Bahkan, dampak kehadirannya terlihat kalah dengan Dembele yang dalam beberapa laga terakhir sering bermain sejak menit pertama. Ini terlihat ironis, karena Griezmann seharusnya berada satu setrip di atas Dembele.
Berdasarkan itu, maka publik, khususnya penggemar Barcelona berada dalam dilematis besar. Apakah mereka masih harus menunggu lebih lama lagi, atau memang harus tidak berharap lagi pada Griezmann?
Pertama, Griezmann dalam dua masa kariernya di dua klub berbeda itu, selalu membutuhkan banyak laga untuk mencetak gol. Kedua, Griezmann tidak pernah sepenuhnya ditempatkan sebagai andalan di depan.
Dia seperti Messi pada masa mudanya, yaitu mengisi ruang-ruang yang dibukakan oleh rekannya, khususnya oleh penyerang utama.
Hal ini yang tidak terjadi pada Griezmann di Barcelona, khususnya musim ini. Dialah yang justru ditempatkan sebagai petarung di dalam kotak penalti.
Kita harus sedikit melompat ke tempat lain, yaitu Timnas Prancis. Ketika Les Bleus tampil di Piala Dunia 2018, siapa yang memberikan panggung ke Griezmann?
Olivier Giroud. Meskipun sang striker jangkung itu dicemooh karena tidak mencetak gol di turnamen tersebut, tapi berkat dia, Griezmann dan Mbappe moncer.
Pemandangan itu juga terjadi pada Atletico saat diperkuat Diego Costa di periode keduanya (pascapindah dari Chelsea). Griezmann sangat terbantu dengan Costa, karena para bek lawan pasti lebih memperhatikan Costa daripada dirinya.
Ketiga, kualitas dan taktik tim. Secara kualitas, di atas kertas Barcelona memang bisa dianggap lebih baik daripada dua klub lama Griezmann. Namun, secara taktik, apakah yakin Barcelona lebih baik dari mereka?
Taktik sangat krusial untuk menentukan apakah kualitas di atas kertas bisa terwujud di lapangan. Begitu pula jika sebuah tim disebut underrated, mereka akan tetap bisa bagus di atas lapangan kalau taktiknya tepat.