Mohon tunggu...
Putu Dea Nita Dewi
Putu Dea Nita Dewi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Universitas Pendidikan Ganesha

Saya merupakan Mahasiswi dari program studi Akuntansi Universitas Pendidikan Ganesha. Saya memilki ketertarikan yang besar pada kegiatan menyurat Aksara Bali dan menyurat Lontar yang sudah saya tekuni sejak duduk di bangku sekolah dasar. Saya juga sangat suka menulis dan hobi bersepeda.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menapaki Makna dan Jejak Tradisi di Balik Hari Raya Nyepi: Sebuah Perayaan Introspeksi Diri dan Penyucian di Bumi Dewata

12 Maret 2024   10:14 Diperbarui: 12 Maret 2024   10:34 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tradisi sakral ini bertujuan untuk menetralisir kekuatan negatif agar tidak mengganggu saat Hari Nyepi dan juga untuk mengendalikan sifat ego serta memupuk rasa persaudaraan antar sesama.

Selain melaksankan kegiatan Upacara masyarakat Bali juga memiliki kebiasaan membuat kue ataupun makanan untuk memperingati hari Pengerupukan ini, seperti halnya masyarakat Hindu di Desa Sukasada, Buleleng yang juga memiliki kebiasaan untuk membuat kue di hari Pengerupukan ini. 

Sumber foto : grid.id
Sumber foto : grid.id
Kue tersebut dinamai dengan kue Pulung Nyepi yang terbuat dari tepung beras dan tepung kanji yang dikukus lalu dibentuk bulat agak lonjong dan di rebus.  Kue Pulung Nyepi ini akan disajikan dengan sedikit kuah dari rebusan gula aren dan jahe serta ditaburi dengan parutan kelapa muda. Secara filosofi, kue Pulung Nyepi ini bukan hanya sekadar camilan biasa, melainkan simbolisasi harapan, kesucian, kebersamaan, dan tradisi yang diwariskan turun temurun dalam budaya Bali. Selain membuat kue, umat Hindu juga kerap membuat masakan seperti lawar untuk menyambut perayaan Hari Raya Nyepi.  

Sumber foto : dokumentasi pribadi
Sumber foto : dokumentasi pribadi
Lawar ini merupakan makanan yang terbuat dari daging yang dicincang halus dengan campuran rempah-rempah serta sayuran seperti kacang panjang, kelapa parut, dan nangka muda. Dalam pembuatan lawar juga kerap ditambahkan darah dari hewan yang digunakan dan bahan-bahan tersebut akan dicampur hingga merata. 

Penamaan pada lawar ini pun juga disesuaikan dari bahan yang digunakan mulai dari lawar nangka, lawar babi, hingga lawar ayam. Dengan bercampurnya unsur tanaman sayur, bumbu-bumbu dan daging, lawar mewakili keberagaman dan kehidupan sehingga lawar memiliki memiliki makna sebagai sebuah keharmonisan dan keseimbangan yang bersatu dalam menjalankan kehidupan.

4. Hari Raya Nyepi
Setelah dilaksanakannya berbagai kegiatan upacara, maka tepat pada tanggal 11 Maret 2024 ini yaitu pada tanggal 1 sasih Kedasa (bulan kesepuluh dalam kalender Bali) masyarakat Hindu di Bali akan merayakan Hari Raya Nyepi di Tahun Baru Saka 1946 . Nyepi ini memiliki filosofi penyucian Bhuana Alit (manusia/diri sendiri) dan Bhuana Agung (alam dan seluruh isinya). Nyepi mengandung arti sepi atau sunyi sehingga pada saat Nyepi khususnya di Bali, semua dalam keadaan sepi dan tidak ada aktifitas seperti biasanya. 

Hari Raya Nyepi ini juga menjadi momentum penting bagi umat Hindu, karena apa yang telah dialami dan diperbuat oleh umat Hindu pada tahun sebelumnya diingat, direnungkan, dan dipertimbangkan kembali pada Hari Raya Nyepi ini. Dari hal tersebut umat Hindu dapat melakukan introspeksi diri atas segala kesalahan-kesalahan yang telah diperbuat untuk memulai merangkai rencana-rencana yang perlu dilaksanakan di masa yang akan datang.


Dalam perayaan Nyepi ini seluruh umat Hindu juga diajarkan untuk mampu melakukan pengendalian diri dengan cara tidak berpergian, tidak beraktivitas dan berpuasa. Pengendalian diri ini dilakukan dengan cara melaksanakan Catur Brata Penyepian berupa empat pantangan yang harus dilakukan selama perayaan Hari Raya Nyepi ini dan dilaksanakan tepatnya pada paruh terang pertama masa kesepuluh/panaggal sasih kadasa. 

Pelaksanaan Catur Brata Penyepian akan dilaksanakan selama 24 jam dari  pukul 05.00 pagi sampai pukul 05.00 pagi keesokan harinya, dengan melakukan beberapa hal antara lain Amati Geni yaitu dilarang menghidupkan api (geni)/sumber pencahayaan termasuk api nafsu, sehingga bermakna melakukan pengendalian diri dari segala bentuk angkara murka, Amati Karya yaitu tidak melakukan kegiatan fisik atau pekerjaan dan yang terpenting adalah melakukan aktivitas rohani untuk pennyucian diri serta perenungan diri, Amati Lelungan dapat diartikan tidak bepergian kemana-mana, sehingga pada perayaan Hari Raya Nyepi ini masyarakat Hindu diharapkan senantiasa melakukan pemusatan pikiran ke hadapan Tuhan dalam berbagai prabawa-Nya (perwujudan-Nya) dan terdapat pula Amati Lelanguan yang bermakna untuk tidak mengadakan hiburan atau segala bentuk kesenangan duniawi termasuk tidak makan dan tidak minum (berpuasa), melainkan diharapkan masyarakat Hindu untuk tekun melakukan intropeksi diri agar dapat mencapai produktivitas rohani yang tinggi.

5. Ngembak Geni
Setelah seluruh masyarakat Hindu melaksanakan Catur Brata Penyepian maka keesokan harinya setelah Nyepi akan dilaksanakan kegiatan Ngembak Geni dan menjadi penutup dari rangkaian Hari Raya Nyepi. Ngembak Geni sendiri terdiri dari kata ngembak yang artinya 'bebas' dan geni yang artinya 'api'. Jadi, Ngembak Geni ini memiliki makna bebas menyalakan api yang menandakan bahwa umat Hindu dapat kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Pada saat kegiatan Ngembak Geni ini umat Hindu juga akan melaksanakan persembahnyangan dan Sima Krama ( bersilaturahmi ke rumah sanak keluarga , teman ataupun tetangga) untuk saling mengucapkan syukur dan saling maaf memaafkan atas segala kesalahan yang telah atau mungkin terjadi sebelumnya. 

Kegiatan saling memaafkan tersebut dilakukan dengan memegang teguh prinsip Tat Twam Asi, yaitu "aku adalah engkau dan engkau adalah aku", dimana posisi manusia adalah sama dan setara di hadapan Tuhan walaupun berbeda keyakinan, hendaknya manusia dapat hidup rukun dan damai serta dapat memulai hidup baru di Tahun Baru Saka 1946 ini dengan hati yang bersih. Selain melakukan Sima Krama, di beberapa daerah di Bali juga melaksanakan tradisi yang telah dilakukan turun temurun pada saat kegiatan Ngembak Geni ini, seperti halnya tradisi unik di Kecamatan Banjar dan  yang terdapat di Desa Adat Kedonganan, Kabupaten Badung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun