Mohon tunggu...
Irpanudin .
Irpanudin . Mohon Tunggu... Petani - suka menulis apa saja

Indonesianis :) private message : knight_riddler90@yahoo.com ----------------------------------------- a real writer is a samurai, his master is truth, his katana is words. -----------------------------------------

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Ragam Reaksi Warganet di Medsos Atas Keputusan MK

28 Juni 2019   11:17 Diperbarui: 29 Juni 2019   01:36 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sembilan orang hakim senior di Mahkamah Konstitusi telah memutuskan: kecurangan yang Terstruktur, Sistematis dan Massive (TSM) itu tidak dapat dibuktikan. Semua gugatan kuasa hukum 02 tidak dikabulkan majelis hakim yang memutuskan dengan suara bulat. Artinya, kesembilan hakim tersebut sepakat tanpa perbedaan pendapat.

Apakah keputusan tersebut meredakan isu kecurangan yang berkembang di masyarakat, terutama media sosial, dan lebih terutama di kalangan pendukung garis keras 02?

Ternyata tidak! Pengamatan penulis menunjukkan, di media sosial sebagian kalangan masih sangat meyakini bahwa keputusan hakim tidak adil.

Lebih jauh lagi, sebagian menuduh para hakim tersebut mendapat keuntungan materi, alias mendapat suap, untuk membuat keputusan tersebut. Konon mereka menyaksikan tiap detik jalannya sidang selama 5 hari, dan melihat bukti-bukti sangat jelas terjadinya kecurangan TSM. Bahkan ditambah lagi: Brutal, menurut Amien Rais. Sehingga menjadi tidak masuk akal kalau hakim menolak gugatan 02. Mereka mendoakan agar para hakim tersebut mendapat azab Tuhan karena berbuat tidak adil.

Ada lagi yang lebih konyol. Para simpatisan organisasi terlarang HTI menyalahkan demokrasi sebagai biang kerok atas keputusan 9 orang hakim tersebut. Ketidakadilan keputusan hakim adalah bukti carut-marutnya demokrasi, sehingga demokrasi harus digantikan sistem kilafah.

Ya,.... tiba-tiba saja di media bermunculan banyak hakim konsitutusi. Jumlah "hakim-hakim" tersebut ratusan, bahkan ribuan.

Berbeda dengan para hakim MK yang menempuh pendidikan hukum, kemudian berkarir di dunia hukum sejak muda dan menjadi profesional di bidang hukum. Para hakim di media sosial berasal dari berbagai kalangan dan profesi.

Ada yang bekerja di bank, lalu mereka melihat para hakim MK tidak paham hukum. Ada yang bekerja sebagai ahli IT dan melihat kebodohan hakim MK dalam bidang IT sebagai sabab musabab kesalahan keputusan tersebut. Ada yang bekerja sebagai pelayan toko, juga tiba-tiba menjelma menjadi lebih ahli daripada hakim MK.

Bahkan ada yang hanya mengenyam pendidikan sekolah menengah, tidak punya pekerjaan apa pun, sampai mampu menyaksikan jalannya sidang setiap detik, lalu merasa lebih ahli di bidang hukum daripada para hakim. Mereka mengangkat diri setara dengan guru besar di perguruan tinggi untuk menilai keahlian para hakim.

Padahal menjadi hakim tidak mudah, sangat tidak mudah, sangat amat sulit. Mereka yang duduk di kursi tertinggi pemutus peradilan itu harus sejak muda menempuh pendidikan hukum dan menjadi yang terbaik. Kemudian mereka berkarir di bidang hukum dan memutuskan berbagai kasus, hingga mencapai puncak karirnya sebagai hakim MK. Melihat usianya, Para hakim MK sudah berkarir dalam pekerjaan mereka selama paling tidak 30 tahun.

Bisa dibayangkan ada berapa ribu kasus yang sudah mereka tangani? Tidak masuk akal kalau orang yang baru melek hukum saat menyaksikan jalannya sidang saat pilpres bisa membuat keputusan yang lebih adil daripada para hakim MK.

Lebih tidak masuk akal lagi argumen ustad-ustad aktivis organisasi terlarang HTI. Argumen mereka adalah: kesalahan hakim bukti buruknya sistem demokrasi. Penulis tidak melihat sedikitpun kaitan antara sistem peradilan dengan demokrasi yang kacau.  

Sulit dimengerti bagaimana sistem khilafah yang mereka usung menyelesaikan persoalan hukum jika tidak didasarkan pada sistem peradilan yang berimbang sebagaimana yang kita saksikan di MK. Yang lebih sulit dimengerti, mereka merasa lebih pintar dan lebih mengerti hukum hanya karena menganggap sistem khilafah yang menjadi angan-angan itu lebih baik.  Meskipun tidak terlihat dan dijelaskan seperti apa lebih baiknya.

Kabar baiknya, sebagian besar masyarakat cenderung mendukung apa pun keputusan para hakim MK. Sebagian besar masyarakat sudah tidak banyak memperbincangkan politik terkait pilpres, larut kembali dalam rutinitas keseharian. Sebagian besar pendukun 02 pun mampu bersikap dewasa menanggapi keputusan itu. 

"Saya sih tetap dukung 02 mas. Kecewa juga sih, tapi mau gimana lagi?  Memang sudah kalah kok." Demikian tutur seorang kawan yang saat sebelum pemilu sangat vokal menyatakan dukungan kepada paslon 02.  

Mereka menyadari bahwa pilpres sudah usai. Sehingga tidak ada manfaatnya lagi memperdebatkan polemik pemilu. Karena ada banyak hal yang lebih penting untuk diurus daripada perdebatan yang tidak mungkin ada ujungnya kalau salah satu pihak tidak mau berbesar hati untuk mengakui realita.

Sebagai gantinya komentar-komentar lucu dan menggelitik pun menghiasi media sosial, lebih viral daripada tuduhan curang dan tidak adil hakim MK. Sebagian masyarakat menyadari bahwa membuat keputusan yang adil tidak mudah. Tapi lebih tidak mudah lagi memuaskan semua pihak atas sebuah keadilan keputusan. Toh kesembilan hakim MK sudah bersumpah atas nama Allah bahwa mereka melaksanakan amanah mereka dengan sebaik-baiknya berdasarkan peraturan yang berlaku.

Mereka berikhtiar sekuat tenaga, ijtihad dengan ilmu, waktu dan tenaga mereka untuk membuat keputusan yang adil, dan siap mempertanggungjawabkannya di hadapan Yang Maha Adil. Soal ada yang merasa tidak mendapatkan keadilan dengan keputusan itu, kembali kepada masing-masing pihak. Kalau ada yang merasa hakim tidak adil lalu ramai di medsos karena itu, apalagi memprovokasi berbuat tidak baik, saya kira jumlahnya sangat minim. Sangat sedikit dibandingkan mereka yang mau menerima.

Melihat kondisi dan reaksi masyarakat di media sosial mupun kenyataan saya optimis, sangat yakin, bahwa sidang MK sedikit banyaknya telah memberikan pendidikan hukum dan keadilan yang baik untuk masyarakat.  Pendidikan yang sangat mahal bahwa keadilan itu tidak sama dengan harus menjadi pemenang.  Semoga keyakinan saya benar adanya.

Bogor, 28 Juni 2019

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun