"Malu yang Hilang di Tanah Budi"
Oleh: Deddi Ajir
Di Sumatera Barat, yang kita warisi bukan hanya sawah dan ladang. Kita diwarisi nilai. Kita tumbuh dari malu, dibentuk oleh budi. Karena itu, orang Minang diajar dari kecil untuk malu berbuat salah, malu bertindak curang, dan malu menyalahgunakan nama baik. Sebab, bila salah seorang jatuh dalam aib, maka bukan hanya dia yang tercoreng---tapi satu kaum, satu kampung, bahkan satu ranah.
Beberapa hari belakangan, kita membaca kabar politik yang mengguncang ruang-ruang diskusi di lapau-lapau, warung kopi, dan grup-grup pesan. Seorang anak muda, darah dari tokoh besar yang selama ini berdiri di barisan yang tegas pada nilai-nilai Islam dan konservatisme, berpindah ke partai yang di mata banyak orang justru antitesis dari partai sebelumnya.
Yang membuat banyak dahi berkerut bukanlah semata perpindahan itu. Kita tentu paham, politik memang ruang berpindah-pindah. Tapi yang membuat hati nyilu adalah ketika sang anak muda langsung diberi kursi empuk sebagai ketua wilayah, tanpa kaderisasi, tanpa proses adat, dan tanpa pembuktian kerja politik.
Sebagai orang Minang, kita tentu bertanya: di manakah letak "raso jo pareso"?
Kekuasaan dan Nama yang Dipinjam
Orang tua kita dahulu berkata, "nama baik dibangun puluhan tahun, rusak bisa seketika." Nama seorang tokoh bukan sekadar identitas, tapi lambang kepercayaan publik yang susah payah dibangun. Maka ketika nama itu dipinjam untuk kepentingan pribadi---apalagi di atas proses yang tidak beradat---maka yang rusak bukan hanya nama, tapi kepercayaan orang banyak.
Inilah yang membuat publik Minangkabau terdiam, kecewa, dan tak tahu harus bicara dari mana. Bukan karena anak muda itu berpindah partai, tapi karena ia melangkah tanpa jejak. Ia tiba-tiba duduk di singgasana politik baru, tanpa peluh, tanpa ujian, tanpa luka perjuangan yang biasanya dilalui kader sejati.
Kalau ini dibiarkan menjadi kelaziman, maka anak-anak kita akan belajar bahwa yang penting adalah siapa ayahmu, bukan siapa dirimu. Ini bertentangan dengan filosofi kita sendiri: "pucuak dicari kokoknyo, pangka dicari uratnyo"---segala sesuatu harus jelas asal-usul dan prosesnya.
Politik yang Mencemaskan