Mohon tunggu...
Dea Nuryanti
Dea Nuryanti Mohon Tunggu... -

mahasiswi jurusan bahasa dan sastra indonesia \r\n\r\n\r\nhttp://www.facebook.com/Dea Nuryanti\r\nhttp://www.twitter.com/@YanfaAnNury

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secercah Mimpi Bunda

8 Januari 2013   14:47 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:22 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Secercah Mimpi Bunda

“Apaan mau jadi penulis novel? Memangnya nggak ada kerjaan yang gajinya bisa lebih dari itu ya?” ucap Ayah saat mendengar percakapan antara ibu dan anak yang sedang berada di ruang tamu.

“Maksudnya bukan pekerjaan tetap Ayah... itu kan hanya sekedar hobi aja yah... kalau emang berhasil sih..”

“Mau di lanjutkan? Inget.. Tiga tahun lagi kamu bakal menyandang gelar sebagai sarjana hukum bukan sebagai sarjana novel. Jadi fokus belajar!!” Ayah pun pergi karena tak mau lama-lama berdebat dengan anaknya itu. Bunda hanya bisa menenangkan anak semata wayangnya itu dengan membelai rambutnya sambil terus mengucapkan sudah..sabar..sabar..nak,

Mutiara Putri atau yang lebih sering disebut Mutie adalah anak satu-satunya dalam keluarga itu. Sebagai anak tunggal, Ayah merasa khawatir pada kehidupannya kelak oleh sebab itu ayah selalu mengatur hidupnya dengan alasan agar tak salah jalan dan sebagainya. Berbeda dengan sifat Ayahnya, Bunda malah mendukung penuh niat baik gadis itu untuk menjadi seorang penulis.

“Asal kan pendidikan mu jangan sampai terabaikan ya..” nasihat Bunda selalu terngiang di telinganya. Mutie mengangguk dan tersenyum tanda setuju.

Sebagai seorang mahasiswi semester dua, ia masih sibuk mencari jati dirinya. Masuk universitas usulan sang Ayah membuatnya menjadi kalut. Bayangkan saja, ia senang dengan hal-hal yang berhubungan dengan puisi dan prosa namun Ayah malah dengan sengaja mendaftarkan dirinya ke fakultas hukum yang sama sekali tak menarik minatnya sedikitpun. Namun apa boleh buat selama setahun ini ia mendalami semua pasal-pasal juga undang-undang meskipun sempat terbesit di dalam benaknya untuk pindah jurusan.

***

Suatu ketika ada informasi beasiswa di kampusnya.

“Hah? Nggak salah nih? Yang menang beasiswa bisa pindah jurusan sesuai yang di inginkan? Dan gratis biaya selama empat semester?”

“Pengumuman beasiswa yang aneh.. Masih kepengen pindah mut?” Mutie tersenyum malu seolah menyembunyikan sesuatu di hatinya saat Dhea, teman kampusnya bertanya.

“Yang penting Ayah jangan sampai tahu kalau aku pindah toh aku kan masih kuliah di universitas ini” ujarnya.

“Bukannya selama setahun kita kuliah di sini kamu belum pernah buat karya ilmiah?”

“Iya juga sih selama ini cuma pasal-pasal aja yang nempel di pikiran kita. Mata kuliah bahasa indonesia aja jarang tuh nyuruh bikin makalah. Hufh... harus mulai ke perpus nih” Mutie berjalan melewati beberapa koridor dengan penuh semangat.

***

“Pokoknya nanti kalau Mutie masuk jurusan itu, Mutie janji nggak akan ngecewain bunda deh.. Mutie akan belajar dengan serius dan bunda nggak usah biayain Mutie.. kalau beasiswanya udah abis, Mutie nanti mau cari uang sendiri dari hasil penjualan novel pertama Mutie”

“Memangnya Novelmu udah terbit?”

“Belum sih.. masih dalam proses penyelesaian... minta doanya ya Bun..”

Untungnya saat mengobrol, tak terlihat Ayah berada di dalam rumah jadi mereka lebih leluasa membicarakan hal tersebut.

***

Betapa terpukulnya hati Mutie, ia tak mampu mengungkapkan kekesalan yang bergejolak didalam dadanya. Cita-citanya yang ia pupuk semenjak masih duduk dibangku SMA kini telah pupus tak dapat lagi ia raih. Mendapat beasiswa dengan nilai karya ilmiahnya yang tinggi, tak lagi membuat semangatnya muncul saat ia mendengar kabar bahwa ia di terima di jurusan sastra indonesia.

Kini angan-angan itu harus ia tunda dahulu. Memang, dokter tak menyebutkan kapan kakinya bisa pulih kembali tapi sepertinya itu akan menjadi sedikit penghalang untuk dirinya bisa beraktifitas seperti biasa.

Ini adalah hari terakhir dirinya di rumah sakit setelah satu minggu ia di rawat karena kecelakaan motor yang mengakibatkan kakinya tak lagi berfungsi dengan baik. Kini hanya kursi roda yang setia menemaninya kemana-mana meski untuk sekarang ini ia lebih senang menyendiri di dalam kamarnya dengan laptop sebagai penghiburnya. Keadaannya yang kini tak memungkinkan untuk menimba ilmu di bangku kuliah justru ia manfaatkan waktu-waktu tersebut untuk meneruskan hobinya untuk menulis.

***

“Ayah bilang juga apa? Nggak usah lah sok ngirim-ngirim tulisanmu ke media cetak segala. Sekarang lihat kamu begini gara-gara hobimu itu kan?” seperti biasa, setelah mengomel, Ayah selalu pergi tanpa pamit.

Ya... beberapa waktu yang lalu ketika Mutie menjalankan sepeda motornya dalam perjalanan menuju sebuah kantor penerbit dan percetakan buku ia terserempet oleh motor lain sehingga terjadilah tabrakan. Tapi ini bukan sepenuhnya kesalahannya. Itu hanya musibah. Musibah yang tak pernah ia tahu.

Bunda menghampirinya dengan senyum yang selalu melegakan hati Mutie.

“Jangan patah semangat ya sayang.. lakukan apa yang ingin kamu lakukan.. jangan sampai.. kamu menyesal nantinya”

“Maksud Bunda?” Dari sorot mata perempuan empat puluh tahun an itu, Mutie menangkap ada sesuatu yang belum pernah diungkapkan Bunda terhadapnya.

“Dulu Bunda pernah punya cita-cita seperti kamu nak.. tapi semua Bunda kubur dengan terpaksa karena saat menikah dengan Ayahmu, dia melarang Bunda meneruskan hobi Bunda itu...dan akhirnya penyesalan itu terus berlanjut sampai di hari ini. Bunda senang melihat bakat Bunda yang secara tak sengaja menurun padamu tapi di sisi lain Bunda tak tahu harus bagaimana. Bunda hanya bisa mendoakanmu agar Ayah tak memperlakukanmu lagi seperti beberapa waktu terakhir ini. Dan Bunda yakin kamu bisa menggapai cita-citamu nak.. Doa Bunda akan selalu mengalir untukmu”

“Jadi... dulu Bunda juga senang menulis seperti Mutie?”

“Ya... Ayahmu baru mengetahui hobi Bunda setelah setahun kami menikah dan ia benar-benar tak suka”

“Kenapa Bunda? Apa gara-gara gaji seorang penulis yang sangat kecil?”

“Bukan Mut, itu hanya alibinya saja. Sebenarnya Ayahmu bersikap seperti itu karena beliau tak mau kehilangan Bunda” Mutie diam saja, Bunda pun melanjutkan ucapannya.

“Ayah punya anggapan dahulu Bunda lebih mementingkan naskah-naskah yang Bunda tulis dibanding dengan keluarga padahal tidak seperti itu. Seringnya Ayahmu melihat Bunda mengetik di komputer lama Bunda yang kini entah ada dimana keberadaannya, ia jadi merasa kalau Bunda tak peduli lagi terhadap Ayahmu karena sepulangnya dari kantor, Ayah selalu melihat Bunda hanya mengetik dan mengetik terus”

“Jadi karena alasan itu sampai saat ini Ayah yang sangat aku hormati masih tak setuju dengan pilihanku untuk meneruskan hobiku ini” gumam Mutie. Tak berapa lama kemudian ia melihat sosok wanita di hadapannya itu meneteskan air matanya. Mutie tak bisa menyembunyikan perasaan kecewanya terhadap Ayah.

“Jangan pernah membenci Ayah ya... kamu harus yakinkan Ayah bahwa kalau kamu jadi penulis nanti, kamu tak akan pernah mengabaikannya”

“Bun,,”

“Teruskan lah mimpi Bunda sewaktu muda dulu. Bunda sangat menaruh harapan pada kamu Mut,”Mutie refleks memeluk Bundanya dengan penuh cinta.

“Bunda akan terus mendoakan Mutie?”

“Selalu... sayang”

***

Beberapa minggu kemudian rumahnya di datangi seorang petugas dari kantor pos. Sebuah paket kiriman dari penerbit buku. Mutie membukanya perlahan. Nama dirinya tertulis jelas di cover depan.

“Siapa yang ngirim? Waktu itu kan aku nggak sempat sampai di kantor penerbit nya.. apakah...?” dengan teriakannya yang keras ia memanggil-manggil nama orang yang telah mengandungnya selama sembilan bulan itu.

“Bunda nggak ada waktu untuk mengirimkan naskahmu ke penerbit” jawab Bunda saat disinggung mengenai novelnya yang kini ia genggam.

“Lha.. terus... siapa?”

Suara motor Ayah yang baru saja di parkirkan di depan rumah mereka membuat Mutie juga Bunda segera menghampiri sosok laki-laki itu.

“Ayah... Mutie sayang banget sama Ayah...” ingin rasanya Mutie beranjak dari kursi rodanya itu tapi ia belum bisa berjalan lagi.

“Ada apa nih kok tumben bilang gitu sama Ayah?”

“Mutie harus tahu dari mulut Ayah langsung. Kenapa kok Ayah jadi luluh padahal kemarin-kemarin tuh Ayah tetep ngotot nggak mau lihat anaknya jadi penulis”

“Ayah menyesal waktu dulu pernah bersikap seperti itu juga pada ibumu jadi Ayah nggak mau mengulang kesalahan yang sama lagi. Kamu tahu, Ayah melakukan ini karena secara diam-diam Ayah sering melihat ibumu tak hentinya berdoa dan menangis untukmu di kamar setelah kecelakaan itu terjadi dan Ayah pun berinisiatif mengirimkan tulisanmu itu”

“Lihat ini yah..” ucap Mutie sambil menyodorkan buku novel pertamanya.

“Mulai sekarang hiduplah sesuai apa yang kamu inginkan, kami berdua tak akan melarang kamu”

“Makasih Ayah.. Makasih Bunda.. Mutie janji pilihan Mutie ini tak akan pernah mengecewakan siapapun..” mereka bertiga pun larut dalam dekapan kasih sayang layaknya keluarga yang utuh.

***

Dua bulan berlalu. Mutie akhirnya sembuh dan dapat beraktifitas kembali. Kini dengan statusnya yang terdaftar sebagai mahasiswi jurusan sastra indonesia, ia tetap berniat untuk mengembangkan minat serta bakatnya dalam hal menulis. Itu semua tentunya tak lepas dari doa sang Bunda yang selalu setia mendukungnya hingga Ayah pun yang awal mulanya bersikap keras menentang hobinya itu menjadi luluh karena doa yang tak henti mengalir dari Ibundanya. Mutie sangat senang bisa merealisasikan apa yang selama ini menjadi mimpi sang Bunda. Dan impian itu kini ada pada diri putri semata wayangnya. Menjadi seorang Penulis.

***

Biodata Penulis:

Yanfa An Nury adalah nama pena dari seorang gadis bernama lengkap Dea Nuryanti. Perempuan yang menyukai lagu-lagu dari Ryeowook Super Junior ini masih aktif menuntut ilmu di Universitas Islam Nusantara. Beberapa karyanya dapat ditemui dalam antologi cerpenMasih Ada Esok” , “Penantian Cinta” , “Kelindan Cinta” , “Seribu Tanda Cinta”, “Doa Bunda”, “Wonder Women” serta antologi puisi “Untuk Para Sahabatku”. Penulis dapat dihubungi di FB dheya.chubbyz@facebook.com atau follow di Twitter @YanfaAnNury


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun