Mohon tunggu...
DEAR REGITAPERMATASARI
DEAR REGITAPERMATASARI Mohon Tunggu... Editor - Wawasan

Kami di sini terdiri dari beberapa tim. Yang ditugaskan untuk mengapload di sini.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Indonesia di Tengah Hegemoni China terhadap Dunia

18 Februari 2020   09:08 Diperbarui: 18 Februari 2020   09:19 89
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Di awal tahun 2020, media Indonesia diramaikan dengan berita mengenai kapal nelayan milik China yang memasuki wilayah zona ekonomi eksklusif (ZEE) Indonesia di Natuna. Seperti dilaporkan pada Sabtu, 11 Januari 2020, armada kapal patroli milik TNI AL mendeteksi sebanyak 49 kapal pukat asing, enam kapal Cost Guard, dan satu kapal pengawas perikanan China di sepanjang wilayah ZEE Laut Natuna Utara, Kepulauan Riau. Meskipun telah diperingatkan melalui radio, kapal-kapal tersebut menolak untuk meninggalkan kawasan tersebut. 

Mengetahui hal ini, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, sesegera mungkin melakukan pemanggilan terhadap Duta Besar Tiongkok di Jakarta dan mengajukan protes keras.

Sikap berbeda ditunjukkan oleh Menteri Pertahanan dan Keamanan, Prabowo Subianto. Prabowo cenderung lebih santai dan menganggap bahwa masalah ini dapat diselesaikan dengan damai tanpa perlu adanya ribut-ribut berkepanjangan. Pernyataan Prabowo kepada media sangat disayangkan oleh Hikmahanto Juwana, pengamat hubungan internasional Universitas Indonesia. 

Menurut Hikmahanto, tindakan Prabowo dinilai kurang tegas padahal dengan jelas China tidak mengakui wilayah ZEE Indonesia sebagaimana yang sudah diatur dalam UNCLOS 1982. Keadaan beberapa waktu lalu itu sempat membuat hubungan kedua negara menegang. Sejumlah pihak mengkhawatirkan jika ketegangan terus berlangsung maka akan berdampak pada aspek yang lebih vital.

Hubungan antara China dan Indonesia sudah berlangsung sejak masa Kekaisaran Tiongkok pada abad ke-7. Secara resmi hubungan ini diakui pada tahun 1950. Namun, hubungan diplomatik sempat dihentikan pada tahun 1967 sebagai akibat dari peristiwa G30S/PKI dan kembali dilanjutkan pada tahun 1990.

Dalam lingkup pergaulan internasional, China mulai bertumbuh menjadi negara raksasa. Diperkirakan dalam waktu kurang dari dua dekade, China akan mengambil alih posisi AS sebagai negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Dengan kapabilitas ekonominya saat ini, hampir 100 negara bergantung pada China sebagai mitra ekonomi terpenting mereka. Salah satunya Indonesia.

Melihat dampak vital China terhadap roda perekonomian Indonesia, membuat Presiden Joko Widodo saat ini sedang gencar-gencarnya melakukan hubungan kerja sama dalam berbagai bidang. Akibatnya, muncul beragam komentar dari publik. Sebagian dari mereka beranggapan bahwa Presiden Joko Widodo 'menganaktirikan' warga negaranya sendiri dengan mendatangkan para pekerja asing berkewarganegaraan China. Ini merupakan imbas dari dipegangnya proyek-proyek besar oleh investor China tersebut.  Mereka merasa, dengan cara seperti ini sama saja dengan mempersempit lapangan pekerjaan.

Selain mulai munculnya sentimen kepada para pekerja kewarganegaraan China, rasa kesal akibat kebijakan pekerja asing ini juga berdampak pada warga Indonesia keturunan Tionghoa. Panggilan seperti 'cina' dan lain sebagainya yang bernada rasis, akrab menyapa warga keturunan Tionghoa beberapa tahun terakhir. Terlebih setelah kasus yang menimpa mantan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama.

Di samping masalah gelombang pekerja asing, investasi yang dilakukan China terhadap Indonesia juga turut menjadi sorotan. Publik kembali menilai bahwa investasi yang dilakukan China hanya akan merugikan Indonesia. Karena pada akhirnya, sebagian besar keuntungan dari investasi tersebut akan lari ke kantong China dan Indonesia hanya akan mendapatkan sisanya.

Opini negatif dari masyarakat Indonesia dalam memandang hubungan antara Indonesia dengan China tidak dapat disalahkan. Namun, melihat pertumbuhan ekonomi China yang melaju kencang selama tahun-tahun terakhir ini cukup menjadi tamparan untuk kita. Terlebih dengan semakin memburuknya hubungan antara China dan AS serta adanya ketegangan suasana di Laut Cina Selatan, membuat Indonesia semakin terhimpit.

Rasa-rasanya tidak ada pilihan selain menuruti tempo permainan China mengingat perputaran roda ekonomi kita merupakan kunci yang dipegang oleh mereka. Karena alasan inilah, kita terlihat sebagai pemain pasif yang terima-terima saja saat mereka mulai berani bermain api, seperti kasus kapal asing contohnya. Salah langkah, bisa-bisa China gondok dan we're done.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun