Mohon tunggu...
Deddi Ajir
Deddi Ajir Mohon Tunggu... Alumni Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang

Saya seorang pensiuan berpengalaman di bidang pemerintahan dengan kemampuan analisis dan komunikasi yang baik. Terbiasa bekerja secara tim maupun mandiri, saya selalu berkomitmen memberikan hasil terbaik dan terus belajar untuk berkembang.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Jejak Sunyi di Lembah Pusako (3)

19 Oktober 2025   05:48 Diperbarui: 19 Oktober 2025   05:48 32
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerbung. Sumber ilustrasi: pixabay.com/Yuri B

Jejak Sunyi di Lembah Pusako

Episode 3: Adat Marapulai dan Persaudaraan

Pagi itu, kabut tipis masih bergelayut di atas hamparan lembah, seperti selendang putih yang menyembunyikan rahasia tanah yang suci. Udara dingin menyentuh kulit dengan kelembutan yang membangunkan, sementara sinar matahari perlahan menembus celah dedaunan, menari di atas rerumputan yang basah oleh embun. Burung-burung mulai bersiul, seolah ikut menyambut hari yang istimewa.

Raka dan Sari melangkah perlahan menuju balairung---bangunan megah beratap gonjong, lambang martabat dan kehormatan adat Minangkabau. Hari ini bukan hari biasa. Ini hari di mana Raka akan menyaksikan dan menjadi bagian dari upacara Marapulai, salah satu tradisi penuh makna dalam kehidupan masyarakat Minang.

"Marapulai," kata Sari sambil tersenyum lembut, "adalah cara kami menyambut tamu, bukan sebagai orang luar, tapi sebagai bagian dari keluarga. Sebagai saudara."

Bagi Raka, kata "keluarga" telah lama kehilangan maknanya---tergerus oleh kesibukan, kesendirian, dan rutinitas kota yang dingin. Tapi di lembah ini, di tanah yang ia pijak dengan rasa takjub, kata itu hidup kembali, tumbuh perlahan seperti benih yang disirami harapan.

Sesampainya di balairung, Raka disambut oleh pemandangan yang menggugah hati. Warga desa telah berkumpul, mengenakan pakaian adat berwarna-warni yang menyala seperti bunga musim hujan. Para perempuan memakai baju kurung dan tingkuluak, sementara para lelaki memakai saluak dan sarung songket. Mereka tersenyum, menyapa, mengulurkan tangan---bukan hanya sebagai formalitas, tapi dengan ketulusan yang menyentuh hingga ke relung jiwa.

Seorang tetua desa maju perlahan. Tubuhnya sudah bongkok, namun tatapannya tajam dan penuh wibawa. Dengan suara tenang dan dalam, ia berkata, "Selamat datang, anak perantau. Hari ini engkau bukan tamu. Engkau adalah anak nagari. Saudara kami."

Kata-kata itu menampar lembut dada Raka. Ada getar yang tak bisa dijelaskan, seolah sesuatu dalam dirinya---yang selama ini terlupa atau tertidur---kembali bangkit.

Ia menunduk hormat, dan dengan terbata mencoba menjawab dalam bahasa Minang yang diajarkan Sari, "Terima kasih... Ambo senang bisa di sini."

Senyum para tetua merekah. Tawa kecil mengiringi ucapan Raka yang belum fasih, namun penuh niat baik. Sari menepuk pelan pundaknya. "Tak perlu sempurna. Yang penting hatimu sampai."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun