Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Mentalitas yang Tergerus Karena Media Sosial

9 Oktober 2019   11:30 Diperbarui: 9 Oktober 2019   17:26 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mental illness. (News.Yahoo.com)

Sebenarnya bukan hanya media sosial yang membuat mental kita seringkali terbentur-bentur. Namun, dengan perkembangan teknologi yang sekaligus menghadirkan segala macam platform media sosial, membuat lingkup interaksi kita semakin beragam dan tentunya semakin cepat. Kecepatan itulah yang membuat kita berada dalam dilematis. Di satu sisi menyukainya, di sisi lain kita juga keteteran.

Salah satu bentuk kecepatan di media sosial yang sering kita alami adalah kemudahan kita dalam mengakses informasi terhadap siapa saja. Nahasnya, mata kita seringkali menggiring kita untuk berasumsi. 

Berdasarkan unggahan-unggahan teman ataupun orang yang tak kita kenal di media sosial, kita sering berasumsi jika situasi orang itu sesuai dengan apa yang terunggah.

Hal ini pada akhirnya membuat kita berada dalam tekanan. Berdasarkan unggahan-unggahan orang lain kita menilai kehidupannya, dan parahnya kita juga membandingkan kehidupan mereka dengan diri kita masing-masing -mereka seolah lebih baik. Inilah yang sebenarnya membuat mental kita sering terganggu.

Padahal, tanggungan kita di dunia nyata belum selesai. Namun, kita sudah berupaya untuk menantang kehidupan baru yang terlihat lebih menarik dan itulah yang ditawarkan oleh media sosial. 

Dari situlah kesehatan mental kita dipertaruhkan. Belum lagi, jika kita tidak mampu mengelola akun media sosial kita dengan bijak. Maka, hasilnya juga dapat menjadi bumerang negatif kepada kita.

We always need social media, now. (Stock.adobe.com)
We always need social media, now. (Stock.adobe.com)
Niatnya ingin turut bersenang-senang seperti orang lain. Namun, karena tidak ada yang dapat mewakili rasa senang-senang tersebut, akhirnya ruang media sosial menjadi wadah menampung curahan kita. 

Sialnya, curahan-curahan hati itu pada akhirnya membuat kita malu dan juga membuat orang lain merasa terganggu. Di sinilah pesan agar menggunakan media sosial (harus) dengan kebijaksanaan digalang.

Namun, bagai dua mata pisau yang menyatu, kita tidak bisa menyalahkan media sosial. Begitu pula menyalahkan diri kita sendiri. Karena, salah satu faktor lain yang membuat kesehatan mental kita semakin menurun adalah self blaming.

Kebanyakan orang yang merasa gagal untuk menjadi orang yang bermanfaat- akan menyalahkan dirinya dengan cara melakukan penolakan terhadap apa yang terjadi di lingkungan sekitarnya. 

Semakin dalam seseorang menyalahkan dirinya sendiri, maka semakin terpuruk mentalnya. Apalagi jika tidak ada jalan keluar, baik itu dari inisiasinya sendiri maupun dari pertolongan orang lain, maka akan sulit untuk segera bangkit.

Sebenarnya, cukup banyak orang yang telah menjadi motivator yang kemudian juga mampu membangkitkan semangat dan mental kita. Namun, yang menjadi persoalan adalah kita seringkali tidak melihat upaya yang nyata alias contoh. Karena, dengan adanya media sosial dan semakin tahunya kita terhadap "kebohongan" di balik unggahan-unggahan di media sosial, membuat kita terkadang juga tidak mudah memercayai tips dari para motivator -tidak bermaksud menjatuhkan peran motivator.

Ujung-ujungnya memang harus kita yang menyembuhkan mental kita (self curing) sebelum terlambat. Karena, di negara yang masih menganggap sakit jiwa adalah aib besar, maka kita juga harus berhati-hati dalam mengungkapkan keluhan terhadap sakit mental. Sekecil apapun bibitnya, kita harus dapat membungkusnya dengan baik.

Itulah yang menjadi problem besar. Karena, kita yang terkadang tidak mampu lekas move on (dari permasalahan) harus menghadapi upaya untuk berbohong -menutupi kenyataan sedang sakit mental. Sedangkan, kebohongan seringkali akan terkuak ketika waktu terus berjalan. Sehingga, ketika kita sendiri tidak mampu menyembuhkan mental kita, maka itu akan menjadi bom waktu.

Lalu, apakah ada cara yang bagus untuk menyembuhkan mental yang bermasalah?

Ilustrasi introspeksi diri. (Kumparan.com)
Ilustrasi introspeksi diri. (Kumparan.com)
Cara dasar yang harus pertama kali dilakukan adalah kita harus intropeksi diri terlebih dahulu. Yaitu, mengenali siapa kita dan seperti apa kita ketika harus berkaca dengan orang lain. Karena dua hal ini penting untuk menentukan arah saat mencari obatnya.

Ketika kita tahu siapa kita (kelebihan dan kekurangan yang dimiliki) dan seperti apa kita (orang lain yang mirip secara karakter), maka akan ada kisi-kisi yang dapat kita ambil dan dicoba. Karena, kita hidup seringkali menggunakan patokan melihat, meniru, dan menguji*. Maka di dalam proses membangkitkan lagi mentalitas, kita juga perlu cara yang sama.

Kita perlu melihat diri kita seperti orang itu, lalu mencari apa yang biasanya dilakukan oleh orang tersebut untuk mencapai suatu hal yang hebat. Dari situ kita dapat melakukannya pula. 

Namun, tetap dengan catatan bahwa kita sudah mengenali diri sendiri. Artinya, jika kita merasa diri sebagai penulis, pemusik, penari balet, pelukis, dan lainnya, maka bangkitlah sebagai sosok tersebut. Walau tak bisa dipungkiri jika sosok yang dicontoh adalah seorang pesepakbola ataupun pembalap motor, misalnya.

Presscon biasanya menarik untuk ditonton bagi pengamat kepribadian. (Motopaedia.com)
Presscon biasanya menarik untuk ditonton bagi pengamat kepribadian. (Motopaedia.com)
Cara untuk mengenali sosok-sosok yang mirip kita, bisa dengan cara mengenalinya secara personality, maupun dengan cara mencari informasi di berbagai media (massa dan medsos). Toh, kebanyakan figur-figur yang sudah dikenal banyak orang (public figure) juga memiliki akun medsos, maka tidak akan kesulitan untuk mencari tahu tentangnya.

Jika cara ini dilakukan, maka catatan penting yang harus diingat adalah jangan melihat karakter seseorang berdasarkan konten yang diunggah saja, melainkan melihat juga bagaimana orang tersebut mengunggah kontennya. Apakah simpel, beralur, acak, dan sejenisnya. Dari sini, kemudian kita cross check dengan kepribadian kita, apakah pola hidup kita seperti gambaran tersebut -pada orang itu.

Atau dapat pula dengan cara melihat ekspresinya ketika berbicara (press conference) dan juga bagaimana orang itu berbicara (mengungkapkan pemikirannya). Apakah output dari karakternya mirip dengan kita atau tidak. 

Walau terkesan sulit, tapi cara ini bisa dilakukan jika ingin belajar mengenali orang lain tanpa bantuan psikolog, dan tentunya harus dilatih secara terus-menerus agar kita semakin mengetahui orang-orang yang sama dengan kita.

Jika proses melihat (mengenali orang yang sama) dan meniru (mengikuti pola hidup yang dimiliki orang yang sama) sudah selesai, maka saatnya kita menguji apa yang sudah dilakukan. Pada tahap ini, kita sudah berada di langkah bagaimana caranya untuk menyembuhkan mental.

Ketika sudah berada di tahap bertindak (dengan modal meniru orang lain), biasanya kita akan mendapatkan feedback dari orang di sekitar kita. Dari berbagai feedback itu, kita perlu mengetahui apa saja celah (kelemahan) dan kelebihan kita. 

Namun, pada proses ini terkadang sulit untuk mencapai hasil yang ideal, yaitu keberanian kita dalam mengakui feedback yang diberikan orang lain. Faktor selfish, obsessive, dan lainnya bisa mempengaruhi daya tangkap kita terhadap feedback yang diberikan orang lain.

Sulit, tapi siapa tahu dapat membuat hidup kita sedikit tenang. (Thetimes.co.uk)
Sulit, tapi siapa tahu dapat membuat hidup kita sedikit tenang. (Thetimes.co.uk)
Termasuk dalam hal berinteraksi di media sosial. Jika memang pada akhirnya kita merasa tertekan dengan lingkup online-an tersebut, maka cara paling terakhir yang harus dilakukan adalah menghapus akun media sosial kita. Memang terasa berat. Karena, kita hidup ditakdirkan sebagai zoo politicon, maka menghindari pintu interaksi itu sulit -termasuk di media sosial.

Namun, dengan cara ini, setidaknya tingkat tekanan pada diri kita sedikit berkurang. Kita tidak lagi berpikir soal apa kabar mereka di media sosial, melainkan kembali fokus dengan apa yang harus kita lakukan pasca bangun tidur. 

Salah satu faktor yang membuat Indonesia dijejali orang-orang yang sakit mental adalah karena kita terlanjur terbiasa ikut campur dengan kehidupan orang lain. Bahkan sampai ke ranah privasi masing-masing. Inilah yang membuat kita sering tidak nyaman, karena kita sendiri juga saling kepo dan kemudian memunculkan sengketa-sengketa.

Seandainya rasa kekepoan kita sedikit tertahan atau setidaknya tidak melahirkan tindakan negatif, seperti menularkan informasi yang didapat dengan bumbu-bumbu provokasi. Maka, situasi buruk tidak akan terjadi, baik bagi orang yang melihat unggahan di media sosial maupun bagi yang mengunggahnya.

Memang, cara ini (menutup pintu media sosial) sangat berat untuk dilakukan. Namun, dengan cara ini kita seolah akan reborn ketika kesehatan mental kita sudah pulih. 

Karena, inti dari reborn itu adalah (berupaya) melupakan apa yang sudah terjadi dan berupaya membangun pondasi baru yang lebih baik -seperti bayi yang belum tahu apa-apa dan ingin menjadi siapa saja.

Namun, berhubung ini masih dalam skala konsep, maka tidak ada jaminan untuk memperoleh hasil yang terbaik jika tidak diujicoba, dan tentunya harus disesuaikan dengan karakter kita masing-masing. 

Bagi penulis sendiri yang sudah pernah melakukannya (menghapus salah satu akun medsos dan juga jarang online), cukup berhasil dalam upaya membangun kembali semangat untuk hidup. Karena, masa depan (mungkin) masih panjang, apalagi Indonesia di tahun 2021 akan menggelar balapan di Mandalika, NTB. Siapa tahu, kita bisa menonton bersama aksi-aksi Marc Marquez, Fabio Quartararo, dan lain-lain secara langsung. Hehehe....

Malang, 8-9 Oktober 2019
Deddy Husein S.

*ket: mengadaptasi dari pola Play Stage, Game Stage, Generalized Other milik George Herbert Mead (lihat di sini).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun