Mohon tunggu...
Marintan Irecky
Marintan Irecky Mohon Tunggu... Lainnya - ENG - IND Subtitler and Interpreter

Indonesian diaspora who has been living in Saudi Arabia since 2013. Currently interested in topics about women, family and homemaking, and female intra-sexual competition.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

Konsekuensi Menunda Menikah Bagi Perempuan

16 Februari 2024   18:22 Diperbarui: 17 Februari 2024   01:40 276
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya dalam gaun pengantin saat menikah (dok.pribadi)

Sebagai seorang wanita yang pernah diteror pertanyaan "Kapan nikah?" oleh keluarga, tetangga, dan bahkan kenalan yang tak terlalu dekat, saya paham betul bagaimana rasanya. Rasa malu, kesal, dan tersinggung menghantui setiap acara keluarga dan kondangan pernikahan yang dulu banyak saya hadiri. 

Saya termasuk dalam kategori wanita yang lambat menikah. Saya menikah pada 12 Februari 2022  di usia 34 tahun yang bisa dibilang sudah tidak muda lagi. Ada beragam alasan mengapa seorang wanita terlambat atau menunda menikah. Saya sendiri lambat menikah karena sebagai anak pertama di keluarga, saya menjadi tulang punggung keluarga sejak ayah saya meninggal. Sibuk kerja di luar negeri menjadi alasan utama saya tidak memiliki waktu untuk pacaran. 

Jangankan pacaran, untuk istirahat dan bersosialisasi dengan teman-teman pun waktunya tidak banyak. Pacaran juga menghabiskan uang, sehingga dulu saya berpikir daripada uangnya habis untuk beli make-up atau baju baru, lebih baik kalau uangnya dikirim ke keluarga atau dipakai beli buku dan jalan-jalan.

DULU, SAYA ENGGAN MENIKAH

Sepuluh tahun yang lalu, sebagai anak tertua yang punya beban finansial untuk membantu keluarga, pikiran saya tentang pernikahan sangat terwakili oleh tulisan Irmina Gultom tentang menunda menikah. Karena saya tahu persis betapa lelahnya banting tulang untuk membiayai keluarga, bagaimana mungkin saya bisa menikah dengan seseorang yang kesulitan secara finansial. 


Sebagai seorang wanita, saya ingin menikah dengan orang yang kondisi finansialnya lebih baik dari saya. Saya yakin hampir semua wanita berpikiran seperti ini dan itu bukanlah sesuatu yang salah. Hanya saja, dulu saya tidak berpikir bahwa pria pun punya banyak pertimbangan dalam memilih calon istri. Hak memilih tidak eksklusif milik perempuan saja, tapi juga hak prerogatif pria. Bukan hanya sekedar cantik dan berpendidikan saja, tapi apakah dia memiliki kualitas yang dicari sebagai seorang istri dan ibu. 

Tentunya sosok pria yang saya dambakan sebagai suami (dan puji Tuhan sudah menjadi suami saya hari ini) adalah sosok yang berkualitas dan memenuhi kriteria yang saya miliki. Yang terlewat dari pikiran saya kala itu adalah, apakah saya sudah memenuhi kriteria yang dimiliki oleh pria idaman saya tersebut? 

Sebab, kalau saya harus jujur dan menilai secara objektif, ada lebih banyak perempuan yang cantik, cerdas, dan memiliki kualitas lainnya yang memenuhi syarat menjadi istrinya. Saya tidak sendirian. Ada banyak perempuan yang sosoknya seperti saya, hanya beda wajah, penampilan fisik dan mungkin pekerjaan dan usia saja. Tapi sosok pria yang seperti suami saya? Wah, bisa dibilang saya ini menang undian jadi istrinya! :)

Dari hukum supply-demand saja sudah terlihat jelas kalau jumlah wanita yang berkualitas lebih banyak daripada jumlah pria yang berkualitas.

Di sinilah timbul masalah. Ketika situasinya seperti ini, maka akan ada lebih banyak wanita yang melajang hingga lanjut usia. Studi yang dilakukan oleh Morgan Stanley yang dirilis pada tahun 2019 lalu menemukan bahwa di tahun 2030 mendatang, sekitar 45 persen wanita usia produktif (25-44 tahun) di Amerika Serikat akan berstatus lajang dan tanpa anak (baca di sini dan di sini).

Prediksi ini tidak hanya akan terjadi di Amerika Serikat saja, tapi menjalar ke seluruh dunia. Negara-negara di Asia seperti Korea Selatan dan Jepang sudah beberapa kali menempati posisi terendah dalam daftar repopulasi dunia. Tren menunda menikah, childfree, dan hidup selibat juga terlihat di Indonesia dan topik ini pun semakin sering dibahas di media sosial dan media massa.

Bayangkan, hampir separuh dari populasi akan berstatus lajang dan tanpa anak. Saya bisa membayangkan, akan semakin banyak nama keluarga yang mati karena garis keturunannya terputus. Keluarga yang masih mempertahankan adat dan tradisi nama keluarga bagi setiap keturunannya (seperti suku Batak misalnya) wajib cemas melihat tren pernikahan yang menurun tajam seperti ini.

Tentunya dengan semakin banyak wanita yang melajang, maka jumlah pria yang melajang pun akan semakin meningkat. Pasangan menikah akan menjadi minoritas bila tren ini terus berlanjut. 

Buket bunga pernikahan saya (dok.pribadi)
Buket bunga pernikahan saya (dok.pribadi)

KONSEKUENSI MENUNDA MENIKAH

Semua perempuan berhak memutuskan untuk menikah, menundah menikah, atau bahkan tidak menikah sama sekali. Apapun latar belakang dari keputusan yang diambil, kita harus menghormati keputusan tersebut bila ada teman, saudara, atau kenalan yang punya pilihan berbeda soal pernikahan.

Namun sebelum memutuskan sesuatu, ada baiknya kita sebagai perempuan mengetahui konsekuensi dari pilihan yang kita ambil. Apa saja konsekuensi dari menunda menikah?

1. Seiring bertambahnya usia, daya saing kita semakin menurun. 

Semua perempuan yang ingin menikah biasanya mendambakan pasangan yang lebih matang (lebih tua usianya), mapan secara finansial, dan berpendidikan setara atau bahkan lebih tinggi. Ini biasanya kriteria yang paling mendasar, belum termasuk kriteria lainnya yang bervariasi antar perempuan, misalnya bertubuh atletis dan lebih tinggi, punya hobi dan minat yang sama, kadar keimanan yang sama, dan lain sebagainya. 

Semakin tinggi kualitas seorang pria, maka semakin banyak wanita yang menaruh minat untuk menjadi istrinya. Pria tersebut bisa menaikkan standar kriterianya dan memilih wanita dengan kualitas paling baik di antara para wanita lainnya (paling muda, paling cantik, paling cerdas, dan lain sebagainya).

2. Jendela reproduksi mengecil

Usia reproduktif wanita yang paling optimal untuk menjadi seorang ibu adalah 20-32 tahun. Semakin tua seorang wanita, maka jendela reproduksinya semakin menyempit. Di usia 35 tahun ke atas, kesempatan untuk hamil setelah 3 bulan berhubungan intim akan menurun tajam hingga 12 persen. Jangan pula lupa dengan kehamilan berisiko tinggi bagi wanita yang berusia 35 tahun ke atas. 

Semakin tua usia wanita saat mengalami kehamilan pertamanya, maka semakin besar pula risiko keguguran, cacat janin, dan komplikasi kesehatan lainnya yang dapat dialami oleh ibu dan bayi. Mungkin ini pula sebabnya kenapa pria lebih memilih wanita yang lebih muda untuk diperistri. Meskipun saat ini teknologi semakin canggih, seperti bayi tabung atau IVF bisa membantu wanita untuk hamil. Namun biayanya yang mahal dan tingkat keberhasilannya yang semakin menurun seiring usia calon ibu bertambah, ini tentu akan membuat pria manapun berpikir dua kali sebelum meminang wanita di atas 30 tahun.

3. Lingkar pertemanan mengecil

Wanita yang memutuskan menunda atau bahkan tidak menikah, harus menyiapkan mental kehilangan banyak teman. Teman-teman perempuan mereka yang memutuskan menikah akan sibuk dengan urusan keluarga (suami, anak, mertua dan ipar). Sementara teman-teman pria yang dulunya mudah diajak nongkrong bareng, kini sudah beristri dan membatasi pergaulan dengan lawan jenis demi menghindari konflik rumah tangga. Lingkar pertemanan dan pergaulan sosial akan semakin mengecil dan ajakan untuk hang-out akan semakin jarang.

Menjalin pertemanan dengan orang baru di usia 30 tahun ke atas bukan sesuatu yang mudah. Entah disadari atau tidak, di usia 30 tahun ke atas masyarakat biasanya cenderung menjauhi mereka yang berstatus lajang. Banyak perusahaan yang bahkan menghindari merekrut wanita lajang yang berusia akhir 28 tahun hingga awal 30-an tahun. Karena di usia inilah biasanya wanita lebih fokus untuk mencari pasangan bila mereka belum menikah atau sibuk membangun keluarga bila mereka sudah menikah.

4. Menua sendirian

Ketika kita memutuskan untuk menunda menikah, bukan berarti sebuah jaminan bahwa pria yang akan jadi calon pasangan bersedia menunda menikah pula. Hari ini mungkin kedua belah pihak sepakat menunda, esok hari siapa yang tahu apakah salah satu pihak berubah pikiran dan memilih untuk memutuskan hubungan. Ingat hukum supply-demand yang saya sebutkan di atas. Di zaman modern seperti ini ada lebih banyak wanita berkualitas dibandingkan pria berkualitas. Jadi daya tawar pria berkualitas lebih tinggi dibanding daya tawar wanita berkualitas. 

Sebagai wanita, kita harus jujur pada diri sendiri. Bersediakah saya menurunkan standar saya agar mendapatkan pasangan? Kalau tidak bersedia menurunkan standar, maka tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya sudah memenuhi standar yang dimiliki pria idaman saya? 

Apabila tidak bersedia menurunkan standar dan tetap ingin bersanding dengan pria idaman, siapkah saya bila saya berakhir melajang di usia lanjut? Ketika saudara dan sahabat sibuk dengan keluarga masing-masing, memprioritaskan pasangan hidup, anak dan cucu mereka, dan tidak bisa datang menemui saya di saat saya membutuhkan mereka, apa yang akan saya lakukan? 

Bagaimana saya melewati hari ulang tahun, hari raya keagamaan, tahun baru, musim liburan sekolah? Siapa yang akan merayakan keberhasilan dan prestasi yang saya capai dalam hidup? 

Bagaimana saya mendapatkan penghiburan serta dukungan ketika saya merasa sedih dan terpuruk? Apakah saya mampu bertahan hidup tanpa merasakan hangatnya pelukan, manisnya ciuman dari pasangan, atau hidup selibat tanpa seks? 

Saat saya melihat anak-anak, apakah ada rasa rindu memiliki keturunan? Saat saya melihat foto-foto teman-teman dengan anak-anak mereka, apakah terbit rasa sedih dan iri tanpa diundang?

Mampukah saya hidup layak di usia tua tanpa bantuan dari siapapun? Siapkah saya secara finansial untuk hidup hingga akhir hayat tanpa bergantung pada saudara atau orang lain? Apakah saya akan jadi beban finansial keluarga yang tersisa bila saya kehilangan pekerjaan atau sesuatu terjadi pada tabungan dan aset saya di usia lanjut? Apa yang akan saya lakukan untuk menafkahi diri saya ketika tubuh saya sudah tak mampu lagi bekerja atau mengalami sakit berat dan membutuhkan perawatan?

Itulah sekelumit pertanyaan yang harus kita tanyakan secara jujur pada diri sendiri sebagai seorang wanita. Dalam membuat sebuah keputusan, kita harus jujur menilai diri kita sendiri dan tantangan yang kita hadapi. Menunda atau bahkan tidak menikah tidak akan berpengaruh banyak pada siapapun kecuali diri kita sendiri. Dunia ini akan tetap berputar, matahari akan tetap terbit di pagi hari, dan perusahaan tempat kita bekerja akan tetap berjalan, tanpa peduli status kita menikah atau tidak. Jadi, buatlah pilihan terbaik bagi hidup kita supaya di usia lanjut nanti tidak ada penyesalan yang berbalut kata "seandainya saja..."

* * *

Riyadh, Saudi Arabia

Jumat, 16 Februari 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun