, saya juga berpikir bahwa kisahnya dalam menghukum koruptor kelas kakap patut pula diangkat ke sebuah karya tontonan, entah film atau serial. Apalagi, saat ini kita sudah familier dengan web-series, maka itu juga bisa menjadi wadah tepat untuk mengenang sekaligus mengenal perjuangan Artidjo Alkostar.

Contoh serial dari Korea yang banyak mengangkat kisah tentang hakim dan kehukuman. Gambar: Dokumentasi pribadi/Google
Contoh serial dari Korea yang banyak mengangkat kisah tentang hakim dan kehukuman. Gambar: Dokumentasi pribadi/Google
Karya seperti itu juga bisa untuk menumbuhkan dan menyebarkan inspirasi kepada masyarakat, dan sejak dini. Karena, menurut pengalaman saya dulu saat kecil--dan sebenarnya sampai saat ini, karya tontonan seringkali membantu dalam memperoleh inspirasi dan keteladanan.

Karena, tidak selamanya kita dapat menjangkau karya tulisan, seperti biografi, otobiografi, atau novel. Terkadang, kita lebih banyak mendapatkan informasi penting malah lewat tontonan.

Ini bukan berarti nanti akan mengajarkan penjahat untuk mempelajari cara tokoh (yang menyerupai) Artidjo dalam mengeksekusi penjahat. Tetapi, juga bisa menyadarkan calon-calon penjahat untuk ingat tentang apa konsekuensi yang akan diperoleh jika melakukan praktik kejahatan itu.

Memang, selamanya kejahatan dan kebaikan terus berjalan beriringan. Tetapi, secara jumlah, kebaikan harus selalu lebih banyak daripada kejahatan.

Harapan itu harus dipupuk lewat segala macam media untuk memberikan informasi kepada semua orang. Salah satu medianya adalah karya tontonan.

Mumpung, saat ini sedang banyak orang gandrung dengan tontonan serial, maka kenapa tidak Indonesia juga memproduksi serial? Serialnya pun dapat mengambil inspirasi dari kinerja Artidjo Alkostar di dunia kehukuman.

Ini juga dapat menjadi bukti, bahwa sosok yang biasanya hanya ada di dalam film atau serial, nyatanya juga ada di praktik kehidupan nyata. Maka, kenapa tidak untuk mengambil inspirasi tersebut ke dalam karya tontonan.

Apalagi, ini juga berasal dari tokoh dalam negeri. Ditambah, banyak referensi yang bisa dijadikan rujukan dalam menggarap tontonan tersebut.

Bisa dari karya tulis langsung Artidjo, ataupun karya tulis lain yang memuat sepak terjang Artidjo secara komprehensif. Daripada sibuk membentuk karakter "superhero" sendiri yang bergerak di dunia hukum, kenapa tidak untuk mengambil langsung teladan yang memang ada.

Ini sekaligus menjadi bukti, bahwa karya tontonan juga bisa digarap dengan akurasi dan literasi. Karena, kita (khususnya saya) saat menonton film atau serial seringkali hanya menemukan tokoh yang berasal dari rekaan inovatif.

Saya sebut inovatif, karena semakin ke sini kita sulit untuk menciptakan tokoh rekaan yang murni dari hasil bertapa 7 hari 7 malam seperti para leluhur kita membuat lakon pewayangan. Bahkan, lakon pewayangan saja terkadang dikaitkan dengan kejadian nyata dan tokoh yang (mungkin) nyata.

Walaupun, terkadang kita yang merupakan generasi yang jarak peradabannya jauh dari sumber cerita hanya bisa bersembunyi pada dua kata, 'menikmati' dan 'mengapresiasi'. Maka, di masa sekarang yang segalanya sudah bisa diabadikan dalam bentuk literatur (ada bukti), sebaiknya juga bisa dimanfaatkan dalam membuat karya tontonan yang berkualitas.

Jika kita ingin mencoba menarik minat penonton Indonesia dengan karya serial, maka dibuatlah karya serial. Namun, jika kita ingin melihat di mana letak kemampuan produksi karya tontonan Indonesia, maka pilihan membuat film tentang kehukuman adalah keputusan bijak.

Ini dikarenakan alasan subjektif saya, bahwa kualitas film di Indonesia lebih banyak mendongkrak daya tarik penonton Indonesia--dalam segala umur dan golongan--dibandingkan bentuk tontonan lain yang menurut saya lebih terkotak-kotakkan (segmented).

Selain itu, cerita yang berkaitan dengan hukum, hakim, jaksa, pengacara, polisi, dan penjahat biasanya identik dengan adegan aksi dan misteri (penelusuran). Artinya, tontonan ini lebih cocok ditonton di bioskop (dalam kondisi dunia normal).

Kisah tentang Artidjo kemungkinan besarnya seperti cerita-cerita yang ada di serial Korea (drakor) yang memiliki adegan rumit. Penuh teka-teki, dan tidak akan jarang keluar dialog-dialog lugas.

Jika sutradaranya mengikuti selera pasar dan keidentikan cerita tentang hukum yang biasanya lekat dengan adegan penangkapan dan pemburuan, maka ceritanya akan beraliran (genre) aksi. Namun, jika sutradara lebih fokus pada intelijensi, yaitu pola pikir Artidjo dalam mengupas kasus, maka ceritanya akan beraliran misteri saja.

Jika ada adegan Artidjo menendang meja atau kursi orang/tamu yang hendak membicarakan perkara, itu bukan termasuk adegan laga. Itu adalah adegan emosional, yang artinya masih wajar terjadi pada tontonan yang hanya beraliran misteri.

Lalu, siapa sutradara yang cocok menggarap serial/film tentang Artidjo Alkostar?

Menurut saya, Joko Anwar patut diunggulkan. Ini tidak hanya berdasarkan karya filmnya yang mampu mengobral kekelaman, tetapi juga karena dia pernah berkarya di jalur web-series. Artinya, kalau Joko Anwar ingin mengangkat kisah Artidjo di jalur serial, itu bukan tantangan baru baginya.

Jejak karya Joko Anwar. Gambar: diolah dari Filmindonesia.or.id dan Wikipedia.org
Jejak karya Joko Anwar. Gambar: diolah dari Filmindonesia.or.id dan Wikipedia.org
Namun, jika merujuk pada rekam jejak penggarapan web-series terkini, maka sosok Tommy Dewo patut dipertimbangkan. Karya terbarunya "Serigala Terakhir" (2020) bisa menjadi rujukan.

Begitu pula dengan rekam jejaknya di dunia perfilman yang identik bekerjasama dengan Joko Anwar di film-film Joko. Ini membuat pola berkaryanya juga tidak akan jauh dari ilmu yang didapatkannya bersama Joko Anwar. Sekalipun, beda orang, beda sentuhan.

Jejak karya Tommy Dewo. Gambar: diolah dari Filmindonesia.or.id dan Wikipedia.org
Jejak karya Tommy Dewo. Gambar: diolah dari Filmindonesia.or.id dan Wikipedia.org
Jika Tommy Dewo yang tertarik menggarap kisah Artidjo Alkostar, maka saya lebih berharap dia menggarapnya ke dalam bentuk web-series seperti "Serigala Terakhir". Ini bisa menjadi cara Tommy memperdalam kualitasnya berkarya di jalur serial, yang siapa tahu malah membuatnya dapat dikenal sebagai sutradara serial terbaik Indonesia.

Selain dua nama tersebut, tentu ada nama-nama lain yang bisa menjadi sutradara serial tentang Artidjo Alkostar. Namun, itu juga kembali pada sosok-sosok tersebut dan ketertarikan mereka dalam menggarap kisah tentang dunia kehukuman, khususnya di Indonesia.

Kalau pembaca, apakah ada yang tertarik untuk menontonnya? Atau, malah ada yang berencana menjadi penggarap serial tentang Artidjo Alkostar?

Malang, 5-7 Maret 2021
Deddy Husein S.

Terkait: Kompas.com 1, CNNIndonesia.com, Halodoc.com, Kompas.com 2, Antaranews.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun