Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Tidak Banyak yang Sanggup Menolak Jabatan, Mengapa?

22 Januari 2020   12:43 Diperbarui: 22 Januari 2020   12:50 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi jabatan. Sumber gambar: Tribunnews.com

Pertanyaan itu sebenarnya menggelayut di pikiran penulis sudah sejak lama. Sekitar dua-tiga tahun lalu. Di masa-masa itu, penulis mulai terlibat dalam "bursa transfer jabatan". Terlihat seru, namun bagi orang lain. Tidak bagi penulis.

Memang, ini bukan ranah pekerjaan. Namun, jabatan selalu ada di setiap sendi kehidupan. Karena manusia butuh status, baik untuk sosial maupun individual. Lengkapnya bisa dipelajari di Sosiologi maupun Filsafat, bahkan juga di Antropologi.

Di tempat penulis juga demikian. Perlu ada jabatan untuk berada di sana, salah satunya adalah menjadi pimpinan. Apapun. Dari lingkup kecil hingga lingkup yang lebih besar.

Namun, yang menjadi sisi menariknya, tidak banyak yang berada di sana -menduduki kursi jabatan- karena mau. Tapi, karena siap. Buka orang itu juga yang siap, tapi orang-orang disekitarnya yang menganggap orang itu siap.

Dari pengalaman itulah, penulis berpikir bahwa sebenarnya yang membuat orang-orang berada di bursa transfer jabatan itu belum tentu karena keinginan pribadi. Bisa saja karena dorongan orang-orang di sekitar.

Hanya, yang menjadi tantangan selanjutnya adalah ketika berada di depan publik. Mereka yang sudah terlanjur kecebur di bursa transfer jabatan perlu terlihat pantas berada di sana. Lalu, adakah yang menolak?

Sedikit.

Jarang sekali ada orang-orang yang berani menolak dukungan orang-orang disekitarnya yang pada saat itu (pasti) sedang memasang tampang-tampang positif. Padahal di balik itu terdapat cukup banyak kepentingan. Entah individu maupun yang biasanya disebut kepentingan bersama.

Jabatan terus bergerak seperti catur yang dimainkan dan melibatkan banyak orang didalamnya. Sumber gambar: Berau.prokal.co
Jabatan terus bergerak seperti catur yang dimainkan dan melibatkan banyak orang didalamnya. Sumber gambar: Berau.prokal.co
Penulis pun salah satu orang yang tidak bisa menolak saat itu. Bahkan, penulis menemukan fakta bahwa menjadi pemimpin itu seperti menampung kesialan. Semua hal yang tidak beres itu adalah kesalahan pemimpin. Bagaimana dengan yang lain?

Hanya orang-orang dalam yang akan membantu membereskan, namun orang-orang luar tidak mau tahu soal itu. Itulah yang sering terjadi di lingkup apapun. Kebanyakan dari kita susah untuk menerima kesalahan pemimpin karena pemimpin harus almost perfect.

Padahal mereka juga manusia. Namun, karena embel-embel amanah, mereka harus serba siap. Termasuk siap untuk disalahkan.

Lalu, mengapa hal itu sering terjadi? Mengapa pula mereka yang tidak ingin jadi pemimpin pada akhirnya tetap terlibat dalam bursa transfer jabatan?

Pertama, karena waktu. Waktu yang terus berjalan, akan membuat setiap individu akan datang dan pergi, naik dan turun. Begitu pula pada pemimpin. Pada masanya, mereka akan turun tahta. Sehingga, membutuhkan pemimpin yang baru.

Ada masanya para pemimpin butuh pengganti, guna menemukan cara baru untuk membawa perubahan yang sesuai harapan orang banyak. Sumber gambar: Inilahbanten.co.id
Ada masanya para pemimpin butuh pengganti, guna menemukan cara baru untuk membawa perubahan yang sesuai harapan orang banyak. Sumber gambar: Inilahbanten.co.id
Di era yang serba republik ini, pemimpin pada akhirnya harus bergilir. Siap dan tidak siap. Harus seperti itu.

Itulah sebabnya orang-orang yang berada di lingkup modal sosial akan terus bergerak untuk mencari siapa yang akan dapat menjadi pemimpin baru. Dialah yang harus menggantikan sang pemimpin lama. Dia yang harus datang dan naik.

Kedua, karena siklus status. Bahkan, di lingkup penganut feodalisme pun, siklus status tetap ada. Meski, sulit untuk menyeberang ke siklus status yang berbeda -lintas kasta.

Contoh, seorang anak pedagang pada akhirnya menjadi pedagang seperti orangtuanya. Peralihan ini tetap bisa disebut siklus status. Meski terlihat sederhana dan tidak menyeberang.

Ilustrasi serah-terima jabatan. Sumber gambar: Kahaba.net
Ilustrasi serah-terima jabatan. Sumber gambar: Kahaba.net
Hal ini juga berlaku di lingkup profesi maupun organisasi yang sederhana. Misalnya, dari anggota divisi humas, kemudian naik menjadi kepala divisi humas di periode selanjutnya, dan naik lagi menjadi ketua umum.

Atau ketika awalnya menjadi anggota divisi humas, lalu di periode selanjutnya menjadi anggota di divisi yang berbeda. Itu juga dapat disebut siklus status, meski terlihat sejajar.

Inti dari siklus status adalah adanya perubahan tanggung jawab dan apa yang harus dipelajari. Ketika menjadi anggota saja, belum tentu tanggungjawabnya sebesar kepalanya. Begitu juga ketika pindah divisi, maka yang dipelajari pasti akan berbeda.

Itulah manfaat utama dari keberadaan siklus status. Baik yang secara horisontal maupun vertikal. Mereka yang terlibat dalam siklus tersebut akan tergembleng dengan pengalaman-pengalaman tersebut sebelum pada akhirnya berada di puncak.

Alasan ketiga atau yang terakhir adalah pengalaman. Meski pengetahuan itu penting, namun pengalaman biasanya akan diutamakan dalam menggodok bursa transfer yang kian memanas. Disinilah orang-orang akan sulit mengelak untuk menerima jabatan.

Pengetahuan susah diukur. Karena setiap hari orang-orang yang berpengetahuan akan dapat bersikap berbeda dibandingkan orang yang berpengalaman. Mereka akan sulit ngeles, karena semua orang sudah tahu apa rekam jejaknya.

Berbeda dengan yang berpengetahuan, mereka kebanyakan hanya tahu namun belum tentu pernah melakukannya. Sedangkan orang yang berpengalaman, biasanya tidak hanya tahu tapi juga pernah melakukan/mengalaminya.

Inilah patokan yang paling mendasar dan masih ampuh dalam penentuan jabatan. Khususnya bagi lingkup-lingkup konservatif. Mereka akan menjauhi hal-hal yang bersifat out of the box dan sulit diprediksi akan jadi apa nantinya ketika jabatan itu dilimpahkan ke orang yang hanya bermodal pengetahuan.

Dari sini kita dapat digiring pada satu fakta yang selalu berkaitan dengan jabatan. Yaitu proses. Terlepas dari singkat dan lamanya proses itu, setiap orang yang berada di lingkup bursa transfer jabatan pasti akan mengalaminya.

Ilustrasi proses dalam karir/jabatan. Sumber gambar: Kompas.com
Ilustrasi proses dalam karir/jabatan. Sumber gambar: Kompas.com
Mereka yang memiliki jabatan karena jaringan pertemanan juga harus melalui proses dalam mencari relasi yang tepat. Mereka yang memiliki jabatan karena uang/parsel, juga melalui proses untuk mengumpulkan nominal sekian rupiah. Hanya, cara-cara itu seringkali dianggap salah meski masih banyak yang melakukan.

Jadi, apakah masih ada yang bisa menolak jabatan?

Tidak sedikit jabatan yang diperoleh seseorang adalah karena pemilihan individu, kelompok, dan masyarakat. Sumber gambar: Floreseditorial.com
Tidak sedikit jabatan yang diperoleh seseorang adalah karena pemilihan individu, kelompok, dan masyarakat. Sumber gambar: Floreseditorial.com
Satu-satunya cara untuk menolak jabatan adalah berhenti berproses. Ketika berhenti berproses maka tiga alasan yang diungkap sebelumnya itu juga tidak akan berjalan, dan pasti semua orang akan sulit untuk memberikan jabatan kepada orang tersebut.

Sedangkan pada hakikatnya kita sulit untuk menghindari proses. Jika kita bisa menghindarinya, mengapa harus bangun dari tidur? Mengapa juga harus bercita-cita punya tubuh yang lebih tinggi dari anak SD, jika pada akhirnya tidak melakukan apa-apa?

Satu pertanyaan yang paling krusial saat ada orang yang menolak jabatan adalah mengapa harus bertahan "hidup"?

Malang, 21-22 Januari 2020

Deddy Husein S.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun