Tidak ada kabar kontroversi yang terlewatkan jika itu berkaitan dengan Indonesia, dan itu terjadi juga pada Agnez Mo. Aktris atau yang sekarang lebih banyak dikenal sebagai penyanyi itu dulunya dikenal bernama Agnes Monica.
Entah, apakah itu berkaitan dengan brand strategy di dunia entertainment atau bukan, yang pasti dengan nama yang berbeda telah membuat Agnez Mo kini lebih banyak diperhitungkan sebagai public figure.
Terlebih lagi jika kita tahu bahwa dirinya berhasil mengeluarkan karya-karya yang dapat disebut berstandar internasional. Inilah yang membuat apa yang dilakukan Agnez Mo mudah menarik perhatian masyarakat, baik internasional -di Amerika- dan di Indonesia.
Termasuk apa yang sedang hangat diperbincangkan dalam beberapa hari ini. Secara pribadi, apa yang disampaikan Agnez Mo bukan suatu hal yang mengejutkan. Karena, memang seperti itulah Indonesia. Negara yang mayoritas muslim dan kemudian semakin ke sini semakin didekat-dekatkan dengan kultur Arab.
Hal ini tak lepas dari unsur suku dan ras (selain agama) yang tidak sedikit berkaitan langsung dengan Arab. Entah melalui garis keturunan nenek moyang ataupun memang secara langsung berketurunan Arab.
Sebenarnya realitas ini juga sama dengan apa yang terjadi di masyarakat pecinan atau yang berketurunan China. Bedanya, mereka tidak menjadi mayoritas, entah dalam hal kultur dan agama.
Namun, dalam strata sosial, mereka adalah masyarakat yang patut diperhitungkan kualitasnya, sama seperti yang berketurunan Arab dan lainnya (bule). Di sinilah yang kemudian seringkali menjadi polemik.
Lalu, kemana masyarakat yang dapat dianggap "aman"?
Tidak ada. Karena, ini Indonesia, yang mana masyarakatnya tidak hanya bersentris pada satu suku ataupun ras. Sehingga, seharusnya kita tidak bisa dengan mudah kebakaran jenggot jika ada orang yang mengatakan bahwa dirinya memiliki keturunan dari mana-mana (dan hanya numpang lahir).
Toh, (contohnya) orang yang bisa berbahasa Jawa dewasa ini juga tidak sepenuhnya berketurunan Jawa ataupun lahir di Jawa.
Para perantau yang lama tinggal di Jawa juga fasih berbahasa Jawa. Begitu pula jika kemudian mengenai soal nasionalisme. Mereka yang bahkan bukan orang Indonesia (dulu WNA) seperti Cristian Gonzales (pesepakbola) juga dapat membela timnas Indonesia yang mana tidak semua pemain asli Indonesia (tidak berketurunan asing) mendapatkan kesempatan itu.
Inilah yang seringkali menjadi kebobrokan masyarakat dewasa ini. Masyarakat terlalu mudah terbuai dengan apa yang diucapkan dan yang ditunjukkan. Masyarakat terlalu mudah terjebak pada simbol-simbol. Masyarakat juga tidak mampu menerima dulu informasi tersebut dan menelaahnya sebelum ditanggapi.
Inilah yang membuat masyarakat selalu mudah heboh dan yang dihebohkan adalah sesuatu yang seharusnya tidak perlu dipermasalahkan terlalu berlebihan. Memang, apa yang diungkapkan Agnez Mo cukup kontroversial.
Namun, kita tidak bisa segera mengeluarkan penilaian negatif terhadapnya jika kita masih belum mampu menelaah informasi tersebut dengan baik.
Itulah poin krusialnya, kegagapan dalam menerima informasi. Tidak ada proses berpikir jernih dan ini cukup memalukan bagi negara yang berupaya untuk maju, namun masyarakatnya masih kesulitan untuk mengelola informasi dengan bijak.
Jika hal ini terus terjadi, tidak menutup kemungkinan bahwa negeri ini terus berkutat pada permasalahan-permasalahan yang tidak terlalu penting. Mengapa?
Kita dapat ambil contoh pada dua sosok yang juga melakukan pindah kewarganegaraan. Yaitu, Anggun C. Sasmi dan B.J. Habibie. Keduanya secara administratif adalah orang Prancis dan Jerman. Namun, apakah keduanya mampu melunturkan rasa cintanya dengan Indonesia?
Tidak. Buktinya, Anggun C. Sasmi masih eksis di jagad hiburan Indonesia. Begitu pula Alm. B.J. Habibie. Beliau bahkan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata. Artinya, rasa cinta dan nasionalisme terhadap negara itu sepenuhnya menjadi pertanggungjawaban individu, bukan masyarakat.
Kita hanya bisa merespon dan tidak suka terhadap apa yang dikatakan Agnez Mo dan keputusan orang-orang lain yang pindah kewarganegaraan, namun kita tidak pernah berhak untuk menilai bahwa orang tersebut tidak cinta lagi dengan Indonesia -jika seandainya ada yang pindah kewarganegaraan. Karena, kita tidak pernah tahu apa yang ada di pikirannya, apalagi yang terjadi di kehidupannya selama ini.
Dari sini, penulis menemukan dua hal yang dapat menjadi sinyal evaluasi kita bersama. Pertama, mengurangi "keluwesan" lidah dan jempol kita dalam menilai orang lain dengan cepat dan berduyun-duyun. Lalukan hal yang lebih penting. Misalnya, gotong-royong membersihkan lingkungan desa masing-masing. Itu jauh lebih bermanfaat.
Kedua, kita harus mampu mengontrol diri dalam merespon fenomena sosial. Kita harus tahu kapan untuk ikut campur dan kapan tidak perlu melakukannya. Kita juga harus tahu sebagaimana tepatnya kita menilai apa yang dilakukan orang lain, tanpa harus menyakiti perasaannya.
Inilah yang perlu kita lakukan sebagai masyarakat Indonesia yang seharusnya lebih mengutamakan rasa persaudaraan meski pada akhirnya tidak selamanya ikatan persaudaraan tersebut harus harmonis. Toh, dengan saudara kandung sendiri saja kadangkala terjadi perbedaan pendapat. Apalagi dengan orang-orang yang tidak sepenuhnya kita kenal. Semoga, masyarakat (baca: kita) dapat berjalan ke arah yang benar dalam menghadapi banjirnya informasi seperti saat ini.
Malang, 27-28 November 2019
Deddy Husein S.
Berita terkait:
Kompas.com 1, Kompas.com 2, Kompas.com 3, Kompas.com 4.