Beberapa waktu terakhir, pertumbuhan Jambi semakin maju kian harinya. Di antara geliat pertumbuhan itu, sebuah fenomena sosial terjadi, yaitu menjamurnya kafe-kafe biliar. Fenomena maraknya kafe biliar telah menjadi pemandangan yang tak terelakkan di Jambi. Berbeda dari citra rumah biliar di masa lalu yang terkesan eksklusif bagi kalangan tertentu, arena-arena biliar baru ini hadir dengan wajah yang lebih segar, estetis, dan terbuka. Dari sudut-sudut kota yang ramai hingga ke kawasan permukiman yang lebih tenang, papan nama dengan lampu neon yang menawarkan "Kafe & Biliar" Â menjadi pemandangan baru yang lazim. Kafe biliar bukan lagi sekadar tempat menyodok bola, melainkan sebuah ruang sosial, sebuah sarana hiburan dan hobi bagi kaum muda. Namun, di balik kepopulerannya yang meroket, fenomena ini melahirkan sebuah persimpangan dilematis antara gaya hidup urban dan keresahan sosial yang mengakar kuat di tengah masyarakat.
Di satu sisi, ada sambutan penuh antusiasme. Bagi kaum muda, kehadiran kafe biliar ini adalah angin segar. Jika dahulu warung kopi adalah tempat untuk berbincang santai, kini ia berevolusi menjadi ruang komunal yang menawarkan aktivitas lebih. Bagi kaum muda, tempat ini adalah ruang ketiga setelah rumah dan sekolah atau tempat kerja, di mana mereka bisa mengekspresikan diri dan membangun komunitas. Komunitas-komunitas pehobi biliar pun menemukan rumahnya, memupuk harapan bahwa dari kafe-kafe biliar inilah akan lahir atlet-atlet berprestasi yang dapat membanggakan nama Jambi di kancah yang lebih tinggi. Dari sudut pandang ekonomi juga, menjamurnya kafe biliar merupakan indikator positif dari geliat ekonomi kreatif lokal. Lapangan kerja baru terbuka, perputaran uang terjadi, dan para pengusaha muda mendapatkan panggung untuk berinovasi.Â
Namun, di sisi lain, sebagian masyarakat, terutama dari kaum tua, memandang negatif fenomena tersebut. Bagi banyak kaum tua, tokoh masyarakat, dan pemuka agama, menjamurnya kafe biliar yang begitu masif ini menyalakan alarm kekhawatiran. Di benak mereka, citra rumah biliar masih lekat dengan dunia malam yang temaram. Kekhawatiran ini bukan tanpa sebab; Â ia lahir dari akumulasi citra negatif yang telah melekat pada dunia biliar sejak lama.
Di mata sebagian masyarakat, kafe biliar bukan sekadar tempat minum kopi sambil bermain bola sodok. Stigma yang terlanjur menempel adalah bahwa tempat-tempat ini merupakan sarang dari tiga penyakit sosial: peredaran narkoba, minuman keras (miras), dan praktik perjudian. Persepsi ini diperkuat oleh pemberitaan di media massa yang kerap kali menyorot adanya penggerebekan atau razia oleh aparat keamanan di sejumlah tempat biliar. Setiap kali ada berita penangkapan pengedar narkoba atau penyitaan minuman keras ilegal di salah satu kafe biliar, ia menjadi pembenaran bagi kekhawatiran ini. Bagi kutub masyarakat ini, kafe biliar hanyalah wajah baru dari momok lama, sebuah ancaman terhadap moralitas generasi muda dan ketertiban sosial.
Kafe biliar kerap diasosiasikan dengan dunia malam, membuatnya sulit melepas diri dari citra negatif tersebut. Jam operasional yang seringkali melewati batas wajar, dengan lingkungan yang cenderung tertutup dan kurang pengawasan, secara teoretis memang menyediakan celah bagi aktivitas ilegal. Transaksi narkoba yang terselubung atau taruhan uang antar pemain di meja adalah risiko nyata yang sering kali dimanfaatkan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Akibatnya, niat baik sebagian pengusaha yang ingin menyediakan fasilitas olahraga dan rekreasi yang sehat menjadi sia-sia, tertutup oleh bayang-bayang citra buruk yang diciptakan oleh segelintir oknum yang tidak bertanggung jawab.
Lantas, apakah kafe-kafe biliar di Jambi selamanya harus terperangkap dalam stigma negatif ini? Tentu tidak. Namun, untuk mengubah persepsi publik yang sudah mengakar adalah sebuah maraton, bukan sprint, dan ia menuntut sebuah transformasi fundamental yang dimulai dari dalam. Bukan sekadar polesan di permukaan. Transformasi ini harus menyentuh akar masalahnya.
Langkah pertama dan paling utama adalah komitmen internal dari pemilik usaha. Sebuah komitmen nol toleransi tanpa kompromi. Mereka harus secara sadar memilih untuk menjalankan bisnisnya sebagai arena olahraga dan rekreasi yang bersih, bukan sebagai tempat yang memfasilitasi penyakit sosial. Menerapkan aturan tegas yang melarang perjudian, narkoba, dan miras ilegal harus dipajang secara eksplisit dan ditegakkan secara ketat, bahkan jika harus mengorbankan omzet jangka pendek dengan mengeluarkan pengunjung atau memberhentikan staf yang melanggar. Pemasangan kamera pengawas (CCTV) di setiap sudut, pemeriksaan identitas untuk memastikan tidak ada anak di bawah umur yang masuk pada jam-jam tertentu, serta kepatuhan penuh terhadap jam operasional yang ditetapkan pemerintah Ini adalah langkah konkret yang tidak bisa ditawar demi membangun fondasi kepercayaan dari masyarakat.
Langkah selanjutnya adalah berkolaborasi secara proaktif dengan aparat dan pemerintah. Alih-alih memandang razia sebagai ancaman, pemilik usaha kafe biliar harus menjalin kemitraan dengan Badan Narkotika Nasional (BNN), kepolisian, dan Satpol PP. Para pemilik usaha harus keluar dari zona nyaman mereka, mendatangi kantor BNN, polisi, dan aparat terkait lainnya bukan sebagai pihak yang dicurigai, melainkan sebagai mitra yang siap bekerja sama menjaga ketertiban. Undang mereka untuk melakukan sosialisasi anti-narkoba di lokasi, atau bahkan mempersilakan adanya inspeksi rutin. Sikap transparan dan kooperatif ini akan mengirimkan sinyal kuat kepada masyarakat bahwa kafe biliar tersebut serius dalam menjaga kebersihan usahanya.