Peritiwa berdarah 25 April 2018 Â di pesisir Marosi, Desa Patiala Bawa, Kecamatan Lamboya, Kabupaten Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur menjadi poin penting untuk masuk dalam ranah implementasi kebijakan reformasi agraria di Pulau Sumba. Persoalan lahan yang sering terjadi di NTT hari ini bukanlah hal yang baru. Ini juga sering kita lihat di media dan media cetak betapa carut marutnya persoalan agraria di Indonesia
Kasus pelanggaran HAM berat yang didalangi oleh aparat kepolisian terhadap seorang petani Poro Duka yang mempertahankan lahan dan ruang wilayah kelola rakyat akhirnya ditembak oleh aparat kepolisian setempat.
Jika menelisik lebih jauh lagi terkait persoalan lahan, ini juga terjadi di kabupaten Sumba Timur-NTT dimana masyarakat adat dan petani diperhadapkan pada ancaman hilangnya sumber-sumber yang selama ini menjadi ruang hidup masyarakat.Â
Persoalan lahan antara masyarakat dengan korporasi sejauh ini angkanya sangat tinggi terjadi dan banyak persoalan bawaaan yang terjadi seperti adanya pelanggaran HAM, kriminalisasi, akses dan ruang wilayah kelola rakyat yang selama ini tidak mendapat kepastian yang jelas dari negara dalam konteks perlindungan dan pemenuhan.
Oleh karena itu, persoalan reformasi agraria dari kebijakan pemerintahan Jokowi-JK harus jelas diimplemntasikan lewat perwakilan pemimpinnya di daerah kabupaten/kota. Bagaiamana menyiapkan regulasi kebijakan yang melindungi masyarakat adat dan hak-haknya.
Pengakuan, perlindungan, penghormatan dan pemenuhan negara haruslah berjalan selaras dengan kebijakan ekonomi pembangunan nasional, hari ini banyak sekali ketimpangan-ketimpangan yang terjadi yang pada akhirnya menimbulkan konflik anatara masyarakat, pemerintah dan korporasi.Â
Tidak luput jika bahwa pemimpin daerah harus juga merumuskan atau mengusulkan berbagai produk kebijakan daerah (perda) yang menguatkan masyarakat adat dan wilayah kelolanya.
 Peran negara harus kuat dalam memberikan sebuah pemikiran dan kebijakan yang senantiasa berpihak pada perlindungan, pengakuan dan penghormatan dalam pemenuhan kehidupan masyarakat adat dan hak-haknya sebagai warga negara Indonesia. Jika hak-hak masyarakat dan wilayah kelola rakyatnya dihormati dan dilindungi serta diakui oleh negara, maka konflik lahan akan semakin kecil terjadi.Â
Inilah harapan FP2ST Kupang dalam melihat persoalan dan merekomendasikan beberapa solusi dalam merumuskan kebijakan pembangunan berkelanjutan dan perlu adanya pengakuan negara terhadap masyarakat adat.