Pertanyaan itu sebenarnya menggelayut di pikiran penulis sudah sejak lama. Sekitar dua-tiga tahun lalu. Di masa-masa itu, penulis mulai terlibat dalam "bursa transfer jabatan". Terlihat seru, namun bagi orang lain. Tidak bagi penulis.
Memang, ini bukan ranah pekerjaan. Namun, jabatan selalu ada di setiap sendi kehidupan. Karena manusia butuh status, baik untuk sosial maupun individual. Lengkapnya bisa dipelajari di Sosiologi maupun Filsafat, bahkan juga di Antropologi.
Di tempat penulis juga demikian. Perlu ada jabatan untuk berada di sana, salah satunya adalah menjadi pimpinan. Apapun. Dari lingkup kecil hingga lingkup yang lebih besar.
Namun, yang menjadi sisi menariknya, tidak banyak yang berada di sana -menduduki kursi jabatan- karena mau. Tapi, karena siap. Buka orang itu juga yang siap, tapi orang-orang disekitarnya yang menganggap orang itu siap.
Dari pengalaman itulah, penulis berpikir bahwa sebenarnya yang membuat orang-orang berada di bursa transfer jabatan itu belum tentu karena keinginan pribadi. Bisa saja karena dorongan orang-orang di sekitar.
Hanya, yang menjadi tantangan selanjutnya adalah ketika berada di depan publik. Mereka yang sudah terlanjur kecebur di bursa transfer jabatan perlu terlihat pantas berada di sana. Lalu, adakah yang menolak?
Sedikit.
Jarang sekali ada orang-orang yang berani menolak dukungan orang-orang disekitarnya yang pada saat itu (pasti) sedang memasang tampang-tampang positif. Padahal di balik itu terdapat cukup banyak kepentingan. Entah individu maupun yang biasanya disebut kepentingan bersama.
Hanya orang-orang dalam yang akan membantu membereskan, namun orang-orang luar tidak mau tahu soal itu. Itulah yang sering terjadi di lingkup apapun. Kebanyakan dari kita susah untuk menerima kesalahan pemimpin karena pemimpin harus almost perfect.
Padahal mereka juga manusia. Namun, karena embel-embel amanah, mereka harus serba siap. Termasuk siap untuk disalahkan.
Lalu, mengapa hal itu sering terjadi? Mengapa pula mereka yang tidak ingin jadi pemimpin pada akhirnya tetap terlibat dalam bursa transfer jabatan?
Pertama, karena waktu. Waktu yang terus berjalan, akan membuat setiap individu akan datang dan pergi, naik dan turun. Begitu pula pada pemimpin. Pada masanya, mereka akan turun tahta. Sehingga, membutuhkan pemimpin yang baru.
Itulah sebabnya orang-orang yang berada di lingkup modal sosial akan terus bergerak untuk mencari siapa yang akan dapat menjadi pemimpin baru. Dialah yang harus menggantikan sang pemimpin lama. Dia yang harus datang dan naik.
Kedua, karena siklus status. Bahkan, di lingkup penganut feodalisme pun, siklus status tetap ada. Meski, sulit untuk menyeberang ke siklus status yang berbeda -lintas kasta.
Contoh, seorang anak pedagang pada akhirnya menjadi pedagang seperti orangtuanya. Peralihan ini tetap bisa disebut siklus status. Meski terlihat sederhana dan tidak menyeberang.
Atau ketika awalnya menjadi anggota divisi humas, lalu di periode selanjutnya menjadi anggota di divisi yang berbeda. Itu juga dapat disebut siklus status, meski terlihat sejajar.
Inti dari siklus status adalah adanya perubahan tanggung jawab dan apa yang harus dipelajari. Ketika menjadi anggota saja, belum tentu tanggungjawabnya sebesar kepalanya. Begitu juga ketika pindah divisi, maka yang dipelajari pasti akan berbeda.
Itulah manfaat utama dari keberadaan siklus status. Baik yang secara horisontal maupun vertikal. Mereka yang terlibat dalam siklus tersebut akan tergembleng dengan pengalaman-pengalaman tersebut sebelum pada akhirnya berada di puncak.
Alasan ketiga atau yang terakhir adalah pengalaman. Meski pengetahuan itu penting, namun pengalaman biasanya akan diutamakan dalam menggodok bursa transfer yang kian memanas. Disinilah orang-orang akan sulit mengelak untuk menerima jabatan.
Pengetahuan susah diukur. Karena setiap hari orang-orang yang berpengetahuan akan dapat bersikap berbeda dibandingkan orang yang berpengalaman. Mereka akan sulit ngeles, karena semua orang sudah tahu apa rekam jejaknya.
Berbeda dengan yang berpengetahuan, mereka kebanyakan hanya tahu namun belum tentu pernah melakukannya. Sedangkan orang yang berpengalaman, biasanya tidak hanya tahu tapi juga pernah melakukan/mengalaminya.
Inilah patokan yang paling mendasar dan masih ampuh dalam penentuan jabatan. Khususnya bagi lingkup-lingkup konservatif. Mereka akan menjauhi hal-hal yang bersifat out of the box dan sulit diprediksi akan jadi apa nantinya ketika jabatan itu dilimpahkan ke orang yang hanya bermodal pengetahuan.
Dari sini kita dapat digiring pada satu fakta yang selalu berkaitan dengan jabatan. Yaitu proses. Terlepas dari singkat dan lamanya proses itu, setiap orang yang berada di lingkup bursa transfer jabatan pasti akan mengalaminya.
Jadi, apakah masih ada yang bisa menolak jabatan?
Sedangkan pada hakikatnya kita sulit untuk menghindari proses. Jika kita bisa menghindarinya, mengapa harus bangun dari tidur? Mengapa juga harus bercita-cita punya tubuh yang lebih tinggi dari anak SD, jika pada akhirnya tidak melakukan apa-apa?
Satu pertanyaan yang paling krusial saat ada orang yang menolak jabatan adalah mengapa harus bertahan "hidup"?
Malang, 21-22 Januari 2020
Deddy Husein S.