Mohon tunggu...
Deddy Febrianto Holo
Deddy Febrianto Holo Mohon Tunggu... Administrasi - Warga Tana Humba

Nda Humba Lila Mohu Akama "Kami Bukan Sumba Yang Menuju Pada Kemusnahan".

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Paradigma Pembangunan di Pulau Sumba NTT (Pengakuan,Perlindungan dan Penghormatan) HAM

11 Agustus 2018   07:01 Diperbarui: 11 Agustus 2018   09:30 539
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Perhelatan demokrasi (pilgub) di Nusa Tenggara Timur telah usai pada tanggal 27 Juni 2018 yang lalu, pesta demokrasi ini dilakukan  secara serentak juga dalam pemilihan kepala daerah di tingkat kabupaten/kota di NTT. Kini yang menjadi tantangan pemimpin baru NTT adalah bagaimana menyelesaikan kemiskinan, persoalan human trafficking, dan tentunya yang menjadi perhatian FP2-ST Kupang adalah terkait dengan maraknya persoalan lahan (agraria) antara masyarakat adat, pemerintah dan korporasi di  pulau Sumba-NTT .

Terkait dengan pembangun NTT yang menuju pada kesejahteraan tentu saja harus melibatkan semua unsur stakeholder untuk bersama-sama membangun daerah NTT lepas landas dari persoalan yang ada. Harapan masyarakat NTT agar pemimpin yang baru menjadi lebih baik tentu saja menjadi atensi public akhir-akhir ini.

FP2-ST Kupang menjadi sarana komunikasi bagi generasi muda untuk mengontrol dan mengawasi jalannya kebijakan pembangunan di NTT, sejak berdirinya Forum ini pada tahun 2010 diikuti dengan persoalan masuknya Tambang Emas di Pulau Sumba FP2-ST terus memberikan pemikiran-pemikiran dan tindakan kepada pemerintah dan masyarakat untuk terus bersama-sama mengawal jalannya pembangunan di NTT.

Melihat fenomena dalam lima (5) tahun terakhir dimana provinsi NTT mendapatkan predikat ketiga termiskin secara Nasional (Data 2017 BPS NTT), ini bukan pekerjaan yang mudah untuk dibenahi secara instan (cepat), butuh proses dan waktu. 

Sejauh ini FP2-ST melihat  berbagai strategi pembangunan yang sedang berjalan seharusnya dimulai dari kearifan lokal (local wissdom) masyarakat yang ada serta berbasis pada potensi wilayah, namun faktanya implementasi kebijakan ini masih sebatas wacana.  Jika saja NTT masih mengarah pada pembagunan fisik, maka tentu saja kesejahteraan itu masih sangat jauh dirasakan oleh masyarakat NTT, FP2-ST masih cenderung melihat bahwa pembagunan harus didasari dengan akar budaya masyarakat, apa lagi NTT dikenal dengan budaya (culture) pertanian dan perteernakan yang cukup tua di Indonesia.

Menuju Arah Kebangkitan Pembangunan NTT yang Manusiawi

Arah kebangkitan pembangunan di NTT tidak bisa kita pungkuri bahwa sejauh ini telah terjadi begitu banyak perubahan (infrastruktur), namun belum bisa juga terlepas dari jerat kemiskinan. Lalu pertanyaannya bagaimana keluar dari belenggu kemiskinan?

Selama ini sejak pemerintahan Jokowi-JK sudah banyak menghasilkan produk kebijakan dan pembangunan Nasional yang strategis. Apa lagi fokus pembangunan hari ini yang dilakukan oleh pemerintah pusat mengarah pada wilayah Indonesia Timur. Ini salah satu dari sekian banyak kerja-kerja nyata pemerintah untuk terus memperbaiki dan memecahkan persoalan yang ada di NTT.

Pertanyaan di atas tentu saja bukan pertanyaan mudah dan membutuhkan jawaban yang mudah pula, namun butuh kajian mendalam untuk menelisik sejauh mana dampak dari pembangunan yang telah ada selama ini. Dalam tulisan ini FP2ST hanya mencoba melihat secara lepas dengan pendekatan persoalan social dan perkembangan pemberitaan di media-media yang ada bahwa sebanarnya masih banyak persoalan dan pekerjaan rumah yang belum diselesaikan oleh pemerintah.

Sekilas tampak pembangunan NTT hari ini didominasi oleh adanya pembangunan fisik namun seyogyanya pembangunan itu harus berbasis pada pemberdayaan masyarakat. Persoalan reformasi agraria saat ini hamper merata di seluruh wilayah di Indonesia, kini NTT menjadi pusat perhatian pembangunan apa lagi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) di Pulau Sumba menjadi perhatian dunia dan pemerhati HAM.

Supermasi hukum di Indonesia sudah berada pada rel yang benar, namun terkadang public tidak bisa mengabaikan sikap pelaku penegak hukum yang masih lalai dalam mengimplementasikan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah.

Peritiwa berdarah 25 April 2018  di pesisir Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur menjadi poin penting untuk masuk dalam ranah implementasi kebijakan reformasi agraria di Pulau Sumba. Persoalan lahan yang sering terjadi di NTT hari ini bukanlah hal yang baru. Ini juga sering kita lihat di media dan media cetak betapa carut marutnya persoalan agraria di Indonesia

Kasus pelanggaran HAM berat yang didalangi oleh aparat kepolisian terhadap seorang petani Poro Duka yang mempertahankan lahan dan ruang wilayah kelola rakyat akhirnya ditembak oleh aparat kepolisian setempat.

Jika menelisik lebih jauh lagi terkait persoalan lahan, ini juga terjadi di kabupaten Sumba Timur-NTT dimana masyarakat adat dan petani diperhadapkan pada ancaman hilangnya sumber-sumber yang selama ini menjadi ruang hidup masyarakat. 

Persoalan lahan antara masyarakat dengan korporasi sejauh ini angkanya sangat tinggi terjadi dan banyak persoalan bawaaan yang terjadi seperti adanya pelanggaran HAM, kriminalisasi, akses dan ruang wilayah kelola rakyat yang selama ini tidak mendapat kepastian yang jelas dari negara dalam konteks perlindungan dan pemenuhan.

Oleh karena itu, persoalan reformasi agraria dari kebijakan pemerintahan Jokowi-JK harus jelas diimplemntasikan lewat perwakilan pemimpinnya di daerah kabupaten/kota. Bagaiamana menyiapkan regulasi kebijakan yang melindungi masyarakat adat dan hak-haknya.

Pengakuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan negara haruslah berjalan selaras dengan kebijakan ekonomi pembangunan nasional, hari ini banyak sekali ketimpangan-ketimpangan yang terjadi yang pada akhirnya menimbulkan konflik anatara masyarakat, pemerintah dan korporasi. 

Tidak luput jika bahwa pemimpin daerah harus juga merumuskan atau mengusulkan berbagai produk kebijakan daerah (perda) yang menguatkan masyarakat adat dan wilayah kelolanya.

 Peran negara harus kuat dalam memberikan sebuah pemikiran dan kebijakan yang senantiasa berpihak pada perlindungan, pengakuan dan penghormatan dalam pemenuhan kehidupan masyarakat adat dan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia. Jika hak-hak masyarakat dan wilayah kelola rakyatnya dihormati dan dilindungi serta diakui oleh negara, maka konflik lahan akan semakin kecil terjadi. 

Inilah harapan FP2ST Kupang dalam melihat persoalan dan merekomendasikan beberapa solusi dalam merumuskan kebijakan pembangunan berkelanjutan dan perlu adanya pengakuan negara terhadap masyarakat adat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun