Kalau saya panglima angkatan bersenjata, saya tidak mau berperang menghadapi musuh seperti Presiden Joko Widodo.
Langkah-langkah politik dan strategi yang dijalankan Presiden Jokowi dalam melawan musuh negara bak seorang maestro perang. Setiap gerakannya terukur, taktis, dan saat mendapatkan momentumnya dieksekusi dengan cepat. Dingin tanpa sedikit pun keraguan. Musuhnya perlahan terkepung, begitu tersadar sudah mati langkah.
Jika diibaratkan seorang pecatur, strategi catur Jokowi mengadopsi Anatoly Karpov. Sang laba-laba hitam yang mahir memasang jerat.
Banyak. Ada rakyatnya sendiri yang terpengaruh oleh hoax. Ada lawan politik yang ingin meraih kekuasaan. Ada juga barisan sakit hati yang tidak maksimal bekerja saat bersamanya. Di internal ada orang yang mendekat karena ingin mendapat jatah kekuasaan, tapi siap meninggalkan jika kondisi tidak menguntungkannya.
Kubu pertama ini masih tidak dalam posisi perang, masih bisa diisolir, atau bahkan dirangkul supaya tidak menggunakan kekerasan. Mereka adalah bangsa Indonesia juga.Â
Tapi ada golongan lain yang menjadi lawan berbahaya. Golongan ini menempatkan diri sebagai lawan perang yang tidak mau kompromi, bahkan tidak peduli negara akan hancur asal tujuan bisa tercapai. Bukan hanya menghalalkan segala macam cara untuk mengakhiri pemerintahan Presiden Joko Widodo, berpasangan dengan siapa pun wakilnya. Mereka menghalalkan cara-cara licik, culas, dan haram untuk mencapai tujuannya. Melawan mereka Jokowi tidak bisa main halus, habisi sampai ke akar-akarnya.
Golongan ini terdiri dari dua kekuatan. Selama periode pertama pemerintahan Jokowi, kedua kekuatan ini berkolaborasi, bahu-membahu menggalang solidaritas, strategi dan kebersamaan.
Kekuatan pertama yang saya maksud adalah kaum Islam radikal. Sebetulnya agak tidak jelas asal muasal kebencian mereka kepada Jokowi. Tiba-tiba Jokowi menjadi obyek sasaran kebencian, seolah-olah ada dosa tidak terampuni yang dilakukan Jokowi kepada Allah dan Rasulullah sehingga kebencian mereka tanpa penawar. Padahal tidak ada dosa sejenis itu. Bahkan mungkin benihnya hanya karena Jokowi pernah mengalahkan salah satu "tokoh islam" dalam sebuah pilkada. Ironis bukan?
Kekuatan kedua adalah sisa-sisa Orde Baru. Memang Orba sudah 21 tahun lalu tumbang, tapi sesungguhnya mereka masih memiliki kuku yang menancap, baik di pemerintahan, massa pendukung, dunia bisnis, mau pun militer.
Anak-anak cendana konon masih memiliki jutaan hektar lahan yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Bahkan menurut isu, sebagian wilayah Timor Leste masih ada dalam genggaman mereka. Intinya mereka memiliki kekuatan ekonomi, uang dan simpatisan di kalangan petinggi militer karena sisa pengaruh Jenderal Besar Suharto.