Mohon tunggu...
Dea Nuryanti
Dea Nuryanti Mohon Tunggu... -

mahasiswi jurusan bahasa dan sastra indonesia \r\n\r\n\r\nhttp://www.facebook.com/Dea Nuryanti\r\nhttp://www.twitter.com/@YanfaAnNury

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senyuman Semu Ayah

6 Januari 2013   01:30 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:28 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Senyuman Semu Ayah

Teriknya matahari di siang ini membuat pemuda berusia tujuh belas tahun itu seakan-akan terbakar hatinya karena pekerjaannya hari ini belum juga usai. Terkadang ia melamun sendiri bila ingat bagaimana nasibnya bersama sang ayah. Ibunya sudah lama meninggalkan mereka saat Arey lahir ke dunia. Setelah ia lulus dari sekolah menengah atasnya, kini ia bekerja pada sebuah agen koran. Arey termasuk anak yang cukup cerdas sewaktu dibangku sekolah dan dengan kelebihan itu seharusnya Arey bisa bekerja ditempat yang lebih baik tetapi faktor ekonomi lah yang membuatnya selalu dipandang rendah oleh orang-orang sekitarnya sehingga hanya loper koran lah yang kini menjadi pekerjaan tetapnya selama dua tahun terakhir ini. Menjalani hidup dalam sebuah kontrakan sederhana yang cicilan perbulannya hanya sebesar Rp250.000 tak membuat pemuda ini menjadi patah semangat untuk menjalani hidupnya.

“Hari ini laku berapa korannya?” tanya ayah mengagetkan lamunannya. Arey hanya tersenyum sambil menghela nafas panjang. Tumpukkan koran yang ia letakkan di atas trotoar jalan memperjelas ayahnya bahwa hari ini koran yang ia bawa tak terjual banyak. Seperti biasanya koran-koran sisa tersebut akan ia jual kembali setengah jam kemudian setelah ia beristirahat sejenak jika tidak ia harus menyerahkannya kembali pada si agen. Pekerjaaan ayahnya yang hanya sebagai petani biasa tak cukup untuk membiayai kehidupan mereka karena biasanya ayah hanya digaji dua minggu sekali dan uang yang didapatkannya pun tak lebih dari seratus ribu rupiah tiap sekali gajian. Ayah sengaja menghampiri anak semata wayangnya itu hanya untuk memberikan makan siang. Ayah memang tak mau melihat Arey sakit.

“Makasih ayah...” Arey memeluk ayahnya erat-erat. Sempat terlintas dibenaknya bagaimana caranya membalas budi baik ayahnya yang sudah merawatnya sampai sebesar ini dengan didikkan dan kasih sayangnya yang tulus. Ia ingin sekali memberikan makanan enak pada ayahnya, membelikan baju bagus dan juga memberikan rumah yang nyaman. Tapi kini yang bisa ia berikan hanyalah rengekan-rengekan kecil seiring tekadnya yang memang ingin sekali melanjutkan pendidikannya ke bangku kuliah. “Maafin Arey yah..” ujarnya dalam hati dengan penuh penyesalan.

“Ya sudah ayah pulang lagi ya pekerjaan ayah belum beres nanti Pak Beni marah lagi sama ayah kalau ngeliat sawahnya belum digarap” senyum simpul yang terpancar diwajah ayahnya itu malah membuat Arey sedikit cemas, ia takut ayahnya terlalu kelelahan dengan pekerjaannya yang berat.

Seusai makan dengan nasi uduk yang dibelikan ayahnya dari warteg (warung tegal) itu, Arey pun melangkahkan kakinya untuk kembali menjajakan koran-koran yang masih ia pegang kuat oleh dua tangannya.

“Koran... koran..” Arey masuk ke dalam sebuah bis Damri. Meski hanya beberapa orang saja yang membeli korannya tetapi ia senang sekali. Ia berangan-angan ingin mempersembahkan uang yang ia dapat hari ini untuk membelikan sesuatu untuk ayahnya.

“Tapi tunggu... kalau hanya dari hasil menjual koran saja pasti tak akan cukup untuk memberikan baju dan makanan untuk ayah...” ia melirik lembaran koran yang masih tersisa dipangkuannya. Ia mengambilnya dan muncullah sebuah ide. Beruntungnya menjadi seorang penjual koran adalah ia bisa mengetahui berbagai informasi secara gratis dengan membaca semua berita yang tertera dikoran yang ia bawa.

Senja sudah hampir tenggelam tetapi Arey tak buru-buru untuk pulang kerumahnya, ia malah mampir terlebih dahulu kesebuah warnet (warung internet) disekitar rumahnya.

“Hasil hari ini ada limabelas ribu... kalau dipakai Rp2500 tak apa-apa kan?” tanyanya pada dirinya sendiri. Ia pun segera masuk kedalam ruangan tersebut. Jari-jarinya lincah menari pada keyboard komputer dengan memikirkan sosok ayahnya. Ia terus mengetik sampai akhirnya keluar dari sana tepat saat adzan maghrib berkumandang.

“Assalamualaikum...” tak ada jawaban dari dalam rumah. Arey pun mengetuk pintu sedikit keras. Mungkin Ayah sedang tidur, pikirnya. Beberapa jam kemudian dua temannya memanggilnya dengan panik dari luar rumah. Tangan Arey ditariknya cepat setelah teman-temannya menjelaskan suatu kejadian yang telah menimpa Ayahnya.

“Mungkin dia terlalu bersemangat bekerja” bisik Pak Beni pelan yang tak mau disalahkan. Ayahnya pingsan seusai menggarap sawah milik Pak Beni.

“Hari ini ayah sedang puasa pantes saja beliau bisa seperti ini. Bekerja dari pagi sampai malam dan sekarang...” ungkap Arey. Ia pun membawa ayahnya ke rumah dengan dibantu ke dua temannya.

Sesampainya di rumah, dengan sigap ia berlari menuju sebuah warung untuk membeli bubur. Ayah pun bangun matanya berkaca-kaca melihat anak lelakinya itu.

“Jangan sampai kamu nanti jadi seperti ayah ya” miris rasanya Arey mendengar perkataan ayahnya tersebut ia hanya bisa menundukkan kepalanya.

Tiga minggu setelah kejadian itu kini ayahnya menjadi sering sakit-sakitan. Wajar saja bagi bapak usia enam puluh tahun itu, kesehatan akan kurang terjaga seiring melihat kehidupan sehari-harinya yang sangat pas-pasan. Arey tak mau melihat ayah tercintanya lama-lama terbaring didalam rumah kontrakan, ia pun terus berusaha mencari uang untuk dapat membawa ayahnya ke rumah sakit.

Seperti biasanya seusai berjualan koran, ia pasti mampir terlebih dahulu ke sebuah warnet seolah-olah kegiatan itu memang sudah menjadi rutinitasnya setiap hari. Ia baca beberapa email yang masuk di salah satu jejaring sosial yang ia punya.

“Alhamdulillah...” ucapnya menyeringai gembira. Ia terlihat sibuk mengeluarkan sobekan koran yang ia simpan di saku bajunya.

“Mas, boleh pinjem pulpen nggak?” tanyanya pada si operator warnet. Dengan cepat tangannya menuliskan beberapa digit nomor telpon yang tertera di salah satu pesan emailnya tersebut.

Saat sampai di rumah, ia pun menyiapkan makanan untuk ia makan bersama ayahnya. Tahu, tempe dan dua bungkus nasi yang ia beli di warung dekat rumahnya menemani malam mereka yang dingin dan kini perut Arey serta ayahnya tak lagi bernyanyi.

“Ayah mungkin besok anakmu ini akan pulang sedikit terlambat tapi nanti Arey akan titipkan makanan pada tetangga untuk dimasak buat ayah..” ujarnya dalam hati.

Keesokan harinya Arey meminta ijin pada si agen koran untuk pulang lebih siang karena akan pergi ke suatu tempat. Setelah di ijinkan ia pun mencari telpon umum untuk menghubungi nomor telpon yang kemarin ia catat.

“Iya..iya.. baik.. iya sekarang juga saya ke sana.. waalaikumsalam” saking semangatnya, gagang telpon ia tutup dengan sangat cepat.

Arey sudah sampai di sebuah gedung tinggi bertingkat. Dengan menanyakan receptionist terlebih dahulu akhirnya Arey di ijinkan masuk untuk menemui orang yang ia telpon tadi.

Sore telah berganti malam, ayah Arey yang sangat mencemaskan anaknya hanya bisa terbaring di atas tikar dengan sambil terbatuk-batuk. Pemuda tujuh belas tahun itu belum juga pulang. Diliriknya jarum pendek jam dinding sudah mengarah pada angka delapan. Tak berapa lama kemudian bunyi decitan sandal yang berasal dari langkah kaki Arey membangunkan ayahnya yang sedang tertidur lelap. Arey masuk dengan membawa dua bungkusan keresek hitam di tangan kanannya. Tanpa ditanya oleh ayahnya, ia langsung mengutarakan alasannya hari ini membeli makanan enak untuk ayahnya itu. Tangis ayah seketika membuat Arey meneteskan air matanya juga. Senyum bangga terlihat dari bibir ayahnya.

Gaji pertama Arey sebagai seorang penulis lepas di sebuah koran ia persembahkan untuk ayahnya dan sebagian lagi ia simpan di dompetnya. Sudah hampir sebulan ini Arey pergi ke warnet hanya untuk mencoba-coba mengirim tulisannya ke berbagai koran lokal. Kepintarannya dalam merangkai kata-kata dalam sebuah tulisan memang sudah ada saat ia masih duduk di bangku SMP dan akhirnya ia pun menuangkan bakatnya itu di media koran. Meskipun hanya ada satu koran yang menerima tulisannya tetapi ia sangat senang karena telah dikontrak selama sepuluh kali magang untuk tulisan inspiratifnya. Hal yang paling membuatnya senang adalah kini ia bisa membelikan ayahnya makanan enak dengan gajinya yang sebesar Rp400.000 untuk sekali menulis. Rencananya besok ia akan membawa ayahnya untuk berobat ke rumah sakit. Dibukanya dompet tipis yang ia simpan di saku celananya ternyata masih ada tiga lembar seratus ribuan, satu lembar lima puluh ribuan dan dua lembar sepuluh ribuan.

“Nanti pulang dari jualan koran Arey jemput ayah ya, kita ke rumah sakit.. Ayah siap-siap aja dulu ya..” Arey pamit pergi setelah menunaikan sholat subuh. Pekerjaan barunya sebagai penulis lepas di koran tak terlalu membuat Arey kewalahan karena ia tak harus setiap hari ke kantor tempat koran tersebut. Ia hanya perlu mengirimkan tulisannya melalui email dan tentu saja ini sangat menguntungkan waktunya.

Saat petang tiba, Arey membereskan semua koran-koran yang masih tersisa. Dia berpikir sejenak lalu berniat untuk ke pasar terlebih dahulu. Baju koko, sarung, kemeja dan celana kain ia beli untuk ayahnya. Pasti ayah senang, gumamnya.

Ketukan pintu yang berasal dari tangan Arey tak menghasilkan respon apapun. Untung saja Arey membawa kunci cadangan. Dengan menjinjing keresek ia pun terus mencari sang ayah sampai ke semua sudut. Dilihatnya pintu kamar mandi yang terbuka dengan suara kucuran air yang perlahan menghilang. Arey menemukan sosok lelaki yang kini terbujur kaku menelungkup dengan pakaian dan sarung yang masih melekat dibadannya. Tangisnya semakin menjadi-jadi sehingga semua tetangganya masuk ke dalam rumah dan mereka bergantian mengucapkan “Innalilahi..wainnailaihirooji’un..” setelah mengetahui ayahnya tak lagi bernyawa. Rupanya ayah terpeleset di kamar mandi saat akan berwudhu. Arey yang kini menjadi seorang yatim hanya bisa pasrah meski hatinya seakan teriris-iris mengetahui orang yang sangat ia sayangi harus pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Seminggu kemudian. Arey masih bekerja sebagai penulis di sebuah koran lokal dan sesekali ia menjadi loper koran disekitar rumahnya meski ia tahu untuk saat ini tujuan utamanya bekerja adalah hanya untuk menghidupi dirinya sendiri bukan untuk membahagiakan ayahnya. Dua bulan bekerja di sebuah koran dengan status magang akhirnya Arey mendapat kesempatan untuk menjadi pekerja tetap di koran itu. Awalnya menulis di koran hanya berniat untuk mencari uang saja tetapi sekarang itu rupanya telah menjadi pekerjaannya yang sangat ia cintai. Ini semua tentunya karena semangatnya yang ingin berubah menjadi lebih baik lagi dan doa ayahnya juga. Di sela-sela rutinitasnya sebagai seorang penulis lepas ia masih teringat akan nasihat sang ayah yang diiringi dengan senyum khasnya “Rey, kalau mau jadi orang sukses jangan pernah takut untuk mencoba sesuatu”. Dan senyuman semu yang ada dibalik wajah ayahnya itu ia jadikan sebagai penyemangat hari-harinya.


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun