Bukan hanya Liverpudlian yang bahagia dengan kabar resminya Liverpool menjadi juara Premier League 2019/20. Tetapi, penggemar klub lain seharusnya turut senang dengan raihan Jordan Henderson dkk. di musim ini.
Saya yang bukan penggemar Liverpool nyatanya turut bersemangat ketika membaca berita-berita tentang juaranya The Reds. Situasi yang tidak terjadi ketika musim lalu, Manchester City meraih gelar keduanya bersama Josep "Pep" Guardiola.
Saat itu saya biasa saja. Bahkan, tidak banyak berita yang saya baca tentang juaranya Manchester City. Padahal mereka juga meraih juara di dua kompetisi lainnya, Piala FA dan Piala Liga.
Satu-satunya rasa takjub yang muncul saat itu adalah ketika saya melihat gol kemenangan Manchester City atas Leicester City. Di situlah saya benar-benar melihat betapa hebatnya keberuntungan yang menyelimuti Manchester City, karena momen itu datang dua kali.
Momen pertama, ketika Manchester City juara pertama kali setelah 40 tahun. Momen kedua adalah musim kemarin, ketika mereka kembali harus bersaing sengit dengan klub yang juga identik dengan warna merah.
Jika yang pertama Manchester biru bersaing dengan Si Setan Merah (Manchester United). Maka, tantangan kedua benar-benar dengan si identik merah, Liverpool, yang sebenarnya sedang berada di masa menuju kejayaan.
Terbukti, di musim yang sama Si Merah berhasil menjuarai Liga Champions untuk yang ke-6 dan membuat mereka menjadi klub terkuat di Eropa setelah dalam beberapa musim terakhir didominasi oleh Real Madrid. Juaranya Liverpool di pentas Eropa sudah menjadi landasan, bahwa untuk berjaya di kancah domestik tinggal menghitung waktu saja.
Memang, jika mengacu pada nasib Real Madrid, kita bisa melihat bahwa sang jawara Eropa nyatanya tak sepenuhnya dominan di kompetisi domestik. Ini juga bisa berlaku bagi Liverpool. Bisa saja mereka akan kesulitan untuk juara di Premier League, meski tak akan kesulitan di Liga Champions.
Namun, situasinya justru seperti berbalik. Jika di musim lalu, Liverpool tidak beruntung di Premier League tetapi juara Liga Champions. Musim ini, Liverpool justru gagal mempertahankan titel Eropanya namun berhasil juara Premier League.
Seolah Liverpool diberikan dua pilihan hadiah ketika berulangtahun. Mau ambil hadiah sepeda motor tapi tidak akan diberikan jaminan uang untuk kuliah, atau dapat jaminan berkuliah sampai lulus tapi tidak dapat sepeda motor. Pilih mana?
Sebenarnya saya mau analogikan dua trofi itu sebagai dua kotak hadiah. Satu besar, satu kecil. Tetapi dengan analogi itu akan membuat salah satu gelar tersebut terlihat kecil, padahal semuanya sangat penting--sama besarnya--bagi Liverpool.
Lalu dengan pilihan hadiah itu, mana yang diambil Liverpool?
Rupanya Liverpool memilih hadiah sepeda motor. Meski tidak akan dapat jaminan untuk kuliah, tetapi Liverpool tahu bahwa sepeda motor itu sangat penting khususnya pada kehidupan dewasa ini.
Terbukti, beberapa tempat kerja terkadang memasukkan persyaratan memiliki kendaraan pribadi sebagai salah satu pertimbangan dalam menerima pegawai baru. Bahkan, ada pula yang mewajibkan untuk memiliki kendaraan pribadi.
Itu artinya Liverpool tahu bahwa dengan memiliki sepeda motor, ada peluang baginya untuk mengeksplorasi kehidupannya. Dia bisa bekerja part time selama masih sekolah. Salah satunya menjadi driver online.
Dari situ, bisa saja Liverpool dapat mencari biaya untuk kuliah. Jika menjadi driver online kurang menjanjikan, maka dia bisa melamar ke kedai-kedai makanan cepat saji.
Mereka pasti akan mempertimbangkannya. Karena, jika sudah dipercaya orangtuanya memiliki sepeda motor, maka si anak juga berpotensi untuk dapat diberikan tanggung jawab.
Akhirnya, pelan nan pasti si Liverpool akan dapat mengumpulkan uang yang setidaknya dapat menjamin satu tahun menebus biaya perkuliahan. Toh, dengan pengalamannya part time sambil bersekolah, dia tidak akan terlalu kaget dengan rutinitas tersebut ketika kuliah nanti.
Memang, di awal semester dia harus melihat situasi terlebih dahulu, khususnya dalam melihat waktu-waktu kosongnya. Setelah itu, barulah dia eksekusi--mencari uang untuk biaya kuliah.
Melihat ilustrasi ini, maka kita bisa melihat bahwa apa pun hadiahnya jika kita bisa memanfaatkannya dengan baik, maka hasilnya juga akan serupa. Caranya memang akan berbeda, termasuk rentang waktu yang dibutuhkan untuk memperlihatkan hasilnya.
Ini juga terjadi pada Liverpool yang harus membuktikan diri bahwa mereka akan pantas untuk menjadi juara baik di Premier League dan Liga Champions. Hanya, manakah yang akan lebih dulu diambil?
Nyatanya, Liverpool memilih untuk mengambil Liga Champions. Meski saya tidak tahu apa alasannya, namun menurut saya pilihan itu adalah tepat.
Karena ketika Liverpool bisa menaklukkan Eropa, maka secara mentalitas mereka sudah sangat setara dengan Barcelona, Real Madrid, Bayern Munchen, apalagi Manchester City. Hanya, kita juga perlu mengingat tentang adanya keberuntungan di dalam setiap proses.
Sama halnya jika Liverpool mengambil hadiah sepeda motor, lalu ternyata justru membuatnya harus mengalami kecelakaan dan sebagainya. Atau juga ketika dia memilih jaminan berkuliah sampai lulus, namun ternyata membuatnya menjadi pemuda manja.
Kemungkinan-kemungkinan itu pasti ada. Ada yang beruntung, pasti ada juga yang ketiban sial. Hal ini juga berlaku di sepak bola.
Musim lalu, boleh kita menganggap Liverpool sial di Premier League. Namun di musim ini, mereka sudah menuai hasilnya. Karena, ternyata mereka menggunakan apa yang sudah mereka raih untuk meraih apa yang belum mereka raih.
Memiliki jaminan berkuliah sampai lulus saya ibaratkan sebagai proses sebuah klub Eropa menjadi calon petarung gelar di pentas Eropa dengan cara memupuk diri. Sama halnya dengan fresh graduated yang harus bertarung di lapangan pekerjaan setelah berhasil membangun intelektualitasnya.
Itulah yang membuat klub-klub hebat di kompetisi domestiknya akan diharapkan dapat menjadi perebut gelar juara. Ada yang berhasil, ada yang belum berhasil.
Manchester City memang klub hebat di Premier League dalam sedekade terakhir. Namun nyatanya ketika berbicara tentang Liga Champions mereka masih dinomorsekiankan.
Uniknya, situasi ini berbanding terbalik dengan Liverpool yang malah sudah dua kali secara beruntun bertarung di final Liga Champions. Tentu, mereka juga sudah berupaya untuk membangun diri di Premier League, namun rupanya mereka lebih ingin mengasah kepercayaan dirinya (mentalitas) dibandingkan rentetan gelar domestiknya (intelektualitas).
Memang intelektualitas tinggi akan membangun kepercayaan diri. Namun, ketika kepercayaan diri lebih tinggi dibandingkan intelektualitasnya, maka ada peluang bagi si pemilik kepercayaan diri untuk merengkuh kesuksesan dengan cara memperluas jaringan sosial.
Apakah ini kemudian berlaku di sepak bola? Bagi saya sih pola ini juga dapat berlaku di sepak bola. Terbukti, dengan pernahnya Liverpool mencapai final Liga Champions, maka mereka bisa merayu banyak pemain berkualitas untuk merapat.
Allison Becker salah satu bukti betapa Jurgen Klopp dapat meyakinkan si kiper Brazil untuk memilih Liverpool daripada klub lain. Padahal jika berbicara tentang kemapanan di kompetisi domestik, Allison seharusnya merapat ke Juventus, Manchester City, hingga PSG.
Namun salah satu pertimbangan yang spesial adalah final Liga Champions 2017/18. Meski The Kops harus kalah dari Real Madrid, jejak itu tetap istimewa bagi pemain Liverpool dan mereka punya gairah untuk kembali ke sana.
Inilah yang nantinya mengarahkan saya ke judul artikel ini. Karena inilah menariknya Liverpool dibandingkan klub-klub lain, yaitu keputusan mereka dalam memilih hadiah.
Jika Liverpool adalah saya, maka saya akan memilih dibiayai kuliah sampai lulus daripada sepeda motor. Karena, selain saya saat itu belum terlalu fasih membawa motor, saya juga merasa bahwa intelektualitas lebih penting daripada mentalitas (kepercayaan diri).
Namun, bukan berarti Liverpool hanya memilih satu hadiah tersebut. Liverpool juga pernah memilih hadiah yang berbeda ketika di momen ulangtahun sebelumnya.
Terbukti, mereka pernah sangat ingin untuk juara Premier League. Bahkan, nyaris tinggal sedikit lagi. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka mencoba mencari alternatif.
Akhirnya tibalah di dua musim terakhir, di mana Liverpool mulai menyadari bahwa potensi terbaik untuk membangun klub agar tetap kompetitif, yaitu dengan mentalitas.
Mental seorang jawara Liga Champions pasti berbeda dengan jawara Premier League. Memang secara intensitas daya tahan, jawara Premier League akan unggul. Namun, bukankah kita juga tahu bahwa ada tiket keberuntungan di balik juaranya klub-klub tersebut?
Inilah yang kemudian terus diasah oleh Liverpool sampai kemudian berhasil menjadi jawara Premier League musim ini. Memang, mereka harus mengorbankan tiket untuk mempertahankan Liga Champions.
Namun kali ini mereka berada di momen yang tepat untuk berpesta di rumah sendiri. Pesta ini yang saya anggap adalah pestanya semua orang.
Saya dan kalian tidak perlu harus menjadi Liverpool mania untuk turut berpesta di Anfield, karena Liverpool adalah cerminan dari pemuda yang mendapatkan pilihan hadiah. Lalu dia mencoba membuktikan bahwa pilihannya tepat dengan proses jatuh-bangun yang siapa pun nyaris pernah menjadikannya sebagai meme.
Kini, kita tahu bahwa untuk mencapai kesuksesan tidak hanya dengan menekuri proses yang lama, tetapi juga menentukan pilihan-pilihan yang tepat. Liverpool memang harus bersabar dengan pembangunan dinasti Klopp yang nyaris tak lepas dari cemoohan.
Namun, saya juga melihat bahwa mereka memiliki opsi-opsi yang tepat dan terkadang membuat kita berpikir bahwa mungkin ini adalah cerminan klub oportunis dan realistis yang jarang merugikan klub lain. Hal ini dapat dilihat dari mereka yang menurunkan tim reserve saat Piala Liga, dan berani "melepas" Liga Champions untuk fokus ke Premier League musim ini.
Jangan lupa pula dengan musim lalu, bahwa mereka juga terlihat seperti telah mengetahui jika Premier League akan kembali mendarat ke Etihad Stadium, alih-alih Anfield Stadium. Itulah yang membuat mereka berhasil menggebuk Barcelona di semifinal leg kedua dan lolos ke final.
Seharusnya, apa yang dilakukan klub atau tim sepak bola itu seperti Liverpool. Realistis dan oportunis. Karena, tidak ada yang sangat sempurna dalam sebuah kompetisi. Pasti ada yang sangat sulit diraih dan ada yang sangat mungkin untuk diraih.
Jika sudah seperti itu, maka saya harap tidak hanya klub-klub Eropa yang belajar dari buka puasanya Liverpool setelah berpuasa selama 30 tahun. Tetapi juga sepak bola Indonesia yang harus belajar dari keberhasilan Liverpool tersebut.
Jangan sampai setiap pelatih yang gagal menembus target dari manajemen langsung dipecat. Berilah kesempatan, dukungan, dan kepercayaan tinggi. Tanpa itu, saya yakin Jurgen Klopp juga pasti tak akan lama di Anfield.
Jadi, selamat merayakan juaranya Liverpool, bolamania! Semoga kita semakin menghargai proses dan cerdas dalam menentukan pilihan, ya!
Malang, 27 Juni 2020
Deddy Husein S.
Baca juga:Â Setelah 30 Tahun, Liverpool Akhiri Perundungan dan Mulai Era Baru (Hadi Santoso)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H