Atau dapat pula dengan cara melihat ekspresinya ketika berbicara (press conference) dan juga bagaimana orang itu berbicara (mengungkapkan pemikirannya). Apakah output dari karakternya mirip dengan kita atau tidak.Â
Walau terkesan sulit, tapi cara ini bisa dilakukan jika ingin belajar mengenali orang lain tanpa bantuan psikolog, dan tentunya harus dilatih secara terus-menerus agar kita semakin mengetahui orang-orang yang sama dengan kita.
Jika proses melihat (mengenali orang yang sama) dan meniru (mengikuti pola hidup yang dimiliki orang yang sama) sudah selesai, maka saatnya kita menguji apa yang sudah dilakukan. Pada tahap ini, kita sudah berada di langkah bagaimana caranya untuk menyembuhkan mental.
Ketika sudah berada di tahap bertindak (dengan modal meniru orang lain), biasanya kita akan mendapatkan feedback dari orang di sekitar kita. Dari berbagai feedback itu, kita perlu mengetahui apa saja celah (kelemahan) dan kelebihan kita.Â
Namun, pada proses ini terkadang sulit untuk mencapai hasil yang ideal, yaitu keberanian kita dalam mengakui feedback yang diberikan orang lain. Faktor selfish, obsessive, dan lainnya bisa mempengaruhi daya tangkap kita terhadap feedback yang diberikan orang lain.
Termasuk dalam hal berinteraksi di media sosial. Jika memang pada akhirnya kita merasa tertekan dengan lingkup online-an tersebut, maka cara paling terakhir yang harus dilakukan adalah menghapus akun media sosial kita. Memang terasa berat. Karena, kita hidup ditakdirkan sebagai zoo politicon, maka menghindari pintu interaksi itu sulit -termasuk di media sosial.
Namun, dengan cara ini, setidaknya tingkat tekanan pada diri kita sedikit berkurang. Kita tidak lagi berpikir soal apa kabar mereka di media sosial, melainkan kembali fokus dengan apa yang harus kita lakukan pasca bangun tidur.Â
Salah satu faktor yang membuat Indonesia dijejali orang-orang yang sakit mental adalah karena kita terlanjur terbiasa ikut campur dengan kehidupan orang lain. Bahkan sampai ke ranah privasi masing-masing. Inilah yang membuat kita sering tidak nyaman, karena kita sendiri juga saling kepo dan kemudian memunculkan sengketa-sengketa.
Seandainya rasa kekepoan kita sedikit tertahan atau setidaknya tidak melahirkan tindakan negatif, seperti menularkan informasi yang didapat dengan bumbu-bumbu provokasi. Maka, situasi buruk tidak akan terjadi, baik bagi orang yang melihat unggahan di media sosial maupun bagi yang mengunggahnya.
Memang, cara ini (menutup pintu media sosial) sangat berat untuk dilakukan. Namun, dengan cara ini kita seolah akan reborn ketika kesehatan mental kita sudah pulih.Â
Karena, inti dari reborn itu adalah (berupaya) melupakan apa yang sudah terjadi dan berupaya membangun pondasi baru yang lebih baik -seperti bayi yang belum tahu apa-apa dan ingin menjadi siapa saja.