Meskipun, Leicester City sudah pernah juara Liga Primer Inggris pada 2015/16, mereka masih sulit menyamai konsistensi 6 klub besar yang pernah juara liga; Manchester United, Liverpool, Arsenal, Chelsea, dan Manchester City.Â
Bahkan, mereka juga belum bisa menyamai konsistensi Tottenham Hotspur yang pernah konsisten di 4 besar liga.
Sebuah musim anomali, karena beberapa klub besar sedang melakukan transisi pergantian manajer, seperti Liverpool, Manchester City, dan Chelsea. Selepas itu, West Ham kembali ke habitatnya sebagai penghuni papan tengah.
Pada musim 2015/16 manajer West Ham adalah Slaven Bilic, pelatih asal Kroasia. Artinya, performa menanjak saat itu juga karena manajer dari luar Inggris Raya.
Selepas kepergian Slaven Bilic, West Ham sangat labil. Mereka menempati posisi 13 pada 2017/18, posisi 10 pada 2018/19, dan posisi 16 pada 2019/20.
Selama tiga musim, manajer West Ham juga mengalami pergantian. Ada Manuel Pellegrini asal Chile (2018/19), dan David Moyes yang melatih sejak Januari 2020 dan pernah melatih klub asal London itu pada 2017/18.
Bagi klub selevel West Ham saja, mereka juga cenderung memilih manajer asing. Ketika mereka bertemu dengan manajer sarat pengalaman seperti David Moyes, mereka baru percaya dengan kapasitas manajer Inggris Raya.
Hal ini juga terjadi pada Leicester City yang memilih Claude Puel pasca pemecatan Claudio Ranieri (Italia). Claude Puel adalah manajer asal Prancis yang sebelumnya pernah melatih Southampton.
Ia kemudian dipecat oleh tim manajemen Leicester pada 2019, dan Leicester berhasil memboyong Brendan Rodgers yang sempat "tersingkir" ke Liga Skotlandia.Â
Modal pengalaman pernah nyaris juara dengan Liverpool (2013/14) dan berhasil trigelar dua kali bersama Glasgow Celtic (2016/17-2017/18), membuat Leicester akhirnya memilih Rodgers.