Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengapa Anak Menjadi Korban Pelecehan Seksual?

31 Juli 2020   19:15 Diperbarui: 31 Juli 2020   19:10 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi pelaku pelecehan seksual pada anak. Gambar: Pixabay via Kompas.com

Baca juga: Berikan Kepercayaan kepada Anak (Hennie Triana)

Pemahaman bisa dilakukan dengan cara berdialog ketika selesai makan, saat menemani si kecil mandi, bahkan ketika mereka hendak terbenam dalam samudera mimpi. Di momen seperti itu, apa yang dikatakan orang tuanya sebagian besar masih bisa diingat bahkan sampai mereka dewasa.

Kedekatan anak dan orang tua bisa menjembatani pengetahuan tentang menjaga diri. Gambar: Pexels/Lina Kivaka
Kedekatan anak dan orang tua bisa menjembatani pengetahuan tentang menjaga diri. Gambar: Pexels/Lina Kivaka
Perjanjian juga bisa dibuat ketika anak ternyata memiliki karakter keras kepala. Artinya, di sini anak sudah diberitahu bahwa ada tindakan maka ada konsekuensi. Semakin baik tindakannya, maka peluang untuk memperoleh dampak yang menyenangkan akan terjadi. Begitu pun sebaliknya.

Di sinilah, anak-anak kemudian mulai diberikan kepercayaan. Khususnya, ketika mereka sudah mengerti bagaimana kerja dari perjanjian itu. Jika sudah demikian, saya pikir mereka akan selalu ingat dengan perkataan dari orang tuanya meski sedang asyik push rank.

Dari rangkaian tiga faktor yang dapat menjembatani pertemuan antara anak-anak dengan pelaku kejahatan seksual, maka tiga cara tersebut saya pikir cukup ampuh untuk menjadi pencegah.

Pelecehan seksual pada anak tidak akan cepat hilang. Gambar: Republika/Mardiah
Pelecehan seksual pada anak tidak akan cepat hilang. Gambar: Republika/Mardiah
Namun, berkaitan dengan deretan kalimat di awal, bahwa kejahatan ini bisa terjadi di mana saja, kapan saja, dan oleh siapa saja. Maka, saya pun memikirkan satu hal. Yaitu, tentang adanya faktor gangguan mental terhadap si pelaku pelecehan seksual.

Memang, tindakan ini berkaitan dengan seksualitas. Namun, saya juga berpikir bahwa pemicunya bukan hanya soal (maaf) birahi, tetapi juga karena ada yang salah dengan mentalnya.

Jika merujuk pada takaran seksualitas, maka saya pikir semua manusia pasti memiliki gairah yang besar terkait itu. Namun, terbukti tidak semua orang (misalnya) di satu area pemukiman harus melakukan pelecehan seksual kepada anak-anak--demi memuaskan gairah seksualnya.

Baca juga: Mengenal Viralnya Kasus "Kain Jarik" (dr. Ayu Deni Pramita)

Itulah yang membuat saya terfokus pada pengaruh mentalitas para pelaku kejahatan tersebut. Bahkan, saya pikir adanya pelaku kejahatan seksual di beberapa tempat yang seharusnya aman, dikarenakan lolosnya mereka dari tes kejiwaan.

Dunia profesional masih fokus dengan kualitas skill, bukan tentang mentalitas dan psikisnya. Gambar: Pexels/Fox
Dunia profesional masih fokus dengan kualitas skill, bukan tentang mentalitas dan psikisnya. Gambar: Pexels/Fox
Tentu rasanya miris sekali jika melihat pelaku pelecehan seksual terhadap anak-anak juga ada yang berada di lingkup profesional (lembaga pendidikan dan agama). Itu artinya, pihak penaung lingkup tersebut seharusnya memperhatikan segi-segi non-teknis (kesehatan mental), tidak hanya tentang teknis (skill) dari orang-orang di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun