Mohon tunggu...
Deddy Husein Suryanto
Deddy Husein Suryanto Mohon Tunggu... Penulis - Content Writer

Penyuka Sepak Bola. Segala tulisan selalu tak luput dari kesalahan. Jika mencari tempe, silakan kunjungi: https://deddyhuseins15.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Livi Zheng Tidak Sendiri

6 September 2019   19:20 Diperbarui: 7 September 2019   10:14 2566
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Livi Zheng dan Pak Rijanto (bupati Blitar). | Poskotanews.com

Tidak hanya soal kisruh Papua dan kisah KKN di Desa Penari, Indonesia juga dijejali dengan pemberitaan tentang Livi Zheng.

Nama Livi Zheng mulai dikenal ketika dirinya menghasilkan sebuah karya yang berjudul "Bali: Beats of Paradise". Membaca judulnya, sepintas menjadi teringat pada film lokal yang berjudul "Blitar - Bhumi Laya Ika Tantra Adhi Raja".


Sama-sama berawalan huruf "B" pada nama daerahnya, kedua film ini juga sama-sama berupaya mengangkat kekayaan budaya yang dimiliki Indonesia melakui masing-masing daerah tersebut. Namun, keduanya memiliki perbedaan.

Jika film garapan Wima Brahmantya lebih menyasar pada pengenalan kearifan lokal. Sedangkan film garapan Livi Zheng tersebut lebih mengarah pada eksistensi budaya -karena Bali sudah terkenal dan mulai ke arah pengembangan kultur ke luar negeri.

Sepintas selimutnya sama, namun secara isi di dalam selimut tersebut terlihat ada perbedaan. Termasuk bagaimana kemasannya dan siapa saja yang terlibat. Ini membuat kedua karya ini masih dapat dikatakan sebagai karya yang masing-masing memiliki visi dan misi tersendiri.

Kini, kita fokus pada apa yang sedang hangat diperbincangkan di media sosial, yaitu tentang pencapaian Livi Zheng. Livi Zheng kabarnya mengaku jika karya-karyanya sudah mendapatkan pengakuan dan penghargaan di berbagai ajang.

Namun, banyak media massa di internet mengabarkan jika pengakuan-pengakuan ataupun pencapaian tersebut diragukan keabsahannya.

Hal ini dipertegas dengan sebuah video dari channel Youtube sebuah media massa digital, Tirto.id yang mengunggah ulasan tentang Livi Zheng. Ulasan itu mengungkap tentang bagaimana tindakan Livi Zheng dapat bermuara seperti yang masyarakat-net ketahui saat ini.


Jika melihat ulasan tersebut, maka apa yang dilakukan Livi Zheng dapat pula disebut telah terstruktur meski sarat kontroversi. Namun, benarkah hanya Livi Zheng yang melakukan praktik "penyesatan" prestasi?

Guna menjawab pertanyaan tersebut, penulis hadirkan 5 kunci yang dapat menentukan tindakan yang serupa dengan Livi Zheng. Lima kunci itu mengarah pada adanya praktik hiperbolis terhadap apa yang dimiliki oleh seseorang yang kemungkinan salah satunya adalah Livi Zheng.

Pertama, psikologis usia. Usia memang hanya angka, namun banyak orang seringkali terjebak terhadap usianya ketika menjalani kehidupan. Ada orang yang berpikir bahwa dirinya sudah semakin tua, namun tidak kunjung "naik kelas".

Pemikiran semacam ini dapat muncul ketika orang tersebut merasa sudah berusaha namun tidak kunjung mendapatkan hasil yang setimpal. Memangnya apa hasil yang diharapkan (dalam usahanya)?

Kedua, faktor lingkungan. Di sini, penulis berpikir bahwa Livi Zheng berada di lingkungan yang dapat disebut sebagai golongan "orang atas". Entah itu dari orangtuanya ataupun dari dirinya sendiri.

Ketika sudah berada di masa-masa genting, seseorang yang sudah berada di lingkungan "atas" akan berusaha mati-matian untuk mempertahankannya.

Inilah yang menyebabkan realita kehidupan masyarakat (bahkan tidak hanya di Indonesia) rata-rata menghasilkan orang-orang hebat atau orang kalangan atas merupakan orang-orang yang merangkak dari bawah. Karena, dengan begitu mereka belum punya tantangan untuk mempertahankan apa yang sudah dia capai, apalagi yang keluarganya capai.

Tantangan inilah yang sebenarnya lebih berat. Sehingga, tidak sedikit orang yang sudah di atas sulit bertahan. Karena, mereka sudah mulai kesulitan untuk mempertahankan apa yang sudah mereka miliki.

Ketiga, karakter. Poin ini sangat krusial dalam menilai tindak-tanduk seseorang, entah itu Livi Zheng maupun figur-figur lainnya. Karakter yang dimaksud di sini adalah adanya tipikal orang yang cepat puas dengan orang yang belum kunjung terpuaskan.

Artinya, ada orang yang hampir di periode kehidupannya menginginkan adanya sesuatu yang baru dan lebih.

Sedangkan di sisi lain, ada orang-orang yang mudah puas. Puas di sini dicontohkan dengan bagaimana seseorang lebih suka (segera) menjadi motivator dibanding (tetap) menjadi creator.

Orang yang lebih banyak menghabiskan waktunya menjadi pembicara ataupun motivator, rata-rata adalah orang yang sudah puas dalam menghasilkan sesuatu (kreativitas).

Jika memang rekam jejaknya sudah terlampau panjang dan banyak, tentu menjadi motivator adalah suatu kewajaran. Memang mustinya mereka yang sudah banyak pengalaman, sangat diperlukan untuk menjadi motivator bagi orang lain (dan orang baru). Namun, bagaimana jika belum (rekam jejak masih sedikit)?

Inilah yang menjadi permasalahan ketika terjadi pada sosok-sosok yang sudah terlena terhadap apa yang sudah dimiliki atau yang dikreasikan (walau masih belum banyak). Kemungkinan faktor semacam ini sedang melanda kepribadian Livi Zheng ataupun orang-orang yang suka melakukan hiperbolis terhadap pencapaiannya.

Keempat, siklus kehidupan. Terasa berat faktor ini untuk diungkap, namun memang pada kenyataannya kita hidup dengan adanya siklus. Semua orang pasti pernah berada di fase (merasa) di puncak dan di bawah.

Ketika seseorang sedang merasa di atas, maka ada peluang baginya untuk membanggakan karyanya termasuk dirinya sendiri. Begitu pula ketika sedang jatuh. Ada kemungkinan bagi orang-orang itu untuk mencari belas kasih maupun mencoba untuk mengambil jalur (pintas/berliku) untuk dapat bangkit.

Namun, apa yang terjadi pada Livi Zheng ini kemungkinan adalah sedang berada di level puncak. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa film yang mirip skema dokumenter tersebut merupakan karya yang tidak dapat diremehkan.

Keterlibatan orang-orang kreatif dari luar negeri dan juga adanya unsur budaya yang dimiliki Indonesia (Bali), tentu membuat masyarakat Indonesia dan dunia cukup takjub -berdasarkan trailer yang dirilis sekitar beberapa bulan lalu.


Ketakjuban (dari publik) inilah yang memungkinkan bagi Livi Zheng untuk membentuk dirinya sebagai orang yang berhasil dalam menghasilkan karya yang bagus dan perlu mendapatkan pengakuan. Dari sinilah kemudian muncul tindakan hiperbolis terhadap pencapaiannya.

Kelima atau yang terakhir adalah persaingan ketat di dunia kreatif. Zaman yang semakin maju membuat perkembangan teknologi memudahkan setiap individu dapat menghasilkan karya. Tentu hal ini tidak seperti di masa lalu.

Jika dulu, seseorang yang dapat menyanyi harus berupaya keras menembus dapur rekaman untuk dapat menghasilkan sekeping rekaman dari suaranya. Sedangkan saat ini, semua orang dapat merekam suaranya yang masih fals itu kapan saja dan di mana saja.

Hal ini juga berlaku dalam hal sinematografi. Semakin mudahnya seseorang membangun relasi melalui internet akan membuat siapa saja dapat mencari teman untuk berproses bersama dan menghasilkan karya. Siapa yang paling kreatif, dialah yang nanti akan cepat viral.

Begitu pula dengan siapa yang paling kontroversi, maka masyarakat tidak akan berpikir panjang untuk membuatnya menjadi trending topic.

Situasi ini sepertinya juga menjadi bagian dari apa yang sedang terjadi pada Livi Zheng. Ada kemungkinan jika dirinya memanfaatkan tindakannya sebagai suatu kontroversi yang dapat "membangun" namanya. 

Dewasa ini semakin kontroversi orang tersebut akan semakin banyak perhatian yang datang. Inilah yang mungkin sedang diambil oleh Livi Zheng, ketika dirinya sedang belum menemukan formulasi yang tepat untuk dapat mengangkat namanya sejajar dengan kalangan creator masa kini, semisalnya Joko Anwar.

Dari kelima kunci itu penulis memang tidak akan menjamin bahwa apa yang dilakukan (penyesatan prestasi) Livi Zheng adalah suatu kesalahan yang patut dihakimi oleh massa.

Hampir semua orang di bidang kreativitas pernah mengalami fase-fase demikian. Bedanya, orang-orang tersebut tidak ter-blow up ataupun juga dapat disebut segera sadar setelah melakukan tindakan-tindakan hiperbolis terhadap prestasinya.

Satu hal yang memang membuat orang-orang yang berkecimpung di dunia kreativitas mengalami gonjang-ganjing adalah pujian. Pujian itu seperti cinta. Karena memiliki unsur madu dan racun. Manis, memabukkan, hingga mematikan.

Oleh karena itu, jangan pernah terlena karena pujian. Tetap merendah meski tidak untuk minder. Biasa saja.

Jika memang bagus, anggukan kepala. Jika kurang bagus, gelengkan kepala. Sebenarnya, semudah itu. Namun, pada kenyataannya kita terkadang tidak bisa (sepenuhnya) mengontrol diri, ketika harus menghadapi pujian yang memang sebenarnya patut diamini.

Tetap semangat Livi Zheng! Segera bangkit untuk menjadi orang yang lebih cerdas dalam menyikapi apresiasi atas kinerja Anda.

Malang, 6 September 2019
Deddy Husein S.

Baca juga:
Tanggapan sutradara Angga Dwimas Sasongko. (Liputan6.com)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun