Mohon tunggu...
Dean Ruwayari
Dean Ruwayari Mohon Tunggu... Geopolitics Enthusiast

Learn to live, live to learn.

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Lima Tahun Setelah Brexit: Inggris dan Realitas Baru Hubungan Eropa

20 Juli 2025   16:00 Diperbarui: 20 Juli 2025   16:00 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: Unsplash

Lima tahun telah berlalu sejak Inggris resmi keluar dari Uni Eropa. Dalam berbagai kesempatan politik dan diplomasi akhir-akhir ini, terlihat jelas bahwa Brexit tidak serta-merta membawa Inggris pada kemerdekaan geopolitik sebagaimana dijanjikan. Alih-alih menjadi kekuatan global yang mandiri, Inggris kini justru kembali menjalin hubungan erat dengan negara-negara besar Eropa---meski tetap berada di luar struktur Uni Eropa secara formal.

Pertemuan dan perjanjian-perjanjian diplomatik yang ditandatangani selama dua minggu terakhir menjadi bukti kuat perubahan arah ini. Pada 10 Juli 2025, Presiden Prancis Emmanuel Macron tiba di London untuk melakukan pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Keir Starmer. Satu pekan kemudian, Kanselir Jerman Friedrich Merz menyusul dengan kunjungan kenegaraan yang menghasilkan Perjanjian Kensington, yang merupakan kesepakatan besar pertama antara Inggris dan Jerman sejak Perang Dunia II.

Kedua pemimpin Eropa tersebut secara terbuka menyampaikan penyesalan atas keluarnya Inggris dari Uni Eropa. Macron, dalam konferensi pers bersama Starmer di Downing Street, mengatakan, "Kami sangat menyesal Inggris meninggalkan Uni Eropa. Kami menghormati keputusan rakyat Inggris, tetapi kami yakin Eropa lebih kuat bersama." Merz pun menyampaikan nada serupa: "Kami kehilangan mitra penting dalam proyek Eropa bersama."

Namun penyesalan itu tampaknya tak hanya datang dari Paris atau Berlin. Inggris sendiri kini menunjukkan kecenderungan untuk memperbaiki hubungan yang sebelumnya renggang. Pemerintah Starmer, yang mengambil alih kekuasaan awal 2025, memang membawa semangat baru. Pada Mei 2025, pemerintah Inggris menandatangani kesepakatan dengan Komisi Eropa yang mengatur ulang berbagai aspek hubungan bilateral: mulai dari perdagangan terbatas, program pertukaran pelajar Erasmus+, hingga kemudahan perjalanan lintas negara.

Salah satu simbol paling mencolok adalah keputusan Uni Eropa membuka kembali akses jalur cepat e-gate bandara bagi pemegang paspor Inggris. Kemudahan ini sebelumnya dicabut sejak Brexit berlaku penuh, dan kini dikembalikan dengan sejumlah syarat kontribusi finansial dari Inggris kepada program-program Uni Eropa. Menurut laporan The Guardian (15 Mei 2025), nilai kontribusi Inggris diperkirakan mencapai 1,2 miliar per tahun, termasuk dana untuk program ketahanan pangan dan transisi energi.

Semua perkembangan ini menimbulkan pertanyaan besar: apakah Inggris menyesali keputusannya keluar dari Uni Eropa? Starmer sendiri menjawab pertanyaan ini dengan hati-hati. Dalam wawancara dengan Channel 4 News (30 April 2025), ia mengatakan bahwa Inggris tidak akan bergabung kembali dengan Uni Eropa. Namun ia menegaskan bahwa hubungan yang "lebih baik dan lebih dekat" dengan Eropa adalah prioritas pemerintahannya.

Pernyataan tersebut dibuktikan dengan langkah-langkah konkrit. Selain perjanjian dengan Komisi Eropa dan Jerman, Starmer juga menandatangani Pernyataan Bersama Nuklir dengan Macron, yang menegaskan komitmen Prancis dan Inggris sebagai dua kekuatan nuklir di Eropa untuk mengoordinasikan kebijakan pertahanan nuklir mereka. Ini bukan sekadar simbol politik, tetapi pergeseran strategis.

Jika melihat ke belakang, Brexit dimulai sebagai proyek politik sayap kanan Inggris. Kampanye "Leave" tahun 2016 menjanjikan kedaulatan ekonomi, kontrol perbatasan, dan kebebasan untuk menjalin hubungan dagang global tanpa batasan dari Brussels. Namun kenyataannya, lima tahun setelah resmi keluar pada 31 Januari 2020, Inggris tidak mengalami lonjakan ekonomi maupun penguatan posisi global yang berarti.

Banyak hal justru menjadi lebih rumit. Perdagangan lintas batas terganggu, sektor perikanan kehilangan akses pasar, dan industri jasa keuangan---yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi London---kehilangan sebagian besar keuntungan akibat hilangnya pasporing rights. Dalam survei YouGov (Juni 2025), sebanyak 55 persen warga Inggris menyatakan akan memilih bergabung kembali dengan Uni Eropa jika referendum diadakan hari ini. Hanya 34 persen yang tetap mendukung Brexit. Sentimen serupa juga terlihat di Eropa: 63 persen warga Jerman, 60 persen warga Spanyol, dan mayoritas warga Prancis serta Italia menyatakan terbuka untuk menyambut kembali Inggris ke dalam keluarga Uni Eropa.

Namun kenyataannya tidak sesederhana itu. Seperti yang diungkapkan oleh Michel Barnier, mantan kepala negosiator Brexit dari Uni Eropa: "Brexit bukan hotel; Anda tidak bisa check-in dan check-out sesuka hati." Prosedur bergabung kembali ke Uni Eropa memerlukan konsensus politik, evaluasi teknis, dan yang tak kalah penting---kemauan politik dari kedua belah pihak.

Mengapa Inggris kini kembali mendekat ke Eropa? Setidaknya ada empat alasan utama. Pertama, perubahan kekuasaan di Inggris. Pemerintahan Keir Starmer berasal dari Partai Buruh yang sejak awal lebih bersimpati pada integrasi Eropa. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun